Jane Goodall bukan hanya seorang konservasionis paling terkenal yang pernah ada, namun juga seorang ilmuwan wanita yang paling terkenal dan disegani di dunia pada masa sekarang.
Jalan menuju pencapaiannya saat ini cukup berliku dan sangat inspiratif. Ibunya selalu berpesan padanya untuk “jangan pernah menyerah”. Di usia 20-an tahun, Goodall menentukan arah hidupnya, yakni mengejar impiannya di masa kecil: hidup bersama hewan-hewan di Afrika.
Pada saat umurnya menginjak 26 tahun, dia benar-benar melakukannya. Oleh seorang antropolog ulung, Louis Leakey, Goodall dibawa ke Gombe, Tanzania untuk melakukan studi jangka panjang pertama tentang perilaku simpanse liar. Meski tanpa gelar sarjana di bidang yang digelutinya, Goodall berhasil menjadi satu-satunya orang yang pernah diterima di dalam kelompok simpanse.
Dari situlah Goodall kemudian menghasilkan analisa mendalam (dan kontroversial) tentang kerabat terdekat manusia tersebut. Termasuk penemuan, yang menyatakan bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk hidup yang menggunakan alat untuk menunjang hidupnya.
Hasil kerjanya melahirkan semangat dan keinginan luas di kalangan para ilmuwan dunia untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan perilaku (dan “budaya”) spesies-spesies satwa lainnya. Dari situlah Goodall mulai memenangkan penghargaan pertamanya.
Sementara ahli biologi lain sudah akan merasa puas jika karyanya dikutip banyak orang, mengumpulkan banyak penghargaan yang bergengsi dan mengubah cara pandang kita terhadap dunia dan diri sendiri, “Dr Jane” jauh melewati batas tersebut, dia terus bergerak tak hanya di bidang penelitian namun juga advokasi.
Kesadaran bahwa simpanse akan punah di alam liar, membawanya untuk mengabdikan diri kepada upaya yang jauh dan lebih menantang: konservasi. Dia menolak membiarkan dunia kehilangan apa yang dia cintai selama ini. Goodall memilih untuk menjangkau generasi muda dalam misinya.
Pada tahun 1991 ia meluncurkan Roots and Shoots, platform pendidikan dan layanan lingkungan hidup yang hingga saat ini sudah memiliki lebih dari 150.000 anggota di lebih dari 130 negara. Sementara itu, Jane Goodall Institute, lembaga penelitian dan konservasi yang dia dirikan, juga telah berkembang jauh melampaui misi aslinya, dan sekarang sudah beroperasi di 29 negara.
Selama lebih dari lima dekade bekerja dengan satwa liar, Goodall telah menyaksikan perubahan besar di bidang konservasi dan juga telah mengindentifikasi upaya-upaya yang berbuah hasil maupun yang gagal.
Yang paling dia catat adalah para ahli konservasi saling menyerang satu sama lain atas dasar uang, ego, dan perbedaan cara kerja . Dia mengatakan para ahli konservasi akan lebih baik jika bekerja sama untuk mengatasi ancaman-ancaman terhadap satwa liar dan habitatnya, daripada melulu bertikai menghabiskan energi, yang sama sekali tidak bermanfaat sama sekali.
“Saya selalu berharap bahwa akan terus ada lebih banyak kemitraan, dan saling berbagi sumber daya,” katanya kepada Mongabay.com. “Sayangnya, kompetisi untuk memperoleh funding kadang berarti membuat organisasi justru khawatir terhadap inisiatif-inisiatif kemitraan. Keadaan akan lebih buruk jika ego sudah bermain.”
Dia juga mengutip pendekatan-pendekatan yang kadang dilakukan para ahli konservasi tanpa melibatkan orang-orang lokal, yang ujungnya konservasi berakhir dengan kegagalan.
“Program konservasi yang cenderung eksklusif tanpa usaha untuk melibatkan orang-orang yang tinggal di sekitarnya tidak mungkin akan berhasil, setidaknya di negara berkembang di mana begitu banyak orang-orang ini hidup dalam kemiskinan.”
Alangkah baiknya jika kekurangan-kekurangan seperti ini bisa dijembatani dan semua pihak bisa bekerjasama. Tanpa hal tersebut, umat manusia akan kesulitan menghadapi tantangan lingkungan yang makin besar di masa depan.
Dalam wawancaranya dengan Mongabay.com, Goodall menjelaskan harapannya untuk tidak putus berharap.
WAWANCARA DENGAN JANE GOODALL
Mongabay.com: Menurut anda, apa yang dilihat Louis Leakey dalam diri anda sehingga dia memberi anda kesempatan mengubah hidup dengan mempelajari simpanse di alam liar?
Jane Goodall: Awalnya dia terkesan saya menabung begitu lama untuk bisa sampai ke Afrika. Dia terkesan dengan pengetahuan saya tentang satwa-satwa di Afrika – yang saya dapatkan dari membaca, dan menghabiskan waktu berjam-jam di Natural History Museum di London. Dan, saya rasa, dia juga terkesan dengan antusiasme dan ketulusan saya tentang lingkunan.
Karena itu dia mengundang saya pada ekspedisi kecil ke Olduvai Gorge, pada waktu itu adalah sebuah tempat yang benar-benar terpencil. Tidak ada jalan atau trek menuju ke sana. Dan saat saya di sana, dia terkesan karena menurutnya, secara naluriah, saya tahu bagaimana harus “bersikap” di alam liar. Saya merasa sedang berada di rumah. Saya bahkan tidak merasa takut ketika saya bertemu badak pada suatu malam ketika saya sedang berjalan di dataran dengan para peserta ekspedisi Iain dari Inggris. Saya juga tak takut saat kami bertemu singa jantan muda yang mengikuti kami.
