Pada 2 Desember 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) periode 2013-2014. Dalam masa ini, 1.908 perusahaan mengikuti mekanisme penaatan berbasis sukarela. Capaiannya, predikat hitam ada 21 perusahaan, merah (516), biru (1.224), hijau (121) dan emas (9).
Di tengah pemberian Proper kepada perusahaan ini, tidak sedikit isu berkembang. Ada yang menyatakan, Proper melenceng dari penaatan dan tidak lagi obyektif sebagai instrumen penilaian dalam skema penegakan hukum lingkungan.
Instrumen penaatan
Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian sangat penting dalam menciptakan penaatan (compliance) hukum lingkungan. Namun, penciptaan penaatan melalui penegakan hukum, atau sering disebut pendekatan command and control (CAC—atur dan awasi), seringkali dikritik karena berbagai alasan. Pertama, CAC dianggap mendasarkan diri pada pandangan, perilaku anti-lingkungan dapat dilawan dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan ini bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari tindakan menguntungkan diri. Hingga ketika dihadapkan peraturan perundang-undangan manusia seringkali diam-diam melakukan pelanggaran.
Kedua, CAC dianggap bersifat top-down dan instruktif, yang memposisikan masyarakat melaksanakan yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan menurut interpretasi dari pemerintah an sich. Karena itulah, dalam CAC masyarakat dan industri tidak didorong atau diberikan insentif berperilaku ramah lingkungan. Ketiga, CAC bersifat kaku dan birokratis dalam bentuk aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari UU sampai pada tingkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kekakuan ini, misal, berakibat pada teknologi dan sistem pengelolaan lingkungan tak berkembang.
Sisi lain, kekakuan CAC juga mengakibatkan pendekatan ini sangat birokratis, hingga pejabat seringkali bertindak lebih demi kepentingan birokrasi ketimbang demi perbaikan kondisi lingkungan. Demi mengatasi persoalan dalam pendekatan CAC, para ahli memikirkan untuk mengembangkan pendekatan alternatif yang mampu memberikan insentif dan disinsentif bagi masyarakat. Artinya, hukum memberikan insentif bagi penaatan, dan disinsentif bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, bisa lewat Proper, sebagai instrumen penaatan.
Dalam praktik, Proper malah berfungsi sebagai instrumen penaatan sukarela perusahaan dan memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pada momentum ini, Proper sebagai instrumen alternatif perusahaan saat akan menunjukkan ketaatan lingkungan. Kala perusahaan tidak ramah lingkungan, akan menghindari instrumen ini. Suatu kondisi sangat bertentangan dengan semangat awal Proper yang diharapkan bisa menjadi instrumen pemicu ketaatan dalam mewujudkan pengelolaan perusahaan ramah lingkungan.
Regenerasi instrumen ekonomi
Berbeda dari pendekatan atur dan awasi, dengan penggunaan instrumen pendekatan ekonomi, penaatan sukarela bisa dianggap sebagai upaya penerapan hukum refleksif ke kebijakan lingkungan. Perspektif ini terlihat, hukum refleksif merupakan upaya membuat hukum menjadi lembaga yang mampu mendorong proses evaluasi diri dalam penurunan dampak lingkungan. Dalam konteks ini, penaatan sukarela– merupakan penerapan hukum refleksif –diharapkan mampu mendorong setiap orang mengevaluasi, menguji, dan mengkaji ulang perilaku selama ini. Apakah memberikan manfaat bagi lingkungan hidup, atau menimbulkan kerusakan.
Dalam diskursus penegakan hukum administrasi, penerapan hukum refleksif ini momentum menandai awal pola kebijakan lingkungan generasi ketiga. Ini tahapan lanjutan dari kebijakan lingkungan generasi pertama yang ditandai pemberlakuan instrumen CAC secara ekstensif. Sedang kebijakan generasi kedua ditandai pemberlakuan instrumen ekonomi, semacam pajak lingkungan. Pada generasi ketiga, kebijakan lingkungan refleksif ditandai, pemberlakuan kebijakan sukarela terkait informasi, audit lingkungan, dan sistem pengelolaan lingkungan.
Eksistensi Proper sebagai sebuah instrumen berbasis generasi ketiga seharusnya diikuti dengan insentif yang diberikan kepada perusahaan peringkat emas, hijau dan biru. Misal, berupa kemudahan izin dan pengurangan pajak. Keadaan ini memicu peningkatan keikutsertaan peserta Proper dengan asumsi semua rangkaian kegiatan transparan dan obyektif.
Penegakan hukum versus Proper
Selain permasalahan obyektivitas dari Proper itu, tindaklanjut perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam menjadi bertentangan dengan norma wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsep Proper, kategori merah terjadi saat pengelolaan lingkungan belum sesuai persyaratan. Sedangkan hitam, paling rendah, terjadi pada saat usaha atau kegiatan sengaja atau lalai hingga mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran aturan.
Secara konseptual, kedua definisi ini bentuk pelanggaran hukum yang dilegalkan. Ini secara jelas memberikan insentif bagi perusahaan yang tak taat pada penerapan aturan dan penegakan hukum lingkungan. Nyata terlihat, sanksi hanya sebatas tak ikut serta pada Proper tahun depa. Ini menjadi alas bagi penegakan hukum.
Eksistensi Proper hendaknya campuran antara program sukarela dan penaatan wajib. Sukarela Proper dalam konteks terlihat dari proses penetapan peserta, yang saat ini lebih banyak pada iimbauan agar value added. Penaatan wajib Proper ditempatkan pada konteks setiap orang/pelaku usaha wajib menaati peraturan lingkungan hidup. Dalam arti, peserta yang terbukti scientific evidence berperingkat merah atau hitam, maka pemerintah sebenarnya telah menemukan pelanggaran hukum. Hingga pemerintah bisa langsung menggunakan instrumen Proper sebagai alas penegakan hukum administrasi secara langsung.
* Penulis adalah Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia dan pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumangara