,

Fokus Liputan: Geumpang Heboh karena Merkuri (bagian-2)

Geumpang merupakan nama kecamatan yang berada di Kabupaten Pidie, Aceh, yang jaraknya sekitar 90 kilometer dari Sigli, ibu kota Pidie. Dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, ke Sigli sekitar 100 kilometer melalui jalan raya Banda Aceh-Medan. Total waktu yang diperlukan menuju kecamatan yang luasnya 1.576 kilometer persegi ini sekitar lima jam perjalanan.

Saat menuju Geumpang, akan terlihat hamparan lahan pertanian padi dan palawija. Padi dari Geumpang, Mane, dan Tangse, begitu terkenal di Aceh karena kualitasnya yang bagus. Nasinya putih bersih tanpa rekayasa, legit alias pulen yang biasa disebut beras cantik manis atau breuh cantek maneh. Masa tanamnya hingga lima bulan.

Ada juga tiga aliran sungai jernih yang melintasi wilayah ini: Krueng Meukup, Krueng Lupu, dan Krueng Inong yang semuanya mengalir ke Teunom, Aceh Jaya. Sungai inilah yang begitu penting bagi pengairan sawah masyarakat.

Selain bertani, masyarakat Geumpang juga ada yang berdagang dan menjadi pegawai negeri. Jumlah penduduknya diperkirakan 6.231 jiwa yang meliputi lima desa yaitu Bangkeh, Pucok, Keune, Pulolhoin, dan Lupu.

Sebelum tambang emas ditemukan, Masyarakat Geumpang diidentikkan dengan masyarakat yang tertinggal pergaulannya atau udik. Tidak banyak yang melirik wilayah ini terlebih untuk tinggal. Kendaraan yang ada hanya ambulan dan mobil dinas camat.

“Itu dulu,” ucap Muhammad Nazar. Sekarang, lanjutnya, Geumpang dianggap mewakili masyarakat yang berkecukupan ekonominya. “Setiap masyarakat Geumpang pergi ke Sigli, pasti dianggap orang kaya. Padahal tidak semua,” gelaknya. (Baca Fokus Liputan: Kasak Kusuk Tambang Emas Geumpang)

Camat Geumpang, Saiful Zuhri, mengatakan bahwa tidak dipungkiri bahwa tambang emas yang mereka usahakan itu telah menghidupkan perekonomian Geumpang. Wilayah ini mulai banyak dikunjungi orang dan perekonomian juga menggeliat.

“Mereka berencana akan membentuk koperasi dan akan mengajukan kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayah pertambangan rakyat itu. Namun, luasannya berapa dan bagaimana persyaratannya masih dalam perkembangan. Ini dilakukan agar mereka dianggap tidak ilegal,” lanjut Saiful yang sudah enam tahun menjabat camat di sini.

Hal yang diamini Natsir, bahwa dengan adanya koperasi diharapkan segala aktivitas masyarakat dapat berjalan baik dan tidak sendiri-sendiri. Meski saat ini, sudah ada kepanitiaan yang dibentuk. “Kami tidak ingin dianggap liar, meski tambang yang kami usahakan merupakan kekayaan alam yang ada di wilayah kami,” ujarnya.

Matinya ikan-ikan yang diduga kuat akibat keracunan dari pertambangan tradisional yang saluran pembuangannya diarahkan ke sungai Geumpang dan mengalir hingga Krueng Teunom, membuat nama Geumpang menjadi buah bibir di penghujung Juli 2014 lalu. Foto: Sulaiman (Imum Mukim Mane)

Nama Geumpang heboh di penghujung Juli 2014, akibat matinya ribuan ikan keureuling di sepanjang sungai (Krueng) Meukup, sungai yang pernah tercemar belerang gunung api Peut Sagoe, hingga Krueng Teunom, Aceh Jaya. Warga juga keracunan setelah mengonsumsi ikan tersebut.

Dugaan keracunan ini berasal dari pertambangan rakyat di Geumpang yang disinyalir tidak hanya menggunakan merkuri, tetapi juga sianida, potas, kostik, dan obat tetes. Kegiatan pertambangan di Geumpang yang dekat aliran sungai dianggap sebagai persoalan serius. Karena, pembuangan limbah tambang yang bersinggungan dengan sungai yang merupakan tempat aktivitas masyarakat untuk mandi, mencuci, dan sebagai sumber air bersih dianggap membahayakan.

