Siang itu, awal Desember 2014, saya mengunjungi rumah adat Lapinceng di Dusun Bulu Dua, Desa Balusu, Kecamatan Balusu, Barru. Andi Ibrahim, ahli waris yang saya temui mengajak menapaki loteng rumah itu. Cukup luas dengan jendela kecil di bagian depan. “Ruangan ini pada masa lalu untuk merawat anak perempuan raja,” katanya.
Saya tertegun. “Mungkin dulu loteng ini, memiliki kamar-kamar. Tidak seperti sekarang kosong karena tak digunakan.”
Hawa di loteng siang itu cukup panas. Tak ada langit-langit, lantai loteng dan atap di sisi-sisi bangunan tak punya sekat. Ibrahim, mengatakan, suasana dan keadaan sekarang jangan dibawa pada masa lalu. “Sekarang atap rumah seng, jadi panas. Masa lalu menggunakan rumbia atau pelepah sagu, jadi sejuk.”
Akhirnya, di lantai berdebu loteng rumah itu, saya mencoba menapaki pelahan. Membayangkan anak gadis tumbuh, dan hanya melihat dunia melalui jendela serta mengamati hiruk pikuk keluarga dari sela-sela lantai bambu.
Sejak kapankah seorang anak perempuan menghuni di ruangan ini? Ternyata, mulai dari kelahiran, hingga siap dinikahkan. Cerita berawal, saat peramaisuri melahirkan anak perempuan, sang inang (pangasuh) menggendong sang bayi ke loteng. Tak menunggu sehari atau beberapa hari, melainkan pada hari kelahiran. Segala macam keperluan dikerjakan di loteng.
Anak perempuan raja tak boleh menginjakkan kaki ke bangunan rumah utama apalagi ke tanah. Anak perempuan menjadi semacam “aset” yang harus dilindungi dan benar-benar dijaga. Ketika orang tua, sudah menemukan jodoh yang tepat buat si anak, maka perlahan mereka boleh turun ke badan rumah. Berkeliaran dan berjalan-jalan.
Anak perempuan turun rumah itu, sekaligus menjadi penanda bagi warga. “Seperti undangan atau pemberitahuan masa lalu. Warga yang melihat anak perempuan raja di badan rumah, akan menyampaikan ke warga lain, jika akan ada pesta pernikahan,” kata Ibrahim.
Sebelum masyarakat Bugis mengenal agama ‘impor’ seperti Islam, Kristen dan lain-lain, loteng rumah sebagai tempat menyemayankan jenazah. Jenazah diletakkan di dekat jendela kecil bagian depan (timpa’ laja).
Timpa’ laja menjadi jendela tempat melayang atau menghilangnya jenazah bagi masyarakat yang memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kebaikan yang mumpuni. “Jenazah itu menunggu kilat dan guntur. Jika terjad SAi, jenazah akan menghilang. Jadi ditimpa’na millajangnna (dibuka dan melayang),” kata Ibrahim.
Di rumah adat Lapinceng, di dekat timpa’ laja terdapat tiga balok menjorok dan mengapit pada di tiang utama rumah. Balok-balok itu diperkirakan tempat atau dudukan dalam meletakkan jenazah. Ia menggunakan peti atau hanya kain balutan jenazah.
Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga. Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.
Dari bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan tempat bercengkrama.
Teras tertutup seperti menutup akses masyarakat luar melihat langsung keadaan bangunan.
Apa yang menyebabkan seperti itu? Ibrahim mengatakan, teras kecil di depan rumah tidak untuk orang, melainkan tempat kuda raja.
Salah satu asumsi yang menguatkan, adalah bentuk anak tangga disusun rapat dan lebar. “Kalau tangga manusia, pasti berjenjang. Ini tidak, tentu memudahkan kuda menapak naik.”
Menapakkan kaki di rumah Lapinceng, seperti menjejak langkah di kayu besi. Tiang tampak kokoh. Pasak-pasak kayu terlihat menempel dan mengapit tiang. Rumah ini awalnya dibangun tanpa menggunakan sedikitpun unsur besi. Baru pada 1982, Balai Peninggalan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan menetapkan sebagai benda cagar budaya, beberapa bagian dipasang baut, mur dan paku.
“Teknologi masa lalu menggunakan pasak kayu sangat sulit. Perlu keahlian khusus. Untuk menjaga digunakan unsur besi,” kata Ibrahim.
Rumah ini dibangun 1836. Pengadaan dan perlengkapan sejak 1814. Adalah Andi Saleha yang membangun. Rumah ini, diperkirakan hadiah untuk anaknya, Andi Muhammad Saleh yang menggantikan sebagai raja.
Lapinceng kediaman raja di Kerajaan Balusu. Kerajaan ini, palili atau di bawah pengaruh kerajaan Soppeng. Raja bergelar datuk dan berkewajiban memberikan upeti kepada Soppeng.
Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi. Balok itu, menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja, paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.
Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja, selir dan keluarga.
Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga pucuk atap.
Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100 bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” kata Ibrahim.
Kala berkunjung ke Lapinceng, penggunaan lantai bambu sudah tak ada lagi berganti papan kayu. Ruas-ruas balok penyangga bambu hanya berjarak sekitar satu jengkal tetap dipertahankan.
Penggunaan nama Lapinceng diperkirakan karena proses pembangunan begitu lama. Pinceng (penyebutan huruf “e” dalam Lapinceng seperti menyebut kata “sehat”) dalam bahasa Bugis berarti piring kaca. Dari mulai pengadaan hingga pembangunan ada ratusan piring pecah. Pecahan-pecahan piring berhamburan juga menunjukkan biaya. Maka lahirlah penyebutan Lapinceng bukan rumah adat Balusu.
Pada masa lalu–di wilayah kini Kabupaten Barru–, ada empat kerajaan berdiri sama tinggi. Yakni Kerajaan Nepo Mallusetasi, Kerajaan Balusu, Kerajaan Barru, dan Kerajaan Tanete. Untuk itu, dalam lambang Kabupaten Barru terdapat empat payung kerajaan, menandakan penggabungan empat kerajaan dalam satu kesatuan administratif.
***
Ibrahim memukul-mukul bagian dasar tiang rumah Lapinceng. Bunyi menggema. “Ini karena tiap tahun tiang rumah terendam air. Coba Anda datang pertengahan Desember hingga Februari, pasti kolong dan halaman rumah seperti empang,” katanya.
Saya memperhatikan tiang-tiang itu seksama. Tanda-tanda genangan air terlihat, tinggi sekitar 50 sentimeter. “Kayu bitti kuat, tapi jika terdendam terus setiap tahun akan mudah lapuk,” katanya. “Saya berharap pemerintah meninggikan atau mengangkat.”
Genangan air saat hujan itu bersumber dari luapan Sungai Balusu di depan rumah. Sungai ini masa lalu menjadi tempat menambatkan perahu-perahu nelayan, sudah terjadi pedangkalan dan makin sempit. Tak lagi dapat dilayari. “Saya kira raja tak mungkin memilih tempat jelek. Rumah ini dibangun, pada masa lalu pasti lokasi terbaik.”
Ibrahim mengatakan, sudah melaporkan beberapa kerusakan pada BP3 Sulawesi Selatan. “Untuk pemerintah Barru, memang selama ini tak pernah menjenguk. Kami sebagai ahli waris akan berusaha semampunya.”
Setiap bulan, sekitar 20 orang mengunjungi rumah Lapinceng. Pengunjung, 90% dari kalangan mahasiswa dan peneliti untuk melihat bentuk arsitektur, 10% masyarakat umum.