,

Gubernur Sumbar Serahkan Izin Pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh

Akhirnya penantian panjang masyarakat nagari Sungai Buluh Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) membuahkan hasil. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno  menyerahkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN) seluas 780 hektar kepada Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Nagari Sungai Buluh yang diwakili oleh Walinagarinya pada Rabu kemarin (10/12/2014).

Dengan SK HPHN, masyarakat Nagari Sungai Buluh secara legal dapat mengelola hutan meraka sesuai dengan dokumen rencana kerja pengelolaan yang telah mereka susun.

Penduduk Nagari Sungai Buluh berjumlah 14.672 jiwa yang terdiri dari 3.542 Kepala Keluarga dan luas wilayahnya mencapai 19.250 hektar. Nagari ini terbagi kedalam delapan korong, yaitu Korong Kuliek, Korong Salisikan, Korong Kampung Apar, Korong Tanjung Basung, Korong Banda Cino, Korong Kabun, Korong Talang Jala, Korong Pasa Usang.

Masyarakat Nagari Sungai Buluh memiliki kearifan lokal dalam membagi peruntukan pemanfaatan lahan. Kawasan yang berada dihulu-hulu sungai ditetapkan sebagai hutan larangan, yang tidak boleh dibuka. Ada kawasan hutan cadangan. Ada kawasan olahan untuk perkebunan dan areal persawahan, serta kawasan perladangan yang berada diluar kawasan hutan kesepakatan.

Kearifan ini meunjukkan kemampuan masyarakat dalam menata rencana pengelolaan terhadap kawasan yang dimiliki.

Kawasan hutan yang diajukan sebagai areal kerja hutan nagari merupakan daerah peladangan masyarakat. Peladangan tersebut sudah dilakukan masyarakat sejak 1969 dan masyarakat telah menanami kawasan tersebut dengan tanaman tua seperti petai, jengkol dan durian.

Pohon karet di hutan Nagari Sei Buluh yang sudah mulai sadap.  Foto : Sapariah Saturi
Pohon karet di hutan Nagari Sei Buluh yang sudah mulai sadap. Foto : Sapariah Saturi

Areal kerja yang diusulkan terletak di Korong Salisikan dan Korong Kuliek dengan luas 2500 hektar, dengan berbagai jenis kayu-kayuan seperti madang (Lauraceae), surian (Toona Sureni), paniang-paniang (Fagaceae).

Selanjutnya terdapat juga rotan, manau, bambu dan anggrek. Di lokasi itu juga masih ditemukan hewan seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Capricornis sematraensis), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis), landak (Hystrix brachyura), dan berbagai macam jenis burung.

Hal yang melatarbelakangi masyarakat mengajukan pengelolaan hutan nagari itu disebabkan keprihatinan terhadap aktifitas penebangan liar yang kerap dilakukan oleh beberapa orang yang berada tidak jauh dari nagari sungai buluh. Aktifitas itu telah menyebabkan terjadinya galodo hampir disetiap tahun. Tebing-tebing bukit banyak yang longsor. Walau sudah diperingatkan, namun mereka tetap saja nekat untuk menebangi kayu-kayu yang ada di hutan bukit barisan itu.

Masyarakat Nagari Sungai Buluh pada umumnya menggarap lahan pertanian. Untuk melakukan pengagarapan sawah membutuhkan banyak air. Jika tutupan hutan tidak terjaga, bisa saja sawah-sawah masyarakat kekeringan dan dapat berujung pada gagal panen dan sebagainya.

Pilihan pengelolaan dengan skema hutan nagari yang dipilih merupakan hasil kesepakatan masyarakat nagari dan pengelolaannya pun dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat nagari. Konsep pengelolaan komunal dapat diterapkan dengan skema ini.

Pada pertengahan 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 856/menhut-II/2013 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Nagari Sungai Buluah seluas 1336 hektar.

Setelah itu, masyarakat Sungai Buluh bertemu di kantor Walinagari, dengan mengundang pihak kecamatan, Kepolisian, Danramil, Bamus, Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan (Dipernakhutbun) Kabupaten Padang Pariaman, Nagari-Nagari tetangga, termasuk oknum Pelaku Penebangan Liar yang kerap beroperasi di hutan Nagari Sungai Buluh.