Saya harus berterima kasih pada ibu saya. Beliau selalu mengatakan jika saya ingin meraih sesuatu, saya harus bekerja keras, memanfaatkan semua kesempatan, dan tidak pernah menyerah. Semua orang menertawakan mimpi masa kecil saya, yakni pergi ke Afrika untuk hidup dengan hewan.
Ini dimulai ketika saya masih berusia delapan tahun dan membaca bagaimana Dokter Doolittle mengembalikan hewan sirkus ke Afrika. Saya kembali mendapatkan dorongan pada tahun 1944 ketika saya membaca Tarzan of the Apes. Waktu itu saya berusia 10 tahun. Kami tidak punya uang. Bagi banyak orang, Afrika diasumsikan sebagai “Benua Hitam.” Tidak ada pesawat dengan wisatawan yang datang dan pergi. Perang Dunia II berkecamuk. Saya hanyalah seorang gadis biasa di tahun 1944.
Waktu itu, saya juga tidak punya uang untuk kuliah. Uang saya hanya cukup untuk mengikuti kursus menjadi sekretaris. Ibu berkata mungkin saya bisa mendapatkan pekerjaan di Afrika. Akhirnya Saya mendapat pekerjaan pertama di Oxford, di mana saya bisa merasakan kesenangan dari kehidupan kampus. Pekerjaan saya berikutnya adalah di London mengerjakan film dokumenter. Kemudian saya menerima surat dari teman sekolah, yang mengundang saya ke Kenya, di mana orang tuanya baru saja membeli sebuah peternakan di negara tersebut.
Saya pulang ke rumah dan kemudian bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel. Butuh berbulan-bulan, tetapi saya menabung sejumlah uang biaya tiket kapal laut, yang cukup untuk melakukan perjalanan ke Afrika. Saya berusia 23 tahun saat itu, saat itu Afrika bukanlah tujuan para wanita muda.
Mongabay.com: Banyak buku terbaru anda fokus pada tema tentang harapan. Mengingat berita mengerikan tentang lingkungan dirilis setiap hari dan tantangan luar biasa yang dihadapi umat manusia, apa yang membuat anda berharap untuk masa depan bumi?
Jane Goodall: Berita tentang tantangan lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini memang sangat muram. Begitu banyak orang menjadi merasa tak berdaya, putus asa dan pada akhirnya tidak bertindak apapun. Memang benar jika tidak ada perubahan dan perbaikan yang bisa kita lihat, maka kita mungkin juga akan menyerah. Tapi saya yakin masih ada waktu, meski tak banyak lagi.
Alasan saya sederhana mengapa saya tetap memiliki harapan.
1) Energi, komitmen dan kerja keras dari orang-orang muda setelah mereka memahami masalah dan mereka diberdayakan untuk mendiskusikan serta bertindak untuk mencari solusi. Itulah sebabnya saya mencurahkan begitu banyak waktu untuk mengembangkan program-program kami untuk generasi muda (program: Roots and Shoots), yang diperuntukkan bagi anak-anak muda dari mulai usia pra-sekolah hingga anak kuliah.
Roots and Shoots sekarang sudah ada di 137 negara. Masing-masing kelompok harus memilih tiga proyek: yakni memperbaiki dan meningkatkan hal hal yang terkait dengan kehidupan manusia, hewan, dan lingkungan. Dengan tema ini, mereka akan belajar untuk hidup berdampingan secara damai dan harmonis satu sama lain – dengan pemeluk agama-agama lain, budaya lain, dan bangsa lain.
Antara muda dan tua, kaya dan miskin, asli maupun pendatang. Juga belajar untuk hidup secara harmonis dan berdampingan dengan alam. Ada sekitar 150.000 anggota di seluruh dunia dan mereka benar-benar telah bertindak dan telah membuat perbedaan. Mereka memilih proyek yang mereka sukai, menyingsingkan lengan baju mereka, dan mengambil tindakan.
2) Otak manusia. Perbedaan terbesar (menurut saya) antara kita dan hewan kerabat terdekat kita, yakni simpanse, adalah otak kita. Simpanse jauh lebih cerdas dari yang kita pikirkan. Tetapi bahkan otak simpanse pun jelas tidak bisa menyamai otak makhluk yang mampu merancang roket yang bisa mendarat di Mars, mengeluarkan robot yang masih merangkak di permukaan planet tersebut serta mengambil foto untuk para ilmuwan di bumi untuk dipelajari.
Jadi pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin bahwa makhluk paling intelektual yang pernah ada di Planet Bumi menghancurkan satu-satunya rumah yang bisa ditinggalinya? Ingat, foto-foto Mars membuat kita paham bahwa planet tersebut tidak bisa kita tinggali.
Apakah mungkin kita telah kehilangan kebijaksanaan kita? Banyak dari kita ketika membuat keputusan besar, akan cenderung bertanya: “Bagaimana keputusan ini akan memberikan keuntungan bagi saya, atau rapat pemegang saham 3 mendatang, atau kampanye politik saya berikutnya?” Satu yang tidak pernah kita tanyakan adalah: “Bagaimana keputusan saya ini akan mempengaruhi generasi mendatang?”
Tapi sepertinya makin banyak orang di dunia yang mulai sadar. Kini, di seluruh dunia solusi-solusi inovatif sedang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang dibuat oleh manusia itu sendiri, diantaranya pengembangan energi terbarukan, pertanian berkelanjutan dan sebagainya. Sebagai individu, kita harus meninggalkan “jejak kaki ekologis” yang lebih ringan.