,

BKSDA Sumsel Kembali Robohkan 109 Bangunan Masyarakat Adat di SM Dangku

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan kembali merobohkan bangunan milik masyarakat adat di kawasan Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Kali ini, sebanyak 109 bangunan yang dirobohkan. Sebelumnya, pada Oktober 2014, sebanyak 10 bangunan telah dirobohkan.

Edi Sopian, Koordinator Urusan Penyidikan dan Perambahan Hutan BKSDA Sumsel, mengatakan penghancuran bangunan tersebut dilakukan pada 8-11 Desember 2014.

“Penghancurkan bangunan menggunakan alat berat. Penertiban berjalan lancar dan tak ada perlawanan. Sebelumnya, peringatan telah berkali dilakukan juga waktu untuk membongkar sendiri pada Oktober 2014 lalu,” kata Edi, saat ditemui di Kantor BKSDA Sumsel, Selasa (16/12/2014).

Alasan tindakan tersebut, kata Edi, karena lahan yang dimanfaatkan para petani merupakan kawasan SM Dangku. Bukan tanah adat, karena tak ada tanah milik adat di kawasan tersebut. “Kepala desa, lurah, bahkan camat setempat juga sependapat,” ujarnya.

Edi mengatakan selama ini ada semacam klaim sepihak yang diprakasai kelompok tertentu, yang mengatakan tanah adat mereka masuk SM Dangku. Mereka mengajak masyarakat untuk membuka lahan di kawasan hutan konservasi itu.

“Dengan membayar iuran, masing-masing kepala keluarga mendapat lahan dua seperempat hektar. Dua hektar untuk ditanami, sisanya untuk dijadikan pondok dan pekarangan. Tetapi, ada juga lahan yang diperjualbelikan,” kata Edi.

“Untuk mengesankan mereka telah lama mendiami kawasan tersebut, dibangun juga fasilitas publik seperti sekolah dasar dan rumah ibadah. Kita cek ke instansi terkait, sekolah dasar yang bangunannya semi permanen itu ternyata tidak berizin,” jelasnya.

“Pada Oktober lalu, kita berhasil menangkap perambah yang selama 12 tahun ini merambah enam hektar lahan di kawasan SM Dangku serta menanaminya dengan karet yang kini telah menghasilkan getah,” ujarnya.

Dangku sendiri ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 245/Kpts-II/1991 tanggal 6 Mei 1991 seluas 31.752 hektar, terletak di Kabupaten Musi Banyuasin.

Sebanyak 109 bangunan milik masyarakat adat di SM Dangku dirobohkan karena bangunan tersebut berada di kawasan SM Dangku. Foto: BKSDA
Sebanyak 109 bangunan milik masyarakat adat di SM Dangku dirobohkan karena bangunan tersebut berada di kawasan SM Dangku. Foto: BKSDA

Tiga kelompok

Sunyoto, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Sumsel yang membawahi kawasan SM Dangku dan SM Bentayan menjelaskan berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDA Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pemanfaatan suaka margasatwa hanya dapat dilakukan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Kegiatan tersebut berupa pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; penyimpanan dan atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

“Pada hutan suaka margasatwa, dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan untuk merambah, berladang, membuat pemukiman, menebang pohon, berburu satwa, mengambil hasil hutan lainnya serta membakar hutan dan atau melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan SM,” kata Sunyoto membacakan surat peringatan dari BKSDA Sumsel yang selalu disebar kepada masyarakat di sekitar kawasan SM Dangku.

“Kalau mereka tak mengindahkan surat peringatan tersebut, tak segera menghentikan aktivitas perambahan dan meninggalkan kawasan hutan SM, kita proses sesuai undang-undang. Sanksinya berdasar UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak lima miliar rupiah,” katanya.

Sunyoto mengatakan masyarakat perambah hutan di kawasan SM Dangku dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, masyarakat desa di sekitar kawasan, kedua pendatang dari Lampung, khususnya Mesuji dan Tulang Bawang. Ketiga, pendatang dari Pulau Jawa.

“Untuk masyarakat desa setempat solusinya lebih mudah, tinggal kita kembalikan ke desanya dan dicarikan lahan di tempat lain. Tetapi persoalan ini menjadi lebih rumit jika mereka tetap bersikeras mengklaim tanah adat mereka ada di SM Dangku. BKSDA, Pemda Muba, instansi dan pihak terkait harus duduk bersama menyelesaikan persoalan ini,” ujarnya.

Sementara, petani dari Lampung dan Jawa persoalannya karena konflik lahan atau tak ada lagi lahan yang bisa digarap di daerah asal. “Solusinya, bisa dibiayai kepulangannya atau diikutkan program transmigrasi,” ujar Sunyoto.

Di Balai Pertemuan milik warga yang tidak dirobohkan, petugas BKSDA Sumsel memberikan penjelasan tindakan perobohan bangunan yang telah mereka lakukan. Foto: BKSDA Sumsel
Di Balai Pertemuan milik warga yang tidak dirobohkan, petugas BKSDA Sumsel memberikan penjelasan tindakan perobohan bangunan yang telah mereka lakukan. Foto: BKSDA Sumsel

Perusahaan sawit dan HTI

Selain masyarakat adat, BKSDA Sumsel juga menghadapi persoalan tumpang tindih lahan dengan perusahaan sawit. Sebelah utara, SM Dangku berbatasan dengan PT. Berkat Sawit Sejati, di selatan berbatasan dengan PT. Musi Banyuasin Indah dan HTI milik PT. Pakerin dan PT. Pinago. Sementara, bagian barat berbatasan dengan hutan lindung, dan sebelah timurnya dengan areal penggunaan lain.

“Persoalan tumpang tindih lahan ini sudah dilaporkan ke pusat dan telah dilaksanakan gelar perkara. Sudah sejauh mana perkembangannya, kami belum tahu,” ujar Sunyoto.

Sunyoto meyakini, jika dikembalikan lagi ke fungsinya, SM Dangku akan menjadi rumah ideal bagi flora fauna yang dilindungi. “Rusaknya hutan menyebabkan harimau masuk kampung. Oktober lalu, harimau masuk kebun warga di Rantau Kasih, Lawang Wetan. Kalau hutan terjaga, kita juga yang merasakan manfaatnya,” ujarnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,