Akibat kejadian tersebut, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, mengeluarkan Instruksi Gubernur, 16 Agustus 2014, yang menegaskan pertambangan emas di Aceh tidak boleh menggunakan merkuri, sianida, atau logam berat lainnya. Bahan berbahaya ini dapat mencemari sungai dan mengganggu kesehatan masyarakat. Gubernur menghimbau agar masyarakat di Aceh menghentikan kegiatan tambang emas tanpa izin, termasuk Geumpang.

Terhadap Instrusksi Gubernur tersebut, Warga Geumpang protes keras. Kebijakan yang belum diikuti langkah nyata itu dikhawatirkan akan menghilangkan pendapatan masyarakat yang selama ini menggantungkan perekonomiannya dari tambang.

Geuchik Abet Idris, tetua adat Geumpang, yang kini angkat bicara. Ia berani menjamin bahwa tambang emas masyarakat Geumpang, Manee, dan Tengase tidak merusak lingkungan. Menurutnya, masyarakat sudah membuat aturan bahwa limbah tambang tidak dibuang ke sungai melainkan ditampung di kolam khusus. “Kami sadar, jika sungai tercemar, kami pula yang menerima dampaknya.”

Selain itu, kami juga tidak menebang pohon dan meratakannya dengan tanah. Kami hanya membuat lubang di areal yang telah disepakati. Kami juga akan menanami areal bekas pertambangan itu dengan tanaman keras. “Berbeda dengan perusahaan besar yang meninggalkan lubang besar dan menghancurkan alam sekitar,” ujarnya.

Abet juga mengatakan, jika cara yang dilakukan masyarakat salah dan merusak lingkungan, seharusnya pemerintah memberikan pemahaman dan pelatihan kepada masyarakat. “Kami pernah minta pemerintah memberikan pelatihan, tapi hingga saat ini tidak ada tanggapan,” ungkapnya.

Terkait matinya ribuan ikan di dua sungai di Kecamatan Tangse dan Manee, menurut Abet, tidak ada kaitannya dengan tambang masyarakat. Letak sungai tersebut jauh dari areal pertambangan, sedangkan jarak ke Geumpang ini saja sekitar sepuluh kilometer. “Kami bingung, dengan pernyataan pemerintah yang menyebutkan ikan tersebut mati karena mercuri dari limbah tambang rakyat,” ucapnya.

Menurut Abet, terkait kematian ikan keureuling ini, sebelumnya pernah beberapa kali terjadi tahun 1940, 1982, 2001, dan 2014. Namun, anehnya yang mati hanya satu jenis ikan saja yaitu ikan keureuling atau biasa dikenal jurung. “Padahal, di sungai itu kan aneka jenis ikan hidup.”

Inilah pertemuan sungai dari Geumpang dan Tangse. Menurut penuturan Geuchik Abet, sungai ini tidak ada kaitannya dengan tambang karena jaraknya sekitar sepuluh kilometer. Foto: Rahmadi Rahmad
Inilah pertemuan sungai dari Geumpang dan Tangse. Menurut penuturan Geuchik Abet, sungai ini tidak ada kaitannya dengan tambang karena jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari Geumpang. Foto: Rahmadi Rahmad

Hal senada diungkapkan oleh Muhammad Thayeb, Warga Geumpang yang bekerja sebagai petambang. Menurut penuturannya, ada lima sungai di Kabupaten Pidie yang bermuara ke Sungai Teunom, Aceh Jaya yaitu Bangkeh dan  Lupu di Kecamatan Geumpang, Meukub dan Leumih di Kecamatan Manee, dan Mariam di Kecamatan Tangse.

Menurut M. Thayeb, ada belasan anak sungai yang bertemu dengan sungai besar di Cot Kuala atau di perbatasan Kecamatan Manee dan Tangse, Kabupaten Pidie. Dari empat sungai di Kecamatan Manee dan Geumpang atau daerah yang memiliki pertambangan emas, tidak ditemukan ikan yang mati.

