Siang itu, tampak bocah 13 tahun, tengah memanggul bongkahan tandan sawit segar, di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Keringat mengalir membasahi wajah, tetapi dia terus bekerja. Namanya Bimo Kencana Arief, siswa SMP di Asahan ini, membantu ayah memanggul TBS, di kebun sawit Desa Urungpane, Sei Silau Timur. Sawit baru dipanen para pekerja, dari PTPN III.
Bimo, menjadi buruh harian lepas, digaji Rp25.000 per hari mengangkut sawit ke truk, dibawa ke pabrik diolah menjadi minyak kotor (miko).
Bimo mengatakan, bekerja untuk membantu orangtua membayar biaya sekolah dia dan dua adik. Bimo bekerja usai sekolah, sekitar pukul 15.00 hingga petang.
“Awak udah sejak SMP kelas I bantu ayah. Lumayan, kalau dua truk satu hari dapat Rp50.000. Kalau satu minggu bisa bantu bayar sekolah,” katanya , pekan lalu.
Sang ayah, Sulistyo Sadu (46), bergegas membantu, kala Bimo hampir terperosok jatuh saat memanggul sawit. Sulistyo, sebelum ini bekerja di pabrik mentega di Pematang Siantar namun perusahaan bangkrut. Dia bersama keluarga pindah ke Asahan, dan menjadi buruh angkut sawit, baik di PTPN maupun perkebunan lain.
“Tiga tahun lalu ada truk beko buat ngangkut buah sawit. Sekarang udah gak ada. Mungkin jika pakai beko biaya lebih mahal ketimbang pakai tenaga manusia lebih murah,” katanya. Sulistyo berhenti sejenak, menenggak air putih dari botol yang dibawa dari rumah.
Ternyata bukan Bimo yang bekerja. Setidaknya, ada 10 anak menjadi buruh harian lepas memanggul sawit.
Karlo Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan Sawit Watch, kepada Mongabay, menyatakan, perusahaan perkebunan yang mempekerjakan anak-anak, sangat menyalahi aturan.
Kasus seperti ini banyak terjadi, bukan saja di Sumut, juga di Kalimantan, sampai Papua. Masih banyak perusahaan mempekerjakan anak kecil.
Modus perusahaan agar bisa lepas dari jerat hukum dengan melibatkan pihak ketiga atau dikenal dengan middleman. Jadi, jika terjadi sesuatu terhadap pekerja anak-anak, mereka mengelak dan mengatakan tidak ada hubungan kontrak kerja dengan pekerja.
Mempekerjakan anak, menyalahi aturan dibuat RSPO, yang disusun dan disepakati bersama. PTPN III anggota RSPO.
Sampai saat ini, belum ada regulasi jelas mengatur pekerja anak. Walaupun ada beberapa aturan tentang spesifikasi beberapa pekerjaan khusus, dan kondisi yang harus diciptakan mampu dilakukan anak, yang tidak menghilangkan hak mereka belajar dan mengembangkan diri.
Khusus di perkebunan sawit, buruh diberi target cukup tinggi. Selain memanen juga mengambil gerondolan, mengangkut hingga memotong TBS. Tak jarang, orangtua atau suami melibatkan anak dan istri guna mencapai target.
“Jika benar terbukti, perusahaan harus diberi tindakan tegas RSPO dan kementerian. Ada kelalaian. Sikap pemerintah menargetkan 2020 tidak ada lagi pekerja anak.”
Menurut dia, harus ada kebijakan soal tindakan tegas bagi perusahaan, yang melanggar aturan buruh anak bawah umur. Pemerintah harus menjalankan fungsi kontrol pada perusahaan.
Sampai kini, buruh perkebunan sawit mencapai 6-7 juta orang di Indonesia, dengan luasan 11,5 juta hektar. Perhitungan kasar satu orang mengerjakan dua hektar, 46% petani plasma dan mandiri, selebihnya perusahaan besar. Bisa dibayangkan, berapa banyak perusahaan mempekerjakan anak bawah umur demi mencapai target produksi.
Perhargaan sawit terintegrasi
Kala banyak anak bawah umur jadi buruh harian sawit, Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, menerima penghargaan dari Mendagri, Tjahjo Kumolo, sebagai kepala daerah inovatif 2014 di Jawa Tengah, Kamis (11/12/14). Gatot dinilai berprestasi menjalankan kebijakan pada industri sawit terintegrasi, dengan peternakan sapi dan energi.
Gatot mengatakan, Sumut, memang daerah basis perkebunan besar. Dia sengaja mengembangkan industri hilir sawit terintegrasi dengan sapi dan energi terbarukan. Data Dinas Perkebunan, Sumut terdapat 2, 149 hektar perkebunan, 53,8% kebun sawit.
“Kami berupaya menjadikan perkebunan lokomotif perekonomian Sumut. Caranya, mendorong hilirisasi produk-produk turunan perkebunan, dan mengintegrasikan lahan perkebunan dengan peternakan hingga memberi nilai tambah.”