, ,

Warna Warni Festival Limboto di Tengah Danau yang Sakit

Jalanan di bawah menara Limboto sedari pagi tampak ramai. Ratusan warga berdiri di pinggir jalan. Orang-orang berbusana penuh warna berkumpul menunggu aba-aba parade. Anak-anak hingga orang tua memadati.

Inilah suasana kala Carnival Danau Limboto 2014. Festival ini menyuguhkan budaya dan adat istiadat orang Gorontalo, mulai pakaian khas karawo, makanan, tata cara sunat, pernikahan, tarian, sampai tata cara adat dan doa hamil tujuh bulanan. Tak lupa, orang-warga Polahi, orang Gorontalo kala zaman kolonial melarikan diri ke hutan dan membentuk komunitas sendiri, diikutsertakan.

Event ini kali pertama mulai 2012. Sabtu (22/11/14), kali ketiga yang menjadi rangkaian HUT Kabupaten Gorontalo ke-341.

Kreasi unik pakaian khas karawo menjadi pemandangan menarik. Begitu juga ritual dayango, tarian permohonan dalam menjaga keseimbangan alam—yang mulai dilarang juga diperkenalkan.

Parade diawali dari Menara Limboto, berakhir di kawasan Sport Centre Limboto. “Ini layak jadi agenda wisata nasional,” kata Rianty Pakaya, seorang warga.

Tazbir, Direktur Promosi Wisata Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam sambutan mengatakan, festival ini upaya promosi dan mendorong ekonomi tumbuh dengan menampilkan kekhasan daerah. “Di Sumatera Utara,  ada Festival Danau Toba, ada Festival Danau Poso. Dengan nama danau bisa menggerakkan sektor dan potensi. Festival Danau Limboto layak dibesarkan agar menjadi event nasional bahkan internasional,” kata pria yang pernah menjadi Kepala Dinas Pariwisata Yogyakarta itu.

Untuk membuat festival Danau Limboto menjadi lebih meriah, harus ada strategi khusus, apalagi kalau menjadi tujuan wisatawan mancanegara. Strategi Tazbir, dengan mengundang para duta besar negara-negara sahabat agar datang pada festival.

“Kita tahu, Danau Limboto mengalami persoalan pendangkalan. Kegiatan ini membuat semua tergerak memperbaiki danau. Besarkan festival tidak harus pakai dana pemda, harus ada sponsor swasta.”

Peserta Festival  Limboto memakai kostum unik namun di beberapa bagian memakai motif karawo, sulaman khas Gorontalo. Foto: Christopel Paino
Peserta Festival Limboto memakai kostum unik namun di beberapa bagian memakai motif karawo, sulaman khas Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Sukri Mo’onti, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo, juga ketua panitia mengatakan, anggaran festival ini dibebankan kepada masing-masing instansi dengan total sekitar Rp500-an juta.

“Ada kontes ratu Danau Limboto, peserta dari luar provinsi, seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Juga lomba perahu kreasi berlangsung satu pekan.”

Limboto kritis

Semarak festival Limboto yang penuh warna-warni itu kontras dengan kondisi danau kini. Sejak 2009, ketika Konferensi Nasional Danau Indonesia di Bali hingga sekarang, Limboto masuk jajaran 15 besar danau terkritis. Banyak sedimentasi menyebabkan danau dangkal dan permukaan ditutupi eceng gondok. Danau ini dipediksi hilang 2025.

David Bobihoe,  Bupati Gorontalo, kepada Mongabay, mengatakan dengan festival ini, pembenahan tidak hanya menjadi tugas Dinas Pariwisata. Ia akan menjadi perhatian berbagai sektor, termasuk masyarakat.“Kami sengaja mencari nama populer untuk event pariwisata di Gorontalo. Danau Limboto menjadi pilihan agar mudah diingat dan mendapat perhatian, hingga ada pembenahan.”

Menurut David, kondisi danau 30 tahun lalu sangat jauh berbeda. Danau makin dangkal. Dia mengatakan, pernah usul memanfaatkan sedimen danau untuk batu bata, ternyata mudah pecah. Dia mengusulkan kepada Kementerian Perindustrian mencari solusi, misal, zat kimia yang mampu merekatkan sedimen danau menjadi batu bata. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut.

“Kalau sedimentasi danau bisa jadi batu bata, masyarakat pasti berbondong-bondong memanfaatkan.”

Pemerintah pusat tengah menggelontorkan dana penyelamatan Limboto Rp500 miliar. “Danau ini harus menjadi perhatian pusat. Sekerang bukan lagi memperlebar danau atau memperdalam. Cukup pertahankan yang ada sekarang. Kalau perlu bikin delta di tengah untuk tempat wisata, di pinggir dikeruk.”

Direktur perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), Ahmad Bahsoan, berharap, festival ini tidak terjebak pada kegiatan-kegiatan seremonial dan pencitraan. Namun lebih menyentuh langsung pada substansi penyelamatan danau.

“Danau sedang kritis. Terpenting kebijakan pemerintah daerah agar memihak penyelamatan danau, salah satu pembenahan di daerah hulu. Kalau pemerintah memberikan izin-izin pertambangan atau perkebunan skala besar di hulu, sama saja bohong karena makin membuat danau yang berada di hilir makin sakit.”

Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Gorontalo, luas Limboto tahun 1932 adalah 8.000 hektar dengan kedalaman 30 meter. Tahun 1970, menjadi 4.500 hektar dan kedalaman 15 meter. Tahun 2003, luas 3.054,8 hektar, kedalaman jadi  empat meter.

Tahun 2010, luas danau 2.537,2 hektar dengan kedalaman 2-2,5 meter. Lalu 2012, luas tersisa 2.500 hektar dengan kedalaman 1,876-2,5 meter.

Danau Limboto, yang mengalami sakit kronis, dari pendangkalan sampai dipenuhi eceng gondok. Foto: Christopel Paino
Danau Limboto, yang mengalami sakit kronis, dari pendangkalan sampai dipenuhi eceng gondok. Foto: Christopel Paino
KOstum-kostum unik dari mereflesikan tanam-tanaman sampai biota air (danau). Foto: Christopel Paino
KOstum-kostum unik dari mereflesikan tanam-tanaman sampai biota air (danau). Foto: Christopel Paino
Busana unik menggambarkan tanam-tanaman dengan dihiasi sulaman khas Gorontalo.Foto: Christopel Paino
Busana unik menggambarkan tanam-tanaman dengan dihiasi sulaman khas Gorontalo.Foto: Christopel Paino
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,