, , , , ,

Para Penyelamat Air Krueng Sabee

Abdullah Rajab sudah tak muda lagi. Usia lebih 65 tahun.  Rambut  banyak memutih, gigi tinggal beberapa buah. Ini terlihat kala dia tertawa lebar. Meskipun begitu, pria ini bersemangat melebihi anak muda jika diajak bicara penyelamatan Sungai Krueng Sabee.

Rajab,  sedikit dari orang-orang di pemukiman Krueng Sabee yang setia berjuang menyelamatkan air sungai yang menjadi sumber air bersih bagi lebih dari 20.000 warga Krueng Sabee dan Kota Calang, ibukota Aceh Jaya. Dia memimpin Forum Daerah Aliran Sungai Krueng Sabee, forum masyarakat didirikan 2008 untuk melestarikan daerah tangkapan air di kawasan itu. Anggota forum ini tak lebih 10 orang, mewakili kampung-kampung di Krueng Sabee. Kebanyakan orang tua, hanya sedikit anak muda.

Keinginan terbesar Rajab agar aliran sungai yang melintasi Desa Bunta, tempat dia tinggal, air bisa sejernih 30 tahun lalu, masa pertama kali menginjak kaki di Krueng Sabee, setelah hijrah dari kampung di Aceh Selatan.

Krueng Sabee adalah tanah kehidupan Rajab dan keluarga. Dia memutuskan, tinggal di sana dan menjadi petani. Baginya, Krueng Sabee adalah kampung halaman dengan hutan dan sungai yang menjadi sumber penghidupan.

Dari tahun ke tahun Rajab  menyaksikan air sungai di belakang rumah makin keruh karena lumpur terbawa hanyut air dari tanah-tanah gunung yang kehilangan pohon. Di musim penghujan Desa Bunta dan desa-desa lain di sepanjang Sungai Krueng Sabee kerap tenggelam oleh banjir yang datang dari hulu.

“Kami tahu, hutan di hulu sungai sudah gundul, karena orang-orang mengambil kayu secara sembarangan di hutan,” kata  Rajab, awal Desember di Krueng Sabee.

Di Krueng Sabee ada 13 desa, kebanyakan tersebar mengikuti aliran sungai. Sebagian desa hancur saat tsunami menerjang pesisir pantai Aceh pada 26 Desember 2004. Sebagian desa  lain selamat karena terhalang bukit-bukit kecil.

Aceh Jaya merupakan kabupaten nyaris tersapu habis saat tsunami datang. Kabupaten di pesisir barat Aceh ini mengalami kehancuran infrastruktur cukup parah selain Banda Aceh dan Aceh Barat. Ribuan orang meninggal dan hilang.  Namun ketika pesisir nyaris rata tak bersisa, hutan-hutan lebat di daerah yang lebih tinggi di gugusan Bukit Barisan selamat dari kehancuran. Sebagian kawasan hutan inilah yang kini coba diselamatkan Rajab dan kelompok.

Luas hutan DAS Krueng Sabee mencapai 500 kilometer persegi. Ia rumah bagi kawanan gajah, harimau, beruang madu, monyet ekor panjang, lutung, siamang, dan berbagai jenis burung. Rajab mengenang, tahun 1970 an hutan Krueng Sabee sangat bagus. Air Sungai sepanjang 30 kilometer bisa langsung diminum.

Tahun 1980-an, ketika banyak hutan Aceh menjadi hak pengusahaan hutan (HPH), hutan Krueng Sabee menjadi konsesi perusahaan kayu untuk PT. Aceh Timber. Setelah pohon besar habis, bekas HPH dijadikan (HGU) sawit milik PT. Boswa. Warga menjadi petani dan tak sedikit sebagai pembalak liar.

Abdullah Rajab, ketua Forum DAS Krueng Sabee. Foto: Chik Rini
Abdullah Rajab, ketua Forum DAS Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Masalah bertambah ketika Aceh memasuki masa rekontruksi untuk membangun kembali semua infrastruktur hancur mulai dari rumah, sekolah, kantor pemerintahan dan jalan. Permintaan kayu banyak membuat pohon-pohon besar di hutan lindung di hulu sungai ditebangi penebang liar. “Krueng Sabee menjadi tempat orang-orang mengambil kayu. Kayu-kayu dihanyutkan melalui sungai.”

Tahun 2006, ketika Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nerdamai dari konflik bersenjata selama 30 tahun lebih, orang-orang banyak mulai berani masuk ke hutan.  Tahun 2007, emas ditemukan di Gunung Ujuen  di hulu DAS Krueng Sabee menjadi magnet bagi orang-orang terutama dari luar menjadi penambang. Tak terkecuali Rajab.

