,

Sidang Sengketa Informasi Tambang Morowali Akhirnya Dihadiri Pemda Morowali

Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Tengah menggelar sidang sengketa informasi antara Jaring Advokasi Tambang (Jatam) yang berstatus pemohon dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Morowali berstatus termohon, Senin (24/11/14). Sidang ini mengenai sengketa tidak adanya informasi izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan nikel PT. Bintang Delapan Minera (BDM) dan PT. Gema Ripah Pratama di kabupaten tersebut.

Ini merupakan sidang ajudikasi kedua yang berlangsung selama tiga jam dengan agenda mendengar keterangan kedua belah pihak. Tiga majelis komisioner KIP Sulteng, diantaranya Majelis Ketua Abas Rahim, serta dua anggota masing-masing Isman dan Sukria, menyidangkan sengketa informasi Jatam dan Pemda Kabupaten Morowali yang meliputi tiga institusi, yaitu Bupati Morowali, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Morowali, dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Morowali.

Sengketa ini berawal dari Jatam Sulteng yang mengadukan Pemda Morowali ke KIP pada Senin (27/10/11), karena pemerintah setempat tidak memberikan IUP PT. BDM dan PT. GRP. Kemudian KIP merespon dengan menjadwalkan sidang perdana pada Senin, (10/11/14). Namun sidang perdana terpaksa ditunda karena tidak ada satupun termohon dari Pemda Morowali yang menghadiri persidangan.

Gugatan Jatam itu ditujukan kepada Bupati Morowali, Kepala Dinas ESDM Morowali, BLHD Morowali, atas informasi yang tidak diberikan maupun informasi yang tidak sesuai permintaan.

Saat persidangan, Syahrudin Ariestal Douw, Direktur Jatam menyampaikan dokumen yang diminta diantaranya IUP eksplorasi dan eksploitasi serta dokumen Amdal PT. BDM dan PT. GRP. Menurutnya, sejak tanggal 18 Agustus 2014 Jatam Sulteng telah melayangkan surat ke Bupati Morowali dan Dinas ESDM. Dalam surat itu, Jatam Sulteng meminta secara resmi IUP perusahaan-perusahaan tersebut, serta kontrak karya PT. Vale. Tetapi, setelah berselang 36 hari tidak ada tanggapan dari ESDM serta bupati Morowali.

Pada 25 September 2014, Dinas ESDM Morowali akhirnya mengirim surat balasan. Namun, surat balasan itu berisi daftar nama-nama perusahaan tambang Morowali. Sementara yang diminta adalah IUP eksplorasi dan eksploitasi.

“Dokumen-dokumen tersebut sangat dibutuhkan untuk kepentingan dari lanjutan kegiatan investigasi lapangan. Dari hasil investigasi, Jatam Sulteng menemukan PT. GRP masuk dalam cagar alam Morowali,” kata Etal, sapaan akrabnya.

Setelah mendengarkan, keterangan dari Jatam Sulteng, majelis ketua memberikan kesempatan kepada Bupati Morowali yang diwakili Asisten I Pemda Morowali, Nafsahu Salili. Menurut Nafsahu, dokumen kontrak karya yang diminta Jatam itu tidak ada di Pemda Morowali.

“Kalau kontrak karya yang diminta kepada kami itu tidak ada, karena kontrak karya merupakan kewenangan Negara dan perusahaan. Jadi kami tidak punya dokumennya,” ujar Nafsahu.

Sidang itu sempat diskors selama 30 menit untuk melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak di ruangan tertutup. Usai dimediasi, majelis komisioner kembali melanjutkan sidang yang menghadirkan Kadis ESDM Morowali, Umar Hasim.

Umar Hasim dihadapan termohon mengatakan bahwa dokumen yang diminta sudah disiapkan dan akan diberikan. Usai melakukan sidang dengan ESDM, sidang kembali dilanjutkan dengan menghadirkan Kepala  BLHD Morowali, Jafar Hamid.

Dalam persidangan tersebut Etal kembali menuturkan dokumen yang dimintanya ke BLHD. Menurutnya, Jatam sudah menyurat ke BLHD meminta salinan dokumen Amdal eksplorasi dan eksploitasi PT. BDM, kemudian dokumen Amdal reklamasi pasca- tambang PT. BDM dan dokumen Amdal eksplorasi dan eksploitasi PT. GRP. Namun, dua diantara tiga dokumen yang diminta belum diserahkan.

Mendengar keterangan dari Jatam, Kepala BLHD Morowali, Jafar Hamid menjelaskan bahwa dokumen yang diminta Jatam itu memang tidak ada.

“Kalau jenis dokumen Amdal atau reklamasi pasca-tambang itu memang tidak ada. Yang ada itu adalah dokumen rencana reklamasi. Alasan itulah sehingga kami tidak memberikan dokumen yang dimaksud karena memang tidak ada,” kata Jafar.

Bahkan katanya, dokumen Amdal eksplorasi dan eksploitasi PT. GRP juga tidak ada di BLHD. Yang ada hanyalah dokumen uji kelayakan lingkungan (UKL) dan upaya pengelolaan lingkungan (UPL) karena luasan eksploitasi perusahaan itu hanya dibawah 200 hektar.

“Kalau luasan eksploitasi di atas 200 hektar baru bisa diterbitkan Amdal. Namun, di bawah 200 hektar maka dokumennya bukan Amdal melainkan UKL-UPL saja. Jadi itu perbedaannya, bukan berarti kami sengaja tidak memberikan tetapi dokumen yang diminta memang tidak ada,” tegasnya lagi.

Setelah pihak pemohon merasa cukup dengan keterangan termohon, keduanya  sepakat untuk mediasi. Ketua majelis menutup sidang dan akan melanjutkan kembali pada 1 Desember 2014 dengan agenda mendengarkan pembacaan putusan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,