,

Agar Luasan Hutan Jelas, Pemerintah Sumatera Selatan Diminta Segera Selesaikan Konflik Lahan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan meminta pemerintah di Sumatera Selatan untuk menyelesaikan berbagai konflik lahan antara masyarakat dengan pemerintah maupun dengan perusahaan. Sehingga kawasan hutan di Sumsel dapat segera ditetapkan luasannya.

Langkah ini sebagai penghormatan terhadap PB.3/Menhut-11/2014 tentang tata cara penyelesaian penguasaan tanah yang berada di kawasan hutan.

“Status kawasan hutan di Sumsel masih belum jelas. Masih banyak klaim masyarakat terhadap kawasan hutan yang belum diselesaikan pemerintah,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Rabu (10/12/2014) malam.

Selama proses penyelesaian konflik tersebut, kata Hadi, pemerintah diharap tidak melakukan berbagai kegiatan seperti pengusiran, perusakan, maupun kriminalisasi terhadap masyarakat terkait kawasan hutan yang tengah berkonflik. “Misalnya, BKSDA  (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumsel menghentikan berbagai aktivitasnya terkait Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin,” kata Hadi.

“Jika mereka mengusir maupun merusak bangunan milik warga yang berada di kawasan adat di Dangku, jelas BKSDA Sumsel tidak menghormati PB.3/Menhut-11/2014 yang sangat menghormati tanah ulayat atau tanah adat,” katanya.

Dijelaskan Hadi, berdasarkan SK Menhut No.76 Tahun 2001 luas kawasan hutan di Sumatera Selatan mencapai 4,7 juta hektar. Tapi luasan tersebut baru penunjukkan, dan hingga saat ini belum penetapan. Luasan kawasan hutan ini setengah lebih dari luasan Sumsel yang mencapai 8,7 juta hektar.

Faktanya, saat ini hutan tutupan di Sumsel tersisa 700-an ribu hektar. Hutan Sumsel rusak diduga akibat illegal logging, kebakaran, pertambangan batubara, serta penggunaan perkebunan sawit, karet dan hutan tanaman industri (HTI) yang luasannya mencapai 5 juta hektar.

“Penetapan kawasan hutan baru dapat dilakukan setelah adanya penunjukan, tapal batas, dan penyelesaian soal klaim masyarakat terkait kawasan hutan tersebut. Nah, klaim masyarakat terhadap kawasan hutan di Sumsel tidak pernah terselesaikan, justru menimbulkan konflik hingga saat ini seperti antara masyarakat adat dengan BKSDA terkait Suaka Margasatwa Dangku,” jelasnya.

Menghambat agenda

Dijelaskan Hadi, sesuai PB.3/Menhut-11/2014, guna menyelesaikan berbagai konflik lahan terkait kawasan hutan, pemerintah di Sumatera Selatan harus segera membentuk Tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah).

“Setahu saya, pemerintah Sumsel maupun pemerintah kabupaten dan kota di Sumsel belum membentuk Tim IP4T. Ini menunjukan belum adanya niat baik dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kawasan hutan,” kata Hadi.

Yang terpenting, sebelum Tim IP4T bekerja, data kasus konflik lahan di Sumsel benar-benar valid. “Data konflik lahan yang dikatakan pemerintah di Sumsel selama ini, belumlah lengkap. Datanya harus diverifikasi lagi,” ujar Hadi.

Anwar Sadat, Ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS) juga menginginkan pemerintah di Sumsel segera membentuk Tim IP4T. Menurut aktifis yang banyak mendampingi berbagai kasus konflik lahan ini, jika konflik ini tidak segera terselesaikan, maka agenda pemerintahan Jokowi tahun depan memulai distribusi hutan kepada masyarakat seluas 8 juta hektar per tahun kepada masyarakat, serta pencanangan hutan adat atau ulayat seluas 40 juta hektar tidak akan berjalan dengan lancar dan baik.

Sadat pun mengingatkan, distribusi hutan kepada masyarakat yang merupakan kerja sama antara masyarakat dengan pemerintah maupun perusahaan, jangan sampai dipaksakan. “Jika masyarakat tidak mau, ya didorong menjadi hutan adat atau ulayat. Jangan pula dipaksakan. Sebab akan menimbulkan konflik baru,” ujarnya.

Walhi Sumsel maupun SPS belum memiliki data yang pasti mengenai konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan maupun pemerintah di Sumsel terkait kawasan hutan. “Yang kita dampingi selama konflik lahan. Soal status lahan yang disengketakan apakah kawasan hutan maupun tidak, tidak menjadi perhatian. Hal ini karena belum jelasnya status luasan hutan di Sumsel. Hanya konflik terkait dengan hutan lindung dan suaka margasatwa yang tercatat. Yang jelas konflik lahan yang melibatkan masyarakat di Sumsel mencapai satu juta hektar lebih,” kata Sadat.

“Soal luasan kawasan hutan akan terlihat setelah konflik lahan terselesaikan. Saat itulah kawasan hutan sesungguhnya di Sumsel akan terdata dengan jelas. Kepentingan masyarakat dulu yang diutamakan, baru soal penataan hutan,” jelas Hadi.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,