Hanya di Sungai Meukub ditemukan ikan mati oleh masyarakat. Namun, tidak dalam jumlah banyak. Sungai tersebut berhulu di gunung berapi Peut Sagoe yang  masih aktif. Kematian ikan ini diduga karena pengaruh belerang. Ikan yang banyak mati justru ditemukan di Sungai Mariam, Kecamatan Tangse, yang tidak ada tambang emasnya.

Natsir kembali bertutur. Penolakan seruan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, tersebut mereka lakukan dalam rapat akbar sekaligus penandatanganan kain putih sebagai bentuk protes. Lebih dari 2.000 masyarakat yang hadir menolak penutupan tambang yang dianggap ilegal oleh pemerintah, 3 September 2014 itu.

Tambang emas tradisional yang dikelola masyarakat di tiga kecamatan di pedalaman Kabupaten Pidie tersebut, telah memperbaiki kehidupan mereka. Dulu, masyarakat Geumpang, Manee, dan Tangse hanya bertani, beternak, dan berkebun. Hidup mereka melarat. Namun sejak emas ditemukan di Geumpang, perekonomian masyarakat membaik. Masyarakat yang dulu hidup miskin, saat ini mulai bisa menyekolahkan anak-anaknya, juga bisa mendirikan rumah layak huni.

Menurut M. Nasir, lebih dari tujuh ribu masyarakat dari Geumpang, Manee dan Tangse hidup dari tambang emas tradisional di pegunungan Geumpang. Mulai dari penambang atau pekerja di lubang, tukang ojek, hingga yang bekerja sebagai pengangkut barang keperluan penambang. Semua orang mendapat penghasilan dari tambang, bahkan pedagang di pasar, hingga angkutan umum  juga mendapat keuntungan dari tambang.

Kami menduga ada pihak tertentu yang ingin mengambil alih. Terlebih, ada 12 perusahaan tambang emas di Pidie dengan izin usaha pertambangan eksplorasi yang ingin menguasai pertambangan emas di Geumpang. Namun, terhalang oleh pertambangan rakyat tanpa izin. “Masyarakat Geumpang, Manee dan Tangse, sepakat, akan menghentikan kegiatan pertambangan asalkan Gubernur Aceh menghentikan pula semua aktivitas tambang di Aceh,” ujarnya.

Data Izin Usaha Pertambangan di Pidie:

1.    PT. Megallanik Garuda Kencana 9.430 ha
2.    PT. Delma Mineral 10.000 ha
3.    PT. Halimon Meugah Raya 10.000 ha
4.    PT. Banda Raya Paradiso 10.000 ha
5.    PT. Tangse Gunung Pusaka 8.327 ha
6.    PT. Glee Aceh Makmur 6.386 ha
7.    PT. Gempang Tangse Mineral 10.000 ha
8.    PT. Lariza Citra Mandiri 7.792 ha
9.    PT. Woyla Aceh Mineral (Suspensi) 10.300 ha
10.  PT. Bayu Kamona Raya (Suspensi) 10.000 ha
11.  PT. Bayu Nyohoka (Suspensi) 10.000 ha
12.  PT. Parahita Sanu Setia (Suspensi) 10.000 ha

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh per 31 Maret 2014, hasil olahan GeRak Aceh 2014 Divisi Kebijakan Publik dan Anggaran

Natsir pun menegaskan apa yang disampaikan Geuchik Abet, bahwa harus ada penelitian yang terbuka terkait kematian ikan tersebut, terlebih lokasi sungai yang jauh dari wilayah pertambangan. “Ahli perikanan harus dilibatkan, karena selama ini publikasi terkait kematian ikan tersebut selalu berbeda, ada yang keracunan atau karena belerang. Saya belum pernah dengar kematian ikan akibat merkuri.”

Ucapan Natsir tersebut merujuk pada hasil penelitian yang disampaikan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, Raihannah, usai sampel ikan-ikan itu diuji di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Menurutnya, ribuan ikan yang mati di sepanjang sungai (Krueng) Mariam, Kabupaten Pidie hingga Krueng Teunom, Aceh Jaya, positif karena keracunan, seperti yang dikutip dari Harian Serambi Indonesia, Rabu, (06/08/2014).

Raihannah menjelaskan, ciri ikan yang mati hatinya bengkak, jaringan kulit mengalami pendarahan. “Kondisi ikan yang demikian disimpulkan mati karena keracunan. Akan menyebabkan gatal bila dikonsumsi dan akan meresap ke otot serta saluruh tubuh bila digaruk.