Pertemuan tersebut membahas mengenai penetapan areal kerja yang diberikan oleh Menteri Kehutanan. Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Nagari Sungai Buluh, menekankan kepada semua pihak bahwa berdasarkan Surat Keputusan tersebut pihaknya dapat bertindak langsung terhadap pelaku penebangan liar yang berada di kawasan hutan yang diajukan. Rencana kerja disusun, patroli hutan pun dilakukan.

“Semenjak SK itu keluar, kami sering melakukan patroli di hutan. Pernah suatu ketika saat melakukan patroli, kami menangkap pelaku penebangan liar tengah beroperasi tidak jauh dari hutan kawasan hutan yang kami ajukan, lalu kami menangkapnya, membakar pondok mereka di hutan serta mengamankan alat bukti berupa satu buah mesin chainsaw. Semenjak kejadian itu, hampir tidak pernah ada kegiatan penebangan liar di Nagari Sungai Buluh,” ucap Syafrizal selaku Wali Korong Kuliek saat ditemui Mongabay.

Seperti warga lain, Syafrizal memiliki ladang di lokasi hutan Nagari Sungai Buluh, yang ditanami jengkol, durian dan petai. Dengan panen setahun sekali pada kurun Juli – Agustus, mereka dapat memanen sebanyak 20 karung buah jengkol per harinya, dengan harga Rp 400 ribu per karung. Bahkan diwaktu tertentu, harga bisa mencapai Rp1 juta perkarung.

Di hari-hari biasa, masyarakat Nagari Sungai Buluh tetap melakukan kegiatan pertanian sawah dan mengolah kebun-kebun jagung, karet, kakao dan lain-lain. Daerah Sungai Buluh banyak ditumbuhi pohon Asam Kandis yang digunakan untuk memasak gulai, yang dijual seharga Rp5ribu perkilonya. Ekonomi masyarakat bisa tumbuh dengan pengelolaan yang berkelanjutan, baik di ladang dan dihutan, tambahnya.

Kunjungan BP REDD+ ke Sungai Buluh

Setelah Gubernur Sumetara Barat, Irwan Prayitno menyerahkan Surat Keputusan Hak Pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh, Deputi Operasional Badan Pelaksana REDD+, William Sabandar berserta rombongan mengunjungi Nagari Sungai Buluh untuk melihat langsung pengelolaan hutan dan berdiskusi dengan masyarakat.

William Sabandar saat pertemuan mengatakan bahwa hutan Indonesia adalah hutan yang sangat berharga di dunia, karena keanekaragaman hayati dan kesatuan ekosistemnya untuk paru-paru dunia.

Deputi Operasional Badan Pelaksana REDD+, William Sabandar berdiskusi dengan Walinagari Sungai Buluh, Syahruddin, saat melakukan kunjungan ke Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang, Pariaman. Foto: Riko Coubut
Deputi Operasional Badan Pelaksana REDD+, William Sabandar berdiskusi dengan Walinagari Sungai Buluh, Syahruddin, saat melakukan kunjungan ke Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang, Pariaman. Foto: Riko Coubut

Dia mengatakan setelah banyak industri kayu beroperasi yang mengakibatkan penurunan kualitas hutan. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk menjaga hutan-hutan yang tersisa, sehingga negara bisa memberikan insentif bagi masyarakat yang berbuat.

“Dalam proses persiapan itu kami datang ke Sumatera Barat, bekerjasama dengan gubernur, bupati dan walikota, untuk mulai mempersiapkan masyarakatnya, sehingga pada saat insentif itu datang, masyarakat mendapatkan langsung manfaatnya,” kata William.

Pada akhirnya secara perlahan masyarakat mengerti keberadaan hutan, sebab tidak hanya kayu yang bernilai ekonomis, melainkan ada jasa ekosistem yang dapat dikembangkan. Keberadaan hutan tersebut juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon.

Riche Rahma Dewita selaku Koordinator Program dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI WARSI) mengaku semenjak tahun 2012 melakukan pendampingan dengan mengajak masyarakat untuk mengelola hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Selain itu, Warsi juga melakukan penguatan kelembagaan masyarakat pengelola hutan, melakukan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat serta terlibat dalam penyusunan rencana kerja kelompok. Berbagai informasi mengenai pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat, bahkan juga sempat mengirim salah seorang masyarakat Sungai Buluh untuk mengikuti pelatihan pembuatan kerajinan tangan berupa anyaman di daerah Jambi.

“Kedepan kami akan memfasilitasi masyarakat untuk membuat rancangan tata ruang mikro pengelolaan hutan Nagari Sungai Buluh,” ucap Riche.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,