,

Ada Apa Dengan Adat Sajang di Lereng Rinjani? (Bagian II)

Waktu menunjukan pukul 16.25 wita, pada Sabtu (15/11/2014), di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).  Dari lereng Sembalun di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), terlihat hamparan luas semak belukar, dengan latar belakang Gunung Pegangsingan dan perumahan warga.  Berhadapan dengan itu, berdiri megah Gunung Rinjani, dengan puncak 3.726 mdpl, yang merupakan gunung berapi tertinggi kedua  berketinggian

Seorang warga sepuh di desa Sembalun Lawang, memandang ke hamparan semak belukar di depannya. “Hanya satu batang kopi itu saja yang tersisa, lainnya sudah habis ditebas,” kata lelaki yang bernama Haji Mulyono, menunjukkan arah sebatang kopi di ujung ladang.

Ia kemudian menceritakan kisah lahan miliknya dan enam tetangganya yang diambil proyek perkebunan kopi.  25 tahun yang lalu, sekitar 200 orang warga di Kecamatan Sembalun ditawari proyek kerja sama perkebunan kopi oleh petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun)  yang saat ini menjabat kepala UPT Dishutbun Kecamatan Sembalun bernama Kirno.

Saat itu, warga diminta menanam kopi, dimodali rombong, pupuk dan racun pembasmi hama, yang dibagi ke beberapa orang. “Jika berhasil bapak untung, jika gagal tidak ganti rugi,” kata Mulyono menirukan perkataan pihak Dishutbun kala itu.

Tanaman kopi gagal dan proyek pun gagal. Yang menyakitkan, ia dan enam rekannya dianggap berhutang Rp700.000,- kepada Dishutbun. Padahal mereka masih ingat bahwa jika proyek gagal maka warga tidak ganti rugi. Ia bingung ingin melapor kepada siapa dan kemana.  “Kami takut. Melihat orang memakai celana panjang dan bersepatu kami lari dan bersembunyi,” katanya.

Tanah Mulyono seluas tiga hektar diambil. Ia kecewa, karena  hanya tanahnya dan enam rekannya yang diambil. Tanah milik warga lainnya tidak diambil. “Tanah milik warga menengah kebawah diambil. Tanah milik warga menengah atas tidak,” katanya sedih dan prihatin.

Sejak itu, anak dan adik kandungnya pergi ke sebagai TKI ke Arab Saudi. Hingga sekarang, mereka terus menanyakan status tanah tersebut, apakah sudah dikembalikan. “Saya minta untuk kembalikan tanah kami yang sudah diambil. Sesuai katanya dulu, jika gagal kami tidak ganti rugi,” kata Mulyono penuh harap.

Lahan terlantar akibat proyek kopi yang merugikan masyarakat adat Sembalun. Foto : Tommy Apriando
Lahan terlantar akibat proyek kopi yang merugikan masyarakat adat Sembalun. Foto : Tommy Apriando

Dua rekan Mulyono, Haji Nasrudin (79 thn) dan  Zulkarnain (80), tanahnya juga diambil karena dianggap tidak mampu membayar hutang. “Inilah lahan kami, yang diambil petugas UPTD Kec Sembalun,” kata Zulkarnain sambil menunjukan luas lahan miliknya.

Tanah Zulkarnain yang diambil seluas satu hektar dan tanah Nasrudin seluas 900 meter persegi. Mereka masih ingat apa yang terjadi ketika dua puluh lima tahun lalu. Mereka kaget karena di tagih hutang. Mereka tidak punya uang, karena perkebunan kopi gagal. Menyerahkan lahan menjadi pilihan terakhir mereka.

“Berapa hutang kami tidak ada yang tahu. Kami hanya dimodali peralatan berkebun, pupuk satu karung dibagi tiga warga. Tidak ada dalam bentuk uang,” kata Zulkarnain.

Haji Nasrudin menujukkan lokasi tanah miliknya yang dirampas karena Proyek Kopi. Foto : Tommy apriando
Haji Nasrudin menujukkan lokasi tanah miliknya yang dirampas karena Proyek Kopi. Foto : Tommy apriando

Nasrudin bercerita, sejak lahannya diambil, perekonomian keluarga hancur. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Biasanya ia bisa menanam kol, wortel dan cabe. Namun, saat ini lahan tidak ada. “Harapan kami lahan kembali agar kami bisa bertani dan mencukupi kebutuhan ekonomi,” kata Zulkarnain penuh harap.

Kondisi Masyarakat Adat Desa Sajang.

