Seperti ikan belida, ikan tapah (Wallago attu) juga terancam kelestariannya di Sumatera Selatan. Apakah karena masakan pindang ikan yang menyebabkan perburuan ikan yang ukuran dapat mencapai 2,4 meter ini, menjadi terancam?
Rabu (26/11/2014), warga Sekayu, Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, dihebohkan penemuan ikan tapah dengan berat 70 kilogram di sebuah kanal air yang melintasi perkebunan sawit milik sebuah perusahaan di Sekayu.
Candra Okta Della, seorang wartawan sebuah media massa di Palembang, menceritakan ikan tapah yang ditemukan tersebut memiliki panjang sekitar 1,6 meter, berat 70 kilogram, dengan lingkar tubuh bagian dada 55 sentimeter.
Ikan ini ditangkap empat warga Lingkungan 1, RT 1 RW 1, Kelurahan Kayuare, Sekayu, yakni Gimin (70), Mulyadi (40), Sidi (38), dan Suwandi (34).
Gimin, saat melihat ikan tapah melintas di kanal yang terhubung dengan aliran Sungai Musi di Sekayu, bersama temannya dengan menggunakan kayu menggiring ikan tersebut menuju perairan yang lebih dangkal.
“Walau sudah terjebak di air yang dangkal, ikan tapah tersebut masih sulit ditangkap dan terus berontak. Suwandi yang membawa parang spontan menyabet tubuh ikan,“ kata Candra kepada Mongabay Indonesia, Kamis (27/11/2014).
Selanjutnya, ikan tapah tersebut diikat pada bagian hidungnya, diseret, dan diangkat ke perahu ketek (perahu bermesin sepeda motor), dibawa ke rumah Mulyadi dan menjadi tontotan warga sekitar.
Ikan tersebut kemudian dijual dengan harga Rp 70 ribu per kilogram atau ikan tersebut senilai Rp 4,9 juta.
Ikan tapah memiliki bentuk badan memanjang dan padat. Kepalanya lebar, gigi tajam dengan mulut besar yang sudutnya mencapai hingga bagian belakang. Matanya kecil, serta memiliki dua pasang duri dengan sirip belakang yang panjang. Ikan ini menjadi buruan nelayan sungai di Muba guna memenuhi sejumlah rumah makan yang menyediakan menu pindang ikan tapah atau pepes ikan tapah.
Umumnya para nelayan mendapatkan ikan tapah dengan berat 2-3 kilogram. “Kalau ikan tapah berbobot 2-3 kilogram masih banyak. Kalau ukuran raksasa sesekali saja,” kata Candra.
Januari 2014 lalu, warga Bailangu, bernama Wardan mendapatkan ikan tapah dengan berat 40 kilogram di perairan Sungai Musi di Sekayu.
Wardan mendapat ikan tersebut dengan memancing menggunakan teknik rawai. Yakni dalam satu tali, terdapat belasan mata pancing. “Wardan juga mengaku sebelumnya pernah mendapatkan ikan tapah seberat 18 kilogram.”
Penemuan ikan tapah dengan ukuran besar juga pernah terjadi tahun 2012 dalam event Musi International Fishing Tournament yang diikuti 100 pemancing dari lima benua. Tim pemancing Bank Sumsel Babel yang akhirnya menjadi juara pertama berhasil mendapatkan ikan tapa seberat 6,2 kilogram. Mereka mengaku umpan yang dilempar dimakan ikan tapah di sekitar pulau Salah Nama yang terletak di bagian hilir Sungai Musi, Palembang.
Upaya pelestarian
Dr. Mohammad Rasyid Ridho, dari Universitas Sriwijaya mengatakan sama halnya dengan ikan belida, ikan tapah termasuk ikan air tawar di peraian Sumsel yang keberadaannya mulai sulit ditemukan.
“Diperlukan upaya perlindungan untuk melestarikannya. Pembibitan dan pembudidayaannya cukup sulit, sementara konsumsi dan perburuannya masif. Perlu kebijakan dari pemerintah untuk penelitian, pembibitan, dan penangkarannya,” ujarnya Jumat (28/11/2014).
Menurut Rasyid yang pernah melakukan penelitian ikan tapah di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), ikan tapah akan muncul saat peralihan musim kemarau menuju musim penghujan, karena saat tersebut adalah masa pembiakan.
Ikan jenis karnivora atau pemakan daging seperti ikan yang lebih kecil dan udang-udangan ini, berkembang biak di lebak lebung atau areal lebak yang cukup dalam antara sungai dan selalu tergenang air lebih dari enam bulan selama setahun.
“Kalau di Muba masih banyak dan bobotnya bisa mencapai 70 kilogram, artinya lebak lebung yang ada di sana kondisinya masih cukup baik,” ujar Rasyid.
Selain permintaan ikan tapah yang tinggi, menurunnya jumlah ikan tapah seperti halnya ikan belida karena banyaknya sungai dan rawa yang hilang atau rusak. Kerusakan sungai dan rawa ini yang menyebabkan ikan tapah tidak dapat berkembangbiak dengan baik. “Kalau rawa habis, dan sungai rusak, dipastikan ikan tapah akan musnah,” ujarnya.
Berapa kerusakan rawa dan sungai di Sumatera Selatan? Sampai saat ini belum ada angka barunya.
Berdasarkan data Balai Musi 2005, kerusakan tepian sungai di Sumatera Selatan panjangnya mencapai 53,991 kilometer. Kerusakan ini terbagi pada Sungai Musi yang melintasi Musirawas, Musibanyuasin, dan Lahat sepanjang 8,860 kilometer; Sungai Harileko yang melintasi Musirawas sepanjang 1,1 kilometer; Sungai Rawas yang melintasi Musirawas sepanjang 14,050 kilometer; Sungai Lematang yang melintasi Lahat dan Muaraenim sepanjang 9,411 kilometer; Sungai Ogan yang melintasi Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir sepanjang 11,780 kilometer; Sungai Komering yang melintasi Ogan Komering Ulu sepanjang 4,5 kilometer; serta Sungai Musi yang melintasi Palembang sepanjang 4,290 kilometer.
Sementara, berdasarkan data Walhi Sumsel, dari luasan rawa di Palembang yang sebelumnya mencapai 200 hektar, kini tersisa 50 hektar. Sementara anak Sungai Musi yang hilang mencapai 221 buah.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio