,

Belajar dari Rumah Kompos Makkawaru

Rumah itu terbuat dari anyaman bambu dan berlantai tanah. Sederhana. Ia terletak di Dusun Maralleng, Desa Pao-pao, Kecamatan Tanete Rilau Barru. Itulah rumah kompos Kelompok Tani Makkawaru. “Beginilah keadaan. Maaf agak berantakan,” kata Nur Yasin.

Yasin, anggota Makkawaru. Dia bertugas mencampur dan membuat kompos. Dia ibarat koki. Setiap hari, bahan-bahan kotoran ternak, urin sapi, sampah dari daun, sekam gergaji, sekam padi, jahe, hingga lengkuas diatur dan ditakar dengan cermat. Lalu dimasukkan ke wadah.

Karung-karung pupuk kompos padat berwarna putih, berjejer, dan bertumpuk-tumpuk. Inilah hasil racikan Nur. Setiap bulan rumah kompos ini memproduksi antara empat sampai lima ton pupuk padat. Dengan omset Rp7 juta per bulan.

Karung-karung pupuk padat kompos ukuran 50 kg dijual Rp100.000 dan ukuran 25 kg dijual Rp50.000 per karung. Pupuk padat, rumah kompos ini memproduksi pupuk organik cair, penjualan November mencapai 100 liter, per liter Rp35.000.

Membuat pupuk organik padat dan cair tak begitu sulit. Menurut Yasin, hanya perlu kemauan dan kesabaran, dan keinginan belajar. Membuat 100 kg pupuk padat, kotoran ternak hanya 30%, dan 70% bahan lain, diperoleh dari pekarangan sekitar seperti sampah.

Muliana, sang penggagas pupuk organik kelompok Makkawaru-Barru. Foto: Eko Rusdianto
Muliana, sang penggagas pupuk organik kelompok Makkawaru-Barru. Foto: Eko Rusdianto

Yasin juga memiliki rahasia dapur dikenal dengan nama micro organisme lokal (MOL). MOL dicampur saat fermentasi pupuk yang berfungsi sebagai bahan pengurai. Untuk 100 karung pupuk padat ukuran 50 kg, MOL 20-22 liter, ukuran 50  kg hanya tujuh lliter.

Satu liter MOL, menghasilkan 40 lliter pupuk organik cair. Darimana bahan MOL diperoleh? “Di sekitar kita. Tiap hari kita konsumsi.”

Mengapa pupuk organik membutuhkan bahan-bahan dapur seperti jahe ataupun lengkuas? Nur, tersenyum. Dia menjelaskan, dengan rinci. Sebelum manusia mengenal pupuk kimia, masyarakat menggunakan beberapa bahan alami mengusir hama. Menyemprotkan cairan cabai untuk hama tertentu. “Itulah fungsinya. Mengusir hama dan mencegah penyakit jamur.”

Kini,  produksi pupuk kelompok ini, merambah luar Barru. Di Siwa Kabupaten Wajo, permintaan terus meningkat untuk pemupukan cengkih. Tahun 2014, permintaan sampai 2,5 ton dan 2015 kemungkinan dua kali lipat.

Permintaan lain datang dari Pangkep dan Soppeng. “Saya kira orang-orang mulai melirik pupuk organik,” kata Muliana, anggota lain.

Tak hanya itu, rumah kompos ini memiliki NPWP dan izin produksi, namun belum ada izin pemasaran dan pelabelan. “Kami sedang mengurus. Jika kami sudah punya nama produk dan izin pemasaran secara baik, pasti lebih baik,” kata Muliana.

Tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kompos. Foto: Eko Rusdianto
Tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kompos. Foto: Eko Rusdianto

Awal mula

Muliana ingat betul, ketika masih SMA dan mendapatkan pelajaran cara bertani yang baik. Dia mulai memberanikan diri memulai. Pada seorang keluarga, dia meminta sepetak kecil lahan persawahan.

Dia mengumpulkan jerami dan dibakar. Bibit wijen disebar. Sehari, dua hari, hingga tiga hari beberapa bibit mulai terlihat tumbuh. Hati Muliana kegirangan. Dia merawat wijen-wijjen itu, dan beberapa bulan berhasil dijual, Rp50.000. “Sampai sekarang, hasil penjualan pertama itu saya simpan. Tersisa Rp20.000. Saya senang sekali.”

Sejak percobaan itu, Muliana mulai jatuh cinta produk-produk pertanian. Semangat menunggu tanaman, menjaga, dan perasaan bahagia setelah mendapat hasil. “Saya ingin menjadi pengusaha. Itulah cita-cita saya. Pengusaha pertanian.”

Gayung bersambut. Pada 2012, dia bertemu Yasin dan melangsungkan pernikahan. Yasin, lelaki perantau, pernah bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan, dan menganggap praktik pertanian itu tak baik.

Pasangan keluarga ini, mencoba meminjam lahan setengah are. Mereka menanam cabai, kangkung, terong, dan kacang-kacangan. Untuk memupuk tanaman, mereka tak menggunakan pupuk kimia, melainkan membuat sendiri.

Alhasil, modal Rp200.000, penghasilan mereka bertambah berkali lipat. Dari kangkung Rp600.000, kacang-kacangan Rp100.000 dan cabai sampai jutaan rupiah.

Ketika masyarakat lain menanam cabai hanya memanen hingga 15 kg, Muliana 22 kg. Dalam seminggu, bisa mengumpulkan 50 kg. Cabai-cabai Muliana pun tak terkena hama dan penyakit. “Dari sinilah kami mulai.”

Di Siwa, Wajo, sebelum kebun cengkih keluarga Muliana menggunakan pupuk kompos, produksi maksimal 50 kg. Cengkih terlihat ringkih dan mengkerut. Ketika menggunakan kompos, daun cengkih mulai lebat. “Panen kemarin, hingga satu ton untuk 50 batang.”

Keuntungan lain, ketika usai panen pucuk daun yang terpotong karena pemetikan cepat bertumbuh. Dibandingkan cengkih menggunakan pupuk kimia. “Petani lain melihat dan mulai melakukan. Maka, permintaan makin tinggi,” kata Muliana.

Meskipun begitu, mengenalkan produk organik seperti kompos ini tidak mudah. Kata Muliana, perlu kesabaran ekstra. Di sekitar Desa Pao-pao, saja masyarakat masih enggan. Ini terbukti dengan permintaan pupuk November hanya lima karung.

Anggapan reaksi pupuk organik lamban membuat beberapa petani enggan menggunakan. Persawahan dan perkebunan masih setia dengan pupuk kimia, apalagi program pemerintah masih memberikan pupuk susidi.

“Dalam beberapa kali sosialisasi di masyarakat, saya selalu menganjurkan beberapa petani, membuat lubang, lalu kotoran ternak, sampah dedaunan, dikubur. Sebulan sudah jadi pupuk. Hanya beberapa yang melakukan, selebihnya tidak.”

Nur Yasin, sibuk menyiapkan bahan-bahan kompos. Foto: Eko Rusdianto
Nur Yasin, sibuk menyiapkan bahan-bahan kompos. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,