,

Perusahaan Sawit Bisa Dicabut Keanggotaan RSPO Bila Membuka Hutan Primer Bernilai Konservasi Tinggi

Untuk memenuhi tuntutan global akan pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan pada 2004, untuk mempromosikan produksi dan penggunaan produk sawit berkelanjutan melalui standar global.

Direktur RSPO Indonesia, Dewi Kusumadewi mengatakan RSPO mempunyai prinsip-prinsip dalam pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, antara lain prinsip agar perusahaan sawit anggota RSPO harus melakukan indentifikasi terhadap lahan yang akan dibuka. Bila ada lahan yang terindentifikasi memiliki nilai konservati tinggi (high conservation value / HCV), maka lahan tersebut tidak boleh dibuka dan harus dikonservasi.

“RSPO ada prinsip khusus pembukaan lahan. Prinsip ketujuh, persyaratan yang meminta perusahaan yang tidak membuka hutan primeer dan lahan HCV sejak 2005, meski statusnya APL, yang dialokasikan pemerintah untuk perkebunan. Mereka harus lakukan identifikasi HCV, harus cek lapangan, misal ada tutupan area yang masih baik, ada area yang jadi habitat satwa, atau riparian sungai yang berikan servis lingkungan. Itu harus dikonservasi, tidak boleh dibuka,” kata Dewi dalam diskusi bersama wartawan di Jakarta, pada Kamis (18/12/2014).

Dewi menyatakan hal tersebut untuk menanggapi Laporan Environmental Investigation Agency (EIA) yang menyatakan perkebunan sawit turut melakukan penebangan kayu ilegal untuk pembukaan sawit. EIA menyebutkan, hampir semua perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010. Namun tidak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.

EIA menyebutkan sejak 2000-2010 sebanyak 1,6 juta hektar hutan hilang oleh perluasan sawit atau berkontribusi terhadap 80 juta meter kubik kayu hilang.

Dewi mengatakan RSPO sendiri sedang mengembangkan metodologi untuk mengidentifikasi lahan HCV. “Harapan kami, ini bisa membedakan perusahaan sawit anggota RSPO dan perusahaan yang tidak mempunyai kewajiban assesment,” katanya.

Desi menjelaskan anggota RSPO berjumlah 30 persen dari total perusahaan sawit. Pengurus RSPO bisa membekukan keanggotaan sebuah perusahaan bila terbukti melakukan pelanggaran sampai rekomendasi perbaikan dilakukan. Bahkan, keanggotaan RSPO juga bisa diakhiri.

“Sanksi ada bila perusahaan terbukti melakukan pelanggaran. Dari beberapa cara yang dilakukan,  misal RSPO tunjuk pihak ketiga yang independen untuk meneliti yang diduga dilanggar. RSPO bisa membekukan keanggotaan agar perusahaan bisa lakukan langkah rekomendasi perbaikan dari RSPO. RSPO bisa mengakhiri keanggotaaan dari perusahaan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, penasehat RSPO, Bungaran Saragih mengatakan RSPO buka merupakan organisasi konservasi. “RSPO adalah sustainable developmentalist, yang menerapkan pembangunan yang berkelanjutan. Sehingga tidak anti pembangunan,” katanya.

Tetapi RSPO mempunya kriteria dan prinsip dalam menjalankan usahanya. “Kita pastikan anggota RSPO harus laksankan prinsip dan kriteria. Kalau tidak laporkan,” katanya.

Sebelumnya, Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkapkan, pembukaan hutan untuk perkebunan sawit mendorong penebangan liar besar-besaran. Studi kasus fokus di Kalimantan Tengah ini menemukan beragam fakta dari pemberian izin korup melibatkan pejabat daerah, hingga polisi menghentikan kasus setelah menerima suap dari perusahaan. Berbagai usaha reformasi hukum sektor kehutanan dan kayu Indonesia pun tak jalan.

“Penebangan kayu liar melalui konsesi sawit tidak terkendali. Peraturan perundang-undangan tentang kayu di Indonesia sangat gagal mengendalikan itu,”  kata Tomasz Johnson, juru kampanye hutan EIA, di Jakarta, Selasa (16/12/14).

Perusahaan sawit yang disebut dalam laporan berjudul Permitting Crime: How Palm Oil Expansion Drives Illegal Logging in Indonesia ini  antara lain PT Nusantara Sawit Persada, PT Flora Nusa Perdana, PT Prasetya Mitra Muda, dan PT Kahayan Agro Plantations. Lalu, PT Suryamas Cipta Perkasa,  PT Sawit Lamandau Raya.

“Investigasi menyingkap beberapa kasus terburuk. Kami menemukan, pemerintah daerah bersekongkol dengan perusahaan mempercepat perizinan. Hasilnya, penebangan hutan tidak teridentifikasi.”

Laporan ini juga mengatakan, hampir semua perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010. Namun tidak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.

“Selama 10 tahun terakhir, pemerintah Indonesia berupaya keras menghentikan illegal logging. Turun 80-90%. Sayangnya, reformasi belum menyentuh perkebunan sawit. Konsesi lahan menjadi sumber utama penebangan kayu ilegal,” ucap Johnson.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,