Hutan ikut hancur dan pencemaran merkuri dimulai tidak sadar. Tak lama berlangsung, di tahun sama pikiran Rajab dan beberapa tokoh tua di kampung berubah saat WWF Indonesia masuk ke Krueng Sabee mengajak masyarakat menyelamatkan hutan di bagian hulu demi air.

Palang Merah Amerika, kala itu sedang membantu membangun kembali Aceh Jaya yang hancur karena tsunami. Lembaga kemanusiaan itu tidak saja membangun rumah-rumah para korban, juga membangun fasilitas air bersih bagi masyarakat Calang dan sekitar. Sumber air dari Krueng Sabee.

Irwandi, anak muda anggota Forum DAS, mengatakan, sumber air diambil dari Alue Toh, di hulu DAS Krueng Sabee. Untuk memastikan air bersih tersedia, Palang Merah Amerika menggandeng WWF Indonesia mengajak warga Krueng Sabee mau melestarikan hutan.

“Sebelumnya kami tidak tahu apa itu DAS, setelah NGO masuk kami menjadi paham mengapa harus melestarikan DAS Krueng Sabee untuk sumber air,” kata Irwandi, yang kini menjaga water intake perusahaan air minum daerah di sana.

Kesabaran Rajab mengajak masyarakat menyadari arti penting melestarikan DAS terwujud juga dengan pembentukan Forum DAS Krueng Sabee. Ini lembaga yang diinisiasi masyarakat lokal untuk melestarikan DAS.  Sampai sekarang pria yang memiliki kebun karet ini dipercaya memimpin forum.

Menjadi ketua forum tidaklah mudah. Berbekal pengalaman aktif sebagai pejabat desa, Rajab berupaya mengajak sebanyak mungkin masyarakat mau peduli melestarikan hutan dan alam sekitar. Meskipun kadang menghadapi realitas sebagian besar orang masih merusak ekosistem sekitar DAS.

“Tidak mudah menyadarkan masyarakat. Pelan-pelan kami mengajak mereka mau terlibat. Sekarang minimal 40% masyarakat Krueng Sabee sadar pentingnya melestarikan DAS.”

Sejak berdiri, Rajab dan kelompok telah menanam ribuan batang mahoni di sepanjang aliran sungai Krueng Sabee. Pohon-pohon itu sudah setinggi atap rumah.

Kamp areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini
Kamp areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Tahun 2011, Forum mengajukan permohonan kepada Bupati Aceh Jaya untuk pengelolaan lahan kritis di bagian hulu sungai. Mereka menanamkan areal restorasi Babah Krueng DAS Krueng Sabee. Kelompok ini pertama di Aceh Jaya mendapat hak pengelolaan hutan gampong selama 30 tahun.

Areal restorasi sekitar 181 hektar, persis di bibir sungai. Kawasan ini kebun masyarakat yang ditinggal pemilik karena mengungsi saat konflik. Di sini, gajah, harimau dan beruang madu menampakkan tanda-tanda sering melintas.

Nurdin PM, tokoh adat Krueng Sabee yang dihormati warga mengatakan, kawasan restorasi ini akan menjadi kawasan hutan gampong yang dikelola bersama dengan forum, pemerintahan gampong dan masyarakat. “Kami senang, pertama kali punya lagi hutan gampong. Krueng Sabee sudah bertahun-tahun kehilangan hutan ulayat mukim karena diberikan pada HPH bertahun-tahun lalu,” kata Nurdin.

Forum DAS ini mulai menanami lahan kritis dengan dengan belasan ribu bibit jabon, durian, kopi, rambutan, dan jaloh.

“Kami juga memikirkan bagaimana warga yang sering mengambil kayu di hutan punya alternatif mata pencaharian yang tidak merusak DAS. Di areal restorasi ini kami menanam tanaman budidaya yang bisa diambil oleh masyarakat.”

Meski forum DAS ini mengupayakan pemulihan kawasan kritis, namun mengembalikan ekosistem DAS rusak tak semudah membalik telapak tangan. Laju kerusakan melebihi pohon-pohon yang mulai tumbuh di pinggiran sungai.

Semangat Rajab dan tim tak kendur. “Saya berprinsip biarlah yang merusak, terus merusak. Kami akan memperbaiki selangkah demi selangkah. Mungkin yang kami lakukan hari ini baru terlihat berpuluh tahun kemudian. Saya tetap bercita-cita air Krueng Sabee jernih seperti pertama kali saya menginjak kaki di kampung ini,” ucap Rajab.

Tanda-tanda keberadaan gajah di areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini
Tanda-tanda keberadaan gajah di areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,