Rumah pemangku Adat Sajang di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, beratap jerami, berdinding anyaman bambu. Lampu sentir menjadi alat penerangannya. Di halamannya, pohon klengkeng, manggis dan jeruk mulai berbunga.

Di depan rumah itu, duduk seorang lelaki bernama Indrawan, yang merupakan Ketua Pemuda Adat Sajang.  Ia mulai bercerita tentang Adat Sajang dan ritual memelihara hutan adat dan lingkungan.

Sajang berasal dari kata sajen atau saji. Adat Sajang adalah bagian adat Sasak. Adat Sasak mempunyai empat rumpun bahasa yaitu Selaparang, Pejanggi, Petungbayan, dan Briak Breto. Adat Sajang masuk Sasak Petungbayan. Sedangkan Adat Sembalun merupakan Sasak Selaparang.

Ketua pemuda adat Sajang Indrawan bercerita tentang sejarah adat mereka. Foto : Tommy Apriando
Ketua pemuda adat Sajang Indrawan bercerita tentang sejarah adat mereka. Foto : Tommy Apriando

Adat Sasak Sajang mengenal jabatan Mangku Gunung, Langlang Gunung dan Emban Dalem yang khusus memilihara hutan adat. Jabatan pemangku wajib keturunan pemangku. Dan ritual adat masih terus terlaksana, misalnya ritual sedekah bumi sebagai syukuran pertanian bernama Selamat Jerami.

Adat Sasak juga mengenal ritual Bruga, yang dilaksanakan jika ada kebakaran gunung atau orang meninggal. Ada bijak tawar atau tetemer, tujuannya supaya hal buruk atau jelek terjadi bisa ditawarkan atau diselesaikan.

Ada juga ritual potong kepala kerbau bila seseorang warga punya nazar /janji, atau bila berhasil menyelamatkan mata air.  Kepala kerbau akan di tanam di sekitar sumber air, karena masyarakat meyakini air milik alam bila diambil harus ditebus.  Akan tetapi pada Adat Sembalun, ritual ini dihilangkan.

Indrawan menjelaskan ada sekitar 1600 kepala keluarga di Desa Sajang yang hidup yang hidup bertani. “Warga adat Sajang hidup bertani kopi, cengkeh, kakao, panili, durian dan tanaman kayu. Itu komoditi kami,” katanya.

Tetapi sejak penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), masyarakat Adat Sajang tidak boleh memasuki kawasan hutan.  Bahkan tidak boleh membuat jalan. Mereka di usir dan tanaman mereka di rusak.  Masyarakat marah besar.

Pihak TNGR tidak memperbolehkan masyarakat luar mendaki Gunung Rinjani melewati jalur Desa Sajang.  Pendakian hanya boleh lewat pos pendakian TNGR di Desa Sembalun.  “Jalur legal ada di Sembalun. Masyarakat bayar tiket untuk masuk TNGR. Warga disini hanya bisa menjadi porter. Itupun di bulan tertentu saja,” kata Indrawan.

Karena lahan terbatas, pendapatan masyarakat di Desa Sajang tidak pasti dan tetap. Oleh karena itu, banyak pemuda mencari pekerjaan di luar negeri menjadi TKI. Selebihnya, menjadi porter saat musim pendakian di bulan Juli, Agustus dan September.

Memanfaatkan kekayaan alam berupa air terjun, seratusa pemuda Desa Sajang merintis bisnis pariwisata alam. Mereka membangun fasilitas jalan, membuat warung-warung kecil, parkir dan jasa porter.  Berawal dari situ masyarakat adat mengangkat pemuda adat sebagai pelopor membangun dan menjaga kelestarian air terjun Mangku Sakti.

“Kami menjaga alam dan mencari rejeki lewat kekayaan alam. Semoga Tuhan memberikan rejeki untuk kemajuan masyarakat  adat dari wisata air terjun ini,” kata Indrawan.

Hingga saat ini masyarakat adat Sajang punya kebun adat, lapangan sepak bola dari tanah yang di tinggalkan masyarakat adat. Termasuk hutan adat seluas tujuh hektar yang masih terjaga kelestariannya.

Konflik Lahan Masyarakat vs Perusahaan Kopi

Masyarat Desa Sajang mendapatkan kesempatan mengadukan permasalahan lahan mereka yang direbut oleh Dishutbun dan diserahkan kepada PT Sembalun Kusuma Emas (SKE) dalam acara Dengar Keterangan Umum (DKU)  yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Aula Kanwil Kemkumham, Kota Mataram,  pada pertengahan November 2014.