Hal lain yang menjadi catatan Natsir adalah, ia bersama para petambang Geumata bersedia memperbaiki segala hal bila dianggap belum memenuhi aturan. “Tunjukkan pada kami, bila kami dianggap ilegal, bagaimana caranya agar menjadi legal. Kedua, bila kami belum ramah lingkungan, tunjukkan cara menambang yang ramah lingkungan itu seperti apa. Ketiga, kami butuh solusi, bukan intruksi.”

Poin tersebut, tidak pernah kami dapatkan. Padahal, kami sudah menantikan jawaban. Saya bersedia membiayai penelitian untuk mencari solusi tambang yang tidak merusak lingkungan. Bukan intruksi. “Ini aneh, bila membandingkan dengan PT. Woyla Aceh Mineral yang berada dekat lokasi kami. Mereka menggunakan helikopter untuk mengangkat hasil tambangnya. Tidak ada pemeriksaan kegiatan. Apa karena mereka perusahaan multinasional? Kenapa kami yang mengambil sumber daya alam di wilayah kami sendiri dicurigai? ” tegasnya.

Terkait poin yang disampaikan Natsir tersebut, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh, Said Ikhsan mengatakan, dinasnya memang telah menerima intruksi Gubernur Aceh. “Gubernur meminta kami mendampingi dan membantu masyarakat agar tidak memakai merkuri saat mengolah emas. Namun, semua itu butuh waktu dan penelitian guna mencari solusi yang tepat. Tambang yang ramah lingkungan,” sebutnya.

Beberapa hari setelah seruan tersebut dikeluarkan, Rabu (27/8), Polisi Daerah (Polda) Aceh bersama Polres Pidie, melakukan penertiban penambangan emas ilegal di Geumpang. Dasar hukumnya Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 44/M-DAG/PER/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya seperti sianida dan merkuri.

Kapolda Aceh, Irjen Pol Husein Hamidi, mengatakan, penertiban tambang emas tradisional ini dilakukan pertama kali di Geumpang. Dalam operasi yang sempat mendapat perlawanan  masyarakat itu, polisi berhasil menyita alat pertambangan termasuk barang bukti berupa 8 keping emas, 4 keping emas campuran, dan 28 keping perak.

Demo masyarakat Geumpang yang dipimpin M. Natsir saat menolak instruksi gubernur tentang penggunaan merkuri, sianida dan logam berat lainnya di pertambangan emas rakyat. Foto: Junaidi Hanafiah
Demo masyarakat Geumpang yang dipimpin M. Natsir saat menolak instruksi gubernur tentang penggunaan merkuri, sianida dan logam berat lainnya di pertambangan emas rakyat. Foto: Junaidi Hanafiah

Kasak-kusuk kematian ikan ikan di Geumpang ini coba dijelaskan oleh Rosmayani, Kepala Bidang Amdal Bapedal Aceh, yang telah melakukan penelitian baku mutu air di sekitar Sungai Geumpang, Tangse, dan Teunom. Penelitian yang dilakukan bersama Dinas Kesehatan tersebut menunjukkan bahwa kematian ikan julong diduga akibat limbah merkuri dari kegiatan pengolahan tambang emas masyarakat. Ini ditunjukkan dengan terkontaminasinya air sungai dengan unsur bahan kimia berbahaya.

Menurut Rosmayani, hal yang mengkhawatirkan dari kegiatan pertambangan emas masyarakat adalah tidak adanya analisis mengenai dampak lingkungan. Karena tambang tersebut memang tanpa izin. “Ini yang harus ditertibkan kedepannya sembari dilakukan penelitian lebih lanjut,” ujarnya.

Sejauh apa dampak merkuri terhadap kerusakan lingkungan? Yuyus Ismawati peneliti pertambangan emas skala kecil (PESK) dari Bali Fokus, saat diskusi Analisis Kebijakan Pertambangan Ilegal dan Pencemaran Lingkungan Hidup di Banda Aceh (11/9/2014) menuturkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, akibat ibu hamil keracunan merkuri, bayi yang dilahirkan cacat misalnya saja autis, idiot, atau bibirnya sumbing. Hanya saja, kasus-kasus tersebut belum banyak terdengar dan dokter juga belum dapat mendiagnosis.

