Batu akik khususnya giok dan cempaka madu sedang menjadi primadona di Aceh. Banyaknya peminat yang menggunakannya untuk cincin, kalung atau hiasan lain, membuat harganya naik. Terlebih, setelah batu-batu tersebut dikirim ke mancanegara.
Akibatnya, perburuan batu giok dan cempaka madu, tidak hanya dilakukan di hutan atau sekitar permukiman penduduk saja. Melainkan, telah merambah ke hutan lindung.
Di Kabupaten Nagan Raya, misalnya. Para pemburu batu giok, sejak beberapa bulan terakhir, masuk ke hutan lindung, khususnya pegunungan Singgah Mata, bahkan hingga Kabupaten Aceh Tengah. Mereka menggali dengan cangkul, linggis hingga alat berat untuk mengangkat batu tersebut.
Padahal, sejak 16 Maret 2014, lokasi pertambangan ini telah ditutup oleh Pemkab Nagan Raya. Bupati Nagan Raya, Zulkarnaini, saat itu menyatakan bahwa untuk sementara waktu lokasi pertambangan ditutup demi penyelamatan hutan lindung dan ekosistemnya. Terlebih, semakin maraknya aktivitas pertambangan yang dilakukan masyarakat.
Namun, kegiatan tersebut masih berlangsung hingga kini. “Kalau kegiatan ilegal itu tetap dilakukan, kami khawatir, tidak lama lagi hutan lindung di Singgah Mata akan gundul. Sudah pasti, masyarakat yang tinggal di kaki gunung yang yang akan menuai bencana,” ujar Hasyim, Warga Beutong, Nagan Raya, Minggu (21/12/2014).
Menurut Hasyim, perburuan dan penjualan batu alam seperti giok, cempaka madu dan jenis lain secara ilegal tidak hanya merugikan masyarakat yang hidup di sekitar pengambilan batu tersebut. Pemerintah juga dirugikan, karena pertambangan itu tidak memberikan pendapatan asli daerah (PAD).
Hasyim mengatakan, batu giok yang diambil tersebut tidak hanya dikirim ke sejumlah daerah di Indonesia, tapi juga dikirim ke luar negeri melalui pelabuhan atau bandar udara.
Ketua Gabungan Pecinta Batu Alam Aceh (GAPBA), Nasrul Sufi menyebutkan, ratusan ton batu jenis giok yang berasal dari Kabupaten Nagan Raya, telah dipasarkan keluar Aceh hingga luar negeri. Namun, yang disayangkan, batu berharga tersebut dijual tanpa izin.
“Informasi yang kami terima, lebih 100 ton batu giok dari Nagan Raya telah dijual ke pasar dalam negeri maupun luar seperti Jerman, Meksiko, dan Korea,” ungkap Nasrul.
Menurut Nasrul, hingga kini, pemburu tersebut terus mengeruk batu giok. Sementara, pemerintah belum mengeluarkan aturan tentang eksploitasi batu alam di Aceh. Jumlah warga Aceh yang mulai berbisnis berbagai jenis batu akik mencapai 15.000 orang. Mereka tersebar di sejumlah kabupaten dan kota.
“Jenis batu akik nefrite, idocrass, solar, cempaka madu, kecubung ametis, sulaiman, badar besi, yakut, lumut merah, teratai, safir dan lainnya, mulai di incar pencinta batu akik,” sebut Nasrul.
Kepala Bidang Pertambangan Mineral, Batubara, Panas Bumi Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, Mahdinur mengatakan, pernah meminta Pemerintah Kabupaten Nagan Raya untuk segera menghentikan penggalian batu giok tanpa izin tersebut. Bukan hanya karena tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP), perburuan juga telah dilakukan di hutan lindung.
“Jika dilihat secara hukum atau berdasarkan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, warga yang mengambil atau menggali batu alam tanpa izin dapat ditangkap dan dihukum pidana,” ujarnya.
Menurut Mahdinur, berdasarkan undang-undang tersebut, yang dapat dihukum pidana tidak hanya penambang, tetapi juga penjual, pemakai atau warga yang menyimpan batu alam tersebut. Karena, batu alam tersebut termasuk pertambangan mineral non-logam. Pelaku penambangan dan lainnya yang tidak memiliki IUP dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 10 tahun atau denda Rp 10 miliar.
“Salah satu cara agar penjualan batu alam Aceh dapat dijual dan dipakai masyarakat, penambang harus memiliki IUP. Karena, cara lain untuk melegalkan kegiatan tersebut tidak ada,” jelasnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio