, ,

Tumpek Wariga, Kearifan Bali Jaga Lingkungan

Nini Nini, buin selae dina galungan. Mabuah apang nged… nged… nged.” Begitu ucapan I Made Wita sembari mengetokkan golok di tangan kanan pada pohon jambu yang berbunga. Dia memberi sedikit luka pada batang itu. Hal sama pada cempaka, belimbing, srikaya, kenanga, dan sejumlah tanaman lain di pekarangan itu pada perayaan tumpek wariga, Sabtu (22/11/14).

“Nenek nenek, 25 hari lagi Galungan. Berbuahlah agar lebat… lebat… lebat…,” begitu makna kalimat berbahasa Bali yang selalu diucapkan pada perayaan ini. Hari itu ungkapan syukur kepada Tuhan atas kesuburan tanaman hingga tumbuh baik dan menghasilkan buah atau bunga lebat.

Tumpek wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.

Sebagai ucap syukur, umat Hindu mempersembahkan sesaji buah dan bunga, serta bubur sumsum (terbuat dari tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair).

“Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan, terutama melestarikan pohon. Doa supaya pohon berbuat lebat, berbunga, punya kualitas bagus. Kalau bisa buah bisa untuk Galungan,” kata I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.

Galungan merupakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Pada hari itu, umat Hindu sembahyang menggunakan sarana buah dan bunga. Buah dan bunga identik dengan berbagai upacara umat Hindu. Usai persembahyangan, buah-buahan dikonsumsi.

Dia mengatakan, sebutan Nini dalam tumpek wariga ditujukan pada Tuhan dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Sangkara, penguasa segala tumbuh tumbuhan. “Agar memberikan anugerah kepada mangga, durian, pisang, dan pohon pohon lain, supaya buah bisa cepat matang, lalu untuk Hari Galungan.”

Tumpek wariga, kata Sudiana, merupakan kearifan lokal dari para leluhur agar warga selalu menjaga lingkungan dengan selalu menanam pohon di pekarangan. “Memang, pelajaran ini ditekankan karena daerah pertanian. Agar generasi muda paling tidak menghasilkan buah-buahan untuk sendiri dan persembahan, kalau bisa lagi dijual, bagus.”

Menurut dia, kalau umat Hindu tak rajin menanam pohon, tidak akan mendapatkan buah dari kebun. Karena itu, makna yang bisa diambil umat Hindu mesti menanam pohon buah-buahan hingga tak impor buah. “Setiap pekarangan longgar, ditanami buah. Jadi tidak menjadi manja, selalu membeli di swalayan.

Bunga-bunga dan bubur sumsum pada tumpek wariga. Foto: Ni Komang Erviani
Bunga-bunga dan bubur sumsum pada tumpek wariga. Foto: Ni Komang Erviani
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,