,

Diduga Tercemar Limbah PLTU, Petani Rumput Laut di Kupang Barat Merugi

Obet Leo berjalan cepat menuju pesisir laut di Desa Bolok,  Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Melewati jalan setapak bebatuan karang. Di kanan dan kiri pepohonan kayu putih menjulang tinggi berkisar lima sampai sembilan meter. Pepohonan kering dan satu sarang lebah juga kami jumpai.

Setelah berkisar dua ratus meter berjalan, tibalah di pondok dan pesisir laut tempatnya menanam rumput laut. Tatapan Obet langsung tertuju pada jemuran rumput laut miliknya. Kemudian ia memegang dan menunjukkan kepada saya. Ia juga menunjukan luasan rumput laut miliknya.

Dari pondoknya, terlihat botol-botol plastik mengapung di permukaan laut, pertanda tanaman rumput laut dibawahnya.

“Sudah turun temurun saya bertani rumput laut. Baru kali ini mengalami kerusakan. Rumputnya mudah putus dan berwarna putih pucat. Mungkin ini karena limbah,” kata Obet Leo kepada Mongabay pada 19 November 2014 lalu.

Obet Leo menunjukan rumput laut miliknya yang rusak. Foto : Tommy Apriando
Obet Leo menunjukan rumput laut miliknya yang rusak. Foto : Tommy Apriando

Usia Obet Leo 58 tahun. Sudah lebih dari tiga puluh tahun ia bertani rumput laut. Baru di bulan Oktober 2014 kemarin hasil pertaniannya rusak dan pendapatannya menurun. Jika sebelumnya  ia bisa memanen rumput laut kering hingga satu ton setiap bulan. Namun saat ini, hanya berkisar setengahnya saja. Sudah ada pelanggan tetap yang membeli satu ton rumput laut seharga Rp15 juta sudah ada pembeli tetap.

Di musim hujan tanaman rumput laut jadi lebih baik, namun kendalanya pengeringan menjadi lebih lama.

Obet menambahkan, belum ada dari pihak dinas terkait datang untuk mengecek di lokasi pertanian kami. Ia menduga rusaknya rumput laut karena limbah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Bolok. Ia membandingkan, sebelum PLTU beroperasi berpuluh tahun lalu, tidak pernah ada masalah dengan rumput laut. Namun setelah beberapa bulan beroperasi rumput laut rusak.

Rumput laut  di jemur oleh Obet Leo untuk dikeringkan, sebelum di jual ke pasar. Foto : Tommy Apriando
Rumput laut di jemur oleh Obet Leo untuk dikeringkan, sebelum di jual ke pasar. Foto : Tommy Apriando

Pada 2010 lalu, PLTU Bolok berkapasitas 2 x 6,5 Mega watt tersebut bersengketa dengan PT Timor Osuky Mutiara (TOM), perusahaan pembudidaya budidaya mutiara. Sengketa terjadi karena PT TOM tidak ingin tongkang-tongkang batubara  PLTU merusak budidaya mutiara  terutama dampak limbah pembuangannya. Akan tetapi, PT TOM juga telah melanggar ijin usaha budidaya mutiara, karena telah melebihi batas dari titik kordinat seluas 200 meter.

Dari pemantauan Mongabay di lapangan, jarak PLTU Bolok dengan pertanian rumput laut milik Obet Leo hanya berkisar 100 hingga 300 meter. Kepulan asap dari cerobong PLTU juga cukup tebal.

Terkait kerusakan rumput laut di sepanjang Kupang Barat, Melky Nahar dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT mengatakan, pemerintah daerah harus melakukan riset. untuk memastikan faktor penyebab kerusakannya.

Kawasan Bolok, Kupang Barat sesuai tata ruang NTT merupakan kawasan industri. Namun demikian, yang perlu diperhatikan pemda adalah jangan menghadirkan suatu industri yang tidak mendukung keberlangsungan pertumbuhan rumput laut di wilayah itu.

“Menghadirkan industri dengan menghancurkan industri yang sudah ada dan terbukti menghidupi masyarakat adalah hal fatal dan merugikan masyarakat petani rumput laut,” kata Melky.

Belum lagi, dalam catatan Walhi NTT, rencana pembangunan smelter (pemurnian) dari PT Kuoang resources yang mendapatkan dukungan pemerintah provinsi NTT. Kehadiran perusahaan ini juga menjadi ancaman pehidupan para petani rumput laut dan nelayan sepanjang pesisir Bolok, Kecamatan Kupang Barat. Terutama ancaman dari pencemaran limbah.

Mama Aleta Baun, anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, Fraksi PKB kepada Mongabay mengatakan baru mendengar keluhan warga bahwa ada kerusakan pertanian rumput laut di Kupang Barat. Dia berjanji akan berkirim surat kepada Bupati Kupang dan dinas terkait untuk turun ke lapangan melakukan penanganan.

“Jika memang karena limbah pembuangan PLTU maka harus segera dilakukan penanganan khusus dan memanggil pihak terkait,” kata Aleta Baun.

Botol-botol plastik mengapung di permukaan laut, merupakan tanda adanya pertanian rumput laut di bawahnya. Foto : Tommy Apriando
Botol-botol plastik mengapung di permukaan laut, merupakan tanda adanya pertanian rumput laut di bawahnya. Foto : Tommy Apriando

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT, Abraham Maulana kepada Mongabay mengatakan, sudah mendengar adanya keluhan petani rumput laut di pesisir Kupang Barat. Pihaknya sudah mempersiapkan tim untuk turun ke lapangan dan mengecek penyebab rusaknya pertanian rumput laut warga.

“Kami akan cek apa penyebabnya. Apakah limbah baik dari PLTU Bolok atau limbah lainnya, nanti akan kami cek laboratorium sampel air laut dan rumput lautnya,” kata Abraham.

Hasil tidak bisa diperoleh dalam waktu dekat, terutama hasil temuan laboratorium. Tetapi dia akan berkordinasi dengan dinas terkait untuk secepatnya melakukan penanganan rusaknya rumput laut warga tersebut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,