, ,

Berkat Hidup Beradaptasi, dan Menjaga Alam (bagian 3)

Udara dingin sepanjang perjalanan menaiki pesawat kecil dari Kota Medan, Sumatera Utara, menuju ke Simeulue, Aceh, 24 November 2014.  Malam hari, tiba-tiba gempa berkekuatan lima Skala Richter menghentakkan. Mereka terlihat tenang, hanya keluar rumah sambil menatap ke laut. Setelah itu, kembali ke rumah.

Pada saat smong atau tsunami 26 Desember 2004, dan meski kerusakan cukup parah mencapai 60%, khusus di barat dan selatan Pulau Simeulue, tetapi korban jiwa hanya enam korban jiwa. Selain kearifan lokal dengan budaya tutur, masyarakat juga sangat sadar, kalau daerah mereka rawan bancana gempa. Budaya tanam dan menjaga hutan mangrove terus hidup.

Gugusan Simeulue berada di persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan lempeng Asutralia dan lempeng Samudra Hindia.

Rayhan Zailani, pemuda Aceh yang tinggal di Simeulue ini terus kampanye penanaman mangrove. Dia mengatakan, saat smong datang hutan mangrove rusak parah diterjang ombak tinggi.

Dari generasi ke generasi, masyarakat Simeulue menjaga hutan mangrove dan pohon di sepanjang garis pantai laut mereka. Masyarakat sadar betul, kalau peristiwa 1907 silam itu, menjadi pengalaman pahit para leluhurnya ketika smong datang.

“Jadi modal masyarakat Pulau Simeulue ini hanya satu, yaitu bersahabat dengan alam, menjaga hutan tidak ditebang, karena mereka sadar betul, hutan mangrove mampu menahan ombak tinggi jika smong datang.”

Terbukti, katanya, kala smong datang, ombak tinggi ditahan ribuan kayu hutan mangrove, hingga hantaman tidak begitu dahsyat sampai ke kampung. “Coba kalau hutan mangrove gak ada, apa jadinya itu?”

Hutan mangrove di tepian Pantau Simeulue, ikut membantu membantu mengurangi kuatnya hantaman ombak kala tsunami mendera pada 2004. Foto: Ayat S Karokaro
Hutan mangrove di tepian Pantai Simeulue, ikut membantu  mengurangi kuatnya hantaman ombak kala tsunami mendera pada 2004. Foto: Ayat S Karokaro

Senada disampaikan Mohd. Riswan. R, atau dikenal dengan Pak Moris. Dia tokoh adat dan budaya di Simeulue. Dia menjelaskan, di kepulauan ini, melalui kebudayaan kisah smong itu juga disampaikan. Semua budaya manusia, katanya,  banyak dipelajari dari alam hingga saling menjaga. Manusia, hidup tidak terlepas dari keadaan alam dan lingkungan.

Pak Moris, menyatakan,  selama ini masyarakat mengenal budaya dan kearifan lokal hanya melalui budaya tutur, dari mulut ke mulut. “Itu diakui dunia, termasuk menjaga alam dan tidak merusak hutan.”

Namun, katanya, belum pernah ada yang menulis buku hingga dia tergerak membukukan kearifan lokal masyarakat Simeulue ini. Dengan harapan, jika buku jadi, bisa dibaca orang-orang dunia, yang ingin mengetahui bagaimana masyarakat Simeulue menjaga kearifan lokal dan mengantisipasi jika bancana datang.

“Pesan leluhur kita menyatakan, jangan rusak hutan dan harus tetap menjaga keariban lokal. Itu tetap dijaga masyarakat Simeulue, ” kata Pak Moris.

Naskah Bin Kamar, Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue, menyatakan ketika gempa dan smong 26 Desember 2004, setidaknya ada 300 hektar lebih hutan mangrove di Simeulue hancur dan rusak parah. Pemerintah , katanya, memperbanyak penyediaan bibir mangrove, Pada tahun ini, target penanaman 500-600 hektar.

Sampai akhir September 2014, katanya, luas hutan mangrove berhasil ditanam dan berkembang mencapai 400 hektar. “Akan terus dilakukan, dukungan masyarakat adat cukup kuat.”

Naskah mengatakan, selama ini masyarakat menjaga hutan, termasuk hutan mangrove di pantai. Kini, sudah ada pengertian dari masyarakat, terutama mengenai fungsi hutan mangrove di pantai, selain sumber sarang ikan dan binatang laut. Warga juga sangat memahami,  hutan mangrove bisa menghambat abrasi pantai, bahkan ketika smong datang. Dia juga dianggap mampu menekan terjangan air laut ke daratan. Pemerintah Simeulue, juga melarang penebangan hutan mangrove.

“Menjaga dan bersahabat dengan alam banyak manfaat bagi manusia. Kami bukti.” (habis)

Tutupan hutan di Pulau Simeulue, terbilang masih bagus. Foto: Ayat S Karokaro
Tutupan hutan di Pulau Simeulue, terbilang masih bagus. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,