,

Mengungkap Kepunahan Satwa Masa Lalu Lewat Karya Seni Mesir Kuno

Apa yang telah terjadi selama ribuan tahun di ekosistem Serengeti di Mesir?  Karya seni Mesir kuno membantu para ilmuwan mengungkap “misteri” masa lalu itu.

Kehidupan di Mesir moderen memang tak bisa jauh dari Sungai Nil. Jalur hijau di tengah gurun ini didiami oleh sekitar 2.300 orang per kilometer persegi (atau 6.000 per mil persegi), sehingga tak cukup lagi ruang untuk satwa liar hidup. Serigala, rubah, hyena, ibex, dan beberapa spesies mamalia besar lainnya berhasil eksis di masa lalu. Namun, 6.000 tahun yang lalu, seluruh Mesir adalah kawasan hijau, penuh dengan kehidupan seperti ekosistem Serengeti saat ini. Seiring waktu, ekosistem yang kaya ini runtuh.

Meskipun kepunahan ini  tak tercatat dalam sejarah, sebuah studi baru dalam Proceedings of the National Academy of Sciences  berhasil membangun sebuah model jaring interaksi lintas milenium antar-mamalia.

“Kita seringkali melihat kepunahan dari sisi “sebelum dan sesudah”, tetapi dalam kasus ini, kita bisa melihatnya secara kronologis” kata Paul Koch, paleoekolog dari Universitas California, Santa Cruz, salah satu penulis studi tersebut. Kepada Mongabay.com, Koch menuturkan bahwa seringkali kita tidak bisa mengetahui proses kepunahan satwa kuno secara rinci.

Contoh paling umum dari karya seni Mesir kuno adalah hieroglif, para pelukis maupun pengukir di Mesir kuno juga menggambarkan adegan kehidupan satwa secara detil, seringkali juga menggambarkan perburuan satwa yang dilakukan oleh raja-raja Mesir. Photo: Charles Edwin Wilbour Fund, Brooklyn Museum

Untuk membangun modelnya, para ilmuwan tidak menggunakan sampel tulang atau fosil; sebaliknya, mereka menggunakan seni. Secara khusus, mereka meneliti lukisan yang sangat rinci dan ukiran satwa liar Mesir kuno yang berada di vas, furnitur, dan dinding.

“Kami tertegun dengan akurasi dan detail dari lukisan maupun ukuran satwa-satwa tersebut yang kita tahu tidak ada lagi di Mesir jaman ini” kata Justin Yeakel, peneliti utama dari studi ini, dalam sebuah wawancara dengan Mongabay.com.

Potongan-potongan awal, yang diyakini para arkeolog berasal dari 6.000 tahun yang lalu, menggambarkan 38 spesies mamalia besar termasuk di dalamnya jerapah, singa, gajah dan hippopotami. Seribu tahun kemudian, ketika iklim mulai bergeser dari lembab ke kering, lukisan maupun ukiran satwa-satwa tersebut mulai menghilang dari karya seni di sana. Dua kepunahan berikutnya cocok dengan dua kali pergeseran iklim yang terjadi sekitar 4.200 dan 3.000 tahun yang lalu. Ekosistem gurun yang ada di mesir era sekarang adalah hasil dari beberapa kali pergerseran iklim ribuat tahun lalu.

“Semuanya ada hubungannya, bahwa perubahan iklim yang besar mungkin memiliki dampak yang besar bagi semuaya” kata Yeakel,  yang sekarang bekerja di Santa Fe Institute di New Mexico. Sebuah kepunahan besar-besaran keempat terjadi sekitar 150 tahun yang lalu saat Mesir memulai proses industrialisasi.

Di luar pencocokan catatan paleontologis dengan sejarah, model ini juga menggambarkan interaksi seperti jaring laba-laba, saling terhubung antar-satwa satu sama lain, terutama hubungan antara predator dengan mangsanya.

Awalnya, jaringan ini memiliki banyak garis korelasi.  Namun ketika zebra punah, singa dan macan tutul bisa beralih berburu rusa atau kijang. Tetapi dalam setiap kepunahan, predator tak punya banyak alternatif makanan. Akhirnya, bagian utama dari jaringan tersebut runtuh.

Karya seni Mesir kuno yang diteliti para ilmuwan memang tidak dapat menggambarkan ukuran setiap satwa, maupun urutan kepunahan masing-masing satwa. Hal ini tentunya menyulitkan para peneliti untuk merumuskan teori tentang penyebab dan dampak dari setiap kepunahan satwa tertentu. Namun, ahli ekologi Justin Brashares dari University of California, Berkeley, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyatakan bahwa model ini berguna untuk menciptakan struktur awal sebuah ekosistem.

“Ia menawarkan cetak biru untuk meramalkan penurunan ekosistem di masa depan,” katanya kepada Mongabay.com.

Pada karya seni yang dipelajari, pola kepunahan satwa mesir kuno tidaklah acak. Awalnya, hewan ternak pertama kali menghilang, meninggalkan sebagian besar karnivora. Inilah yang membuat jaring tidak stabil, karena satwa yang tersisa adalah predator. Di era paling dekat dengan era sekarang, kunci ekosistemnya adalah herbivora berukuran kecil-menengah, seperti rusa, mungkin karena peran penting mereka sebagai makanan untuk karnivora.

Menurut Paul Koch, cara bagaimana ekosistem kemudian runtuh sangatlah mengejutkan.

“Sebenarnya, satwa-satwa tersebut berhasil bertahan hidup melewati berbagai tantangan, tapi kemudian seolah “dipaksa” untuk punah” katanya. “Dan kepunahan satwa dalam beberapa abad terakhir terjadi dengan sangat buruk.”

Kawasan yang dihuni oleh manusia di Mesir hanyalah 3,5% dari seluruh luas negara tersebut. Di luar kawasan delta Nil, hanya satwa-satwa gurun yang tangguh yang mampu bertahan hidup. Sumber: Wikipedia Commons.

* Kim Smuga-Otto adalah mahasiswa pascasarjana Program Ilmu Komunikasi Universitas California, Santa Cruz.

Referensi:
Yeakel JD, Pires MM, Rudolf L, Dominy NJ, Koch PL, Guimarães PR Jr, Gross T. Collapse of an ecological network in Ancient Egypt. PNAS, (2014) 111(40): 14472-14477. doi: 10.1073/pnas.1408471111
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,