Dengar Keterangan Umum Inkuiri Adat Komnas HAM oleh Masyarakat Adat Sembalun di Aula Kanwil Depkumham, Mataram, Jumat, 14 November 2014. Foto : Tommy Apriando
Dengar Keterangan Umum Inkuiri Adat Komnas HAM oleh Masyarakat Adat Sembalun di Aula Kanwil Depkumham, Mataram, Jumat, 14 November 2014. Foto : Tommy Apriando

Dalam kesempatan itu, Nurlim, Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendataan Tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Timur, NTB  menjelaskan PT. SKE memiliki lahan seluas 555 hektar, dimana 183 hektar dikelola PT Agrindo Nusantara dan sebelumnya PT Sampoerna Agro.

Asnawi selaku staf Balai TNGR dalam mengatakan belum ada ijin hak guna usaha (HGU) dari pembebasan lahan 555 hektar atas nama PT SKE. Sebelumnya ada pemohonan HGU oleh PT. Sampoerna Agro sekitar 185 hektar. Dan sejak berpindah ke PT Agrindo Nusantara, telah ada HGU untuk 183 hektar tersebut. “Perluasan sisanya masih diindikasi tanah terlantar sesuai UU No. 5/1960 (tentang Pokok-pokok Agraria) kelebihan batas maksimal dan akan menjadi objek land reform,” katanya.

Dia mengaku tidak mengetahui lahan tersebut apakah akan digunakan sebagai perkebunan kopi oleh PT SKE. Yang ia tahu lahan tersebut milik negara yang dikuasai oleh masyarakat.

Asnawi mengatakan dirinya tidak mengetahui adanya keberadaan masyarakat adat di sekitar Gunung Rinjani. Dia mengatakan kajian tanah adat merupakan tugas BPN Lombok Timur, bukan tugas TNGR.

Dia mengatakan hingga saat ini BPN Lombok Timur belum mengkaji keberadaan tanah adat Sajang, serta tidak ada upaya  mengutamakan lahan masyarakat adat.

Sedangkan Abdul Rahman Sembalun, selaku pemangku Adat Sembalun punya harapan besar dari Inkuiri Adat Komnas HAM. Ia ingin hutan dan wilayah adat yang dirampas kala penetapan TNGR dikembalikan kepada masyarakat adat. Ia yakin, hutan dan satwa akan semakin lestari dan baik jika diberikan di masyarakat adat.

“Jika ingin hutan terjaga berikan pengelolaan  tanah adat ke kami. Jika ingin hutan rusak, biarkan saja pihak TNGR mengelolanya,” katanya.

Enny Suprapto selaku Majelis Sidang Inkuiri Adat Komnas HAM memberikan rekomendasi sementara bahwa masyarakat hukum adat sudah ada sebelum adanya Republik Indonesia. Negara mengakui kesatuan hukum adat selama masih ada dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Pengakuan dan penghormatan hukum adat beserta hak-haknya merupakan hak konstitusional yang harus dihormati oleh semuanya. Dalam Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan menetapkan keberadaan hukum adat beserta wilayahnya harus di formalkan dan diberi kewenangan kepada pemerintah daerah demi kepastian hukum.

“Kami mendorong Pemkab Lombok Timur segera menerbitkan Perda pengukuhan masyarakat Sembalun beserta wilayah adatnya dan juga kerjasama dengan komunitas Sembalun  untuk mengidentifikasi wilayah adatnya,” kata Enny.

Saur Tumiur Sitomorang dari Majelis Sidang Inkuiri Adat dari Komnas Perempuan merekomendasikan bahwa berkurangnya akses masyarakat adat Sembalun berakibat berkurangnya hasil produksi, terjadi kerusakan dan pengurangan sumber air, ada ketidakjelasan terkait HGU, diskriminasi ijin pengolohan lahan dimana ratusan hektar diberi kewenangan kepada perusahaan besar, sementara kepada warga tidak diberikan.

“Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan keterlibatan perempuan dalam segala kegiatan dan memberikan partisipasti, pengetahuan dan keterampilan bagi warga,” kata Saur Tumiur.

Dan terakhir, Sandra Moniaga selaku pimpinan Majelis Sidang Inkuiri Adat mengatakan, akibat proses yang dirasa tidak adil di masyarakat Adat Sembalun maka harus ada penelitian singkat tentang keberadaan masyarakat adat melalui Perda dan pemerintah harus berupaya mencegah dengan didasari pada penghormatan kepada korban, dan pemerintah kabupaten harus bisa melakukannya.

“Kami mengakui masyarakat adat Sembalun walaupun belum ada pengakuan secara resmi,” pungkas Sandra.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,