Kekeringan Lahan Pertanian di NTT, Bagaimana Solusinya?

Kekeringan mungkin sudah menjadi keseharian saat musim kemarau di Nusa Tenggara Timur (NTT).  Seperti lahan tepat di belakang rumah dinas Gubernur NTT di Kota Kupang, yang mengering dengan rekahan tanah selebar 5 – 10 centimeter. Irigasi kering, hanya terlihat rumput ilalang. Di lain tempat, di beberapa kecamatan di Kabupaten Kupang Barat dan di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang Timur hal serupa juga terlihat.

Sore itu pukul 15.30 Wita, pada Selasa (18/11/2014),  Juventino hanya bisa menatap lahan pertanian miliknya yang kering. Ia bertani sudah puluhan tahun di Keluharan Oebelo, Kabupaten Kupang Timur, NTT.

Ia mengatakan kekeringan sudah terjadi berulang kali disetiap musim kemarau. Rata-rata pertanian hanya bisa dilakukan ketika musim hutan tiba. Belum ada upaya pemerintah daerah untuk mencari solusi kekeringan. Tidak ada juga bantuan untuk petani.

“Kami bertani untuk membiayai sekolah anak, hingga saat belum ada bantuan pemerintah. Sekarang bingung harus bagaimana. Semoga hujan lekas turun,” kata Juventino.

Di musim kemarau, ia menjadi buruh bangunan atau kerja serabutan. Beberapa petani lainnya mencoba menanam pohon sagu di lahan kering. Yang lain hanya membiarkannya.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT Yohanes Tay Ruba kepada Mongabay mengatakan, selama ini pemerintah sudah melakukan berbagai upaya pendampingan petani. Bantuan kepada petani berupa sarana pertanian, benih, pupuk, alat pompa air secara reguler.

Problemnya di NTT, musim hujan lebih pendek dari pada kemarau. Sehingga kekeringan lahan tentu terjadi setiap tahunnya. Mereka terus memberikan sosialisasi pemanfaatan ketika musim kemarau atau di lahan kering.

“Saat ini memang luas lahan kering lebih luas dari pada tahun sebelumnya, namun ketersediaan pangan di NTT masih cukup,” kata Yohanes.

Irigasi pertanian yang kering di Kupang. Foto : Tommy Apriando
Irigasi pertanian yang kering di Kupang. Foto : Tommy Apriando

Ketersediaan beras untuk rumah tangga dan raskin di kendalikan oleh Bulog. Saat ini di NTT, produksi terus meningkat namun kebutuhan juga meningkat. Sehingga NTT sendiri memasok kebutuhan pangan dari Jawa Timur dan Sulawesi.

Data pemerintah NTT, potensi pertanian lahan kering yaitu sekitar 1.528.308 hektar berdasarkan kelas kesesuaian lahan terdiri dari daerah kecocokan tinggi, sedang dan terbatas. Sedangkan potensi lahan pertanian basah seluas 284.103 hektar yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota, dimana sebagian telah dikelola dan dibagi berbagai daerah irigasi.

Tejoyuwono Notohadiprawiro dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dalam makalahnya “Pertanian Lahan Kering di Indonesia,Potensi, prospek, kendala dan pengembangannya” menjelaskan, untuk menciptakan prospek baik khusus bagi pengusahaan lahan kering diperlukan teknologi sepadan, baik bagi lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT minim dana untuk mengatasi masalah kekeringan. Dana bantuan pemerintah pusat habis sejak 6 November 2014. Kepala BPBD NTT Tini Thadeus dana bantuan pemerintah pusat sebesar Rp 4 miliar hanya bisa membantu warga selama empat bulan.

“Dana tersebut dipakai untuk penyaluran air bersih di 170 titik yang tersebar di 17 kabupaten yang mengalami kekeringan parah. Uang tersebut tidak cukup untuk membantu semua desa yang kekeringan,” kata Tini.

Kepala Badan Pelaksanaan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai Timur, (BP2KP) Silvester Djeraba mengatakan, luas lahan padi sawah yang mengalami kekeringan 525,43 hektar di Flores, Kabupaten Manggarai Timur. Luas lahan padi ladang yang mengalami kekeringan 1.144,55 ha. Luas lahan jagung yang mengalami kekeringan 1.105 ga dengan jumlah kepala keluarga (KK) yang mengalami korban kekeringan 6.546 KK dari jumlah jiwa 30.164 jiwa dan total kerugian mencapai Rp 27.352.877.872.

A.Wihardjaka, dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Kementerian Pertanian memaparkan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia umumnya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Dampak kekeringan sangat dirasakan di sektor pertanian tanaman pangan yang menjadi tumpuan bagi sebagian besar penduduk Indonesia, yang berpengaruh terhadap kerawanan pangan dan penurnan produksi tanaman. Selain melalui pendekatan teknis, antisipasi kekeringan dilakukan pula melalui pendekatan kelembagaan yang mencakup pendekatan strategis, taktis, dan operasional.

Pendekatan antisipatif dalam mengurangi resiko kekeringan dapat dilakukan melalui pendekatan teknis dan pendekatan kelembagaan. Tindakan-tindakan yang dilakukan melalui pendekatan teknis, seperti mengefektifkan informasi prakiraan iklim yang dihasilkan oleh beberapa lembaga internasional dan nasional seperti BMG, LAPAN, Badan Litbang Pertanian, untuk memprediksi terjadinya kekeringan dan menentukan alternatif teknologi antisipasinya.

Selain itu, memanfaatkan peta rawan kekeringan sebagai informasi awal dalam memantau kekeringan dalam kondisi iklim normal serta melakukan analisis dampak anomali iklim terutama El-Nino terhadap pergeseran musim (awal musim kemarau, musim hujan), penurunan curah hujan tahunan, dan membandingkan musim kemarau dan musim hujan  dengan kondisi normalnya.

“Tentukan saat dan masa tanam yang tepat dengan memanfaatkan analisis neraca air wilayah dan analisis indeks kecukupan air (nisbah evapotranspirasi riil/evapotransiprasi maksimum) untuk mengetahui defisit dan surplus air dan saat tanam yang tepat pada kondisi iklim normal,” ujar Wihardjaka dalam laporannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,