,

Benarkah Limbah Perkebunan dan Kapal Tongkang Menyebabkan Sungai Air Sugihan Tercemar?

Sungai Air Sugihan yang mengalir di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, kondisinya memburuk akibat pencemaran.

Fakta mengenai Sungai Air Sugihan yang tercemar ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Sriwijaya (Unsri) dengan nama “Ekspedisi Penelitian Air Sugihan.”

Dr. Iskhaq Iskandar, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Unsri, mengatakan bahwa kesimpulan Sungai Air Sugihan tercemar didasarkan sejumlah parameter yang dilakukan sejumlah peneliti. Yakni biologi, kimia, fisika yang pemeriksaannya menggunakan dua laboratorium.

“Sejauh ini, memang ada parameter-parameter yang bisa dikatakan sudah mendekati nilai baku mutu lingkungan. Tetapi masih di bawah nilai ambang batas. Detailnya saya tidak hafal,” kata Iskhaq, yang ditemui awal Desember 2014.

Iskhaq mengatakan ekspedisi penelitian Sungai Air Sugihan dilakukan sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama dilakukan Juli 2014 untuk mewakili musim kemarau. Ekspedisi kedua, dilakukan akhir Agustus 2014 untuk mewakili musim kemarau, dan musim peralihan dari kemarau menuju penghujan. Sementara, ekspedisi ketiga rencananya dilaksanakan pada minggu kedua Desember 2014, mewakili musim hujan.

“Kita ingin melihat apakah perbedaan musim ini akan memengaruhi kualitas air di Sungai Sugihan. Pasti ada pengaruhnya, tinggal lagi seberapa signifikan pengaruh tersebut,” ujar akademisi yang meraih doktor bidang kelautan dan klimatologi dari Universitas Tokyo pada 2007 ini.

Apa penyebab pencemaran tersebut? Sumber pencemaran sub-sub sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Air Sugihan, salah satunya akibat pelayaran perahu tongkang guna menunjang aktivitas berbagai perusahaan, baik perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri.

“Pencemaran dari tongkang ini bisa karena banyak hal, seperti tongkang yang sudah tua, sudah tidak layak, tumpahan oli, minyak, karat dan lain-lain. Ini menyebabkan peningkatan beban pencemaran bagi sub-sub sungai di DAS Air Sugihan. Ini perlu dievaluasi oleh perusahaan yang beroperasi di daerah ini,” jelasnya.

Iskhaq menambahkan, penyebab lain yang turut memberi kontribusi bagi pencemaran di Sungai Air Sugihan adalah penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya dalam kegiatan perkebunan dan pertanian, serta limbah domestik berupa sampah rumah tangga dan limbah mandi dan mencuci yang dihasilkan masyarakat sekitar.

Masalah pendidikan

Penelitian yang dilakukan Iskhaq juga memetakan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat dan persepsi mereka mengenai aktivitas perusahaan di sekitar Sungai Sugihan. “Kita juga menangkap kondisi riil masyarakat dan harapan mereka terhadap aktivitas perusahaan. Pendidikan masyarakat desa di sepanjang sub-DAS sangat rendah, sekitar 40 persen penduduk hanya tamat SD,” kata Iskhaq.

Kondisi tersebut yang kemudian disampaikan ke beberapa perusahaan yang beraktivitas di sana. Tim peneliti mengirimkan rekomendasi agar perusahaan yang beroperasi di sekitar Sungai Air Sugihan memprioritaskan CSR mereka untuk bidang pendidikan dan kesehatan.

“Harus ada pembangunan sarana pendidikan, tenaga pendidik juga harus diperhatikan karena akses ke sana cukup sulit. Sarana kesehatan dan tenaga medis juga masih kurang. Jika masyarakat terdidik dan sehat, kita yakin ini akan memberi kontribusi positif bagi lingkungan,” jelasnya.

Setiap hari, ratusan perahu membawa buah sawit dari perkebunan dengan melintasi Sungai Air Sugihan. Foto: Taufik Wijaya
Setiap hari, ratusan perahu membawa buah sawit dari perkebunan dengan melintasi Sungai Air Sugihan. Foto: Taufik Wijaya

Belum ada basis data

Iskhaq mengatakan selama ini belum ada basis data yang lengkap mengenai Sungai Sugihan, oleh karenanya dia berharap penelitian tersebut dapat terus berlanjut, sehingga dapat dilakukan pemantauan perkembangan kualitas Sungai Air Sugihan, serta potensi lainnya yang ada di sekitar DAS Air Sugihan.

“Ada Suaka Margasatwa Padang Sugihan yang memiliki satwa dan flora yang beragam. Daerah ini juga memiliki potensi pengembangan kerbau rawa, yakni kerbau pampangan. Sementara untuk kualitas nilai baku mutu lingkungan akan kita pantau di beberapa titik untuk dilihat perubahannya,” ujar Iskhaq.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,