Menurut Yuyun, bila merkuri sudah masuk tubuh maka akan menuju otak, ginjal, dan hati yang tidak bisa dikeluarkan lagi kecuali bila menggunakan obat berdosis tinggi. Merkuri yang masuk melalui makanan bisa diperiksa keberadaannya di tubuh manusia lewat kuku dan rambut, sementara yang terhirup melalui udara bisa diperiksa melalui urin. “Yang diperiksa di rambut dan kuku adalah merkuri yang terpapar dalam jangka waktu pendek, sedang yang terpapar di darah itu merupakan jangka panjang,” ujarnya.

Bedasarkan data Bali Fokus 2010, di Indonesia terdapat sekitar 850 titik tambang rakyat yang tersebar di 27 provinsi dengan pekerja sebanyak 250 ribu orang. Produksi emas pertahunnya diperkirakan 65-130 ton.

Butiran-butiran emas seperti inilah yang terus diperjuangkan masyarakat Geumpang. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Elly Sufriadi, Staf Pengajar FMIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, coba menuturkan dampak negatif penggunan merkuri dalam tambang emas ini. Teknik yang digunakan masyarakat adalah menggunakan tromol dan amalgam atau yang dikenal dengan merkuri. Keuntungan teknik ini adalah mampu mengikat emas dari material atau batuan dengan berbagai komposisi mineral yang dapat digunakan di seluruh dunia. Bahan yang digunakan adalah logam merkuri (Hg). Namun, kelemahan teknik ini adalah rendaman (pengikat emas) rendah antara 40-55 persen. Selain itu juga berbahaya bagi lingkungan.

Elly melanjutkan, para penambang emas tradisional ini menggunakan merkuri untuk menangkap dan memisahkan butiran emas dari butiran bebaruan dengan menggunakan kain. Endapan yang tersaring lalu diremas dengan tangan. Air sisa penambangan yang mengandung merkuri itulah yang dibiarkan mengalir ke sungai dan menuju irigasi ke lahan pertanian. Meskipun, komponen merkuri banyak tersebar di karang, tanah, air, udara, dan organisme hidup melalui proses kimia, fisika, dan biologi yang rumit. Merkuri yang terakumulasi di lingkungan itulah yang dapat meracuni hewan, tumbuhan, mikroorganisme, hingga manusia.

Menurut Elly, kerusakan tubuh yang diakibatkan merkuri sifatnya permanen dan hingga kini belum bisa disembuhkan. “Hal penting untuk diketahui adalah, air raksa sangat beracun bagi tubuh manusia. Meski hanya 0,01 mg masuk tubuh manusia, namun dapat menyebabkan kematian. Selain itu, air raksa yang sudah masuk ke tubuh tidak dapat dikeluarkan lagi.”

Solusi apa yang harus diberikan terkait tambang rakyat itu? Elly menuturkan harus dipikirkan cara mengolah emas tanpa menggunakan merkuri ataupun siandia. Artinya pengolahan emas yang ramah lingkungan. Seperti apakah itu? “Material yang diolah hanya konsentrat sehingga sisa material dapat dikembalikan ke asal. Emas yang diolah tingkat perolehannya lebih tinggi dari kandungan yang ada pada mineral, serta tidak menghasilkan buangan limbah yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.”

Salah satu kapal pengolahan emas yang menggunakan merkuri di Sungai Mas Kabupaten Aceh Barat. Foto: Edison

Diperkirakan, jumlah masyarakat yang bekerja di sektor tambang emas ilegal ini hampir mencapai 30 ribu orang yang telah berjalan sejak tahun 2007. Tambang ini tersebar di 10 kabupaten/kota di Aceh yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Subulussalam. Lokasi tambang diperkirakan mencapai 46 titik dengan produksi mencapai 10 ton emas per tahun. Geumpang adalah salah satunya.

Terkait keberadaan tambang emas ilegal ini, Gubernur Aceh juga didesak untuk menerapkan moratorium tambang pada pertemuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan, Senin (15/9/2014). Alasannya, Aceh telah memiliki peraturan mengenai tambang dan mineral yang tertuang dalam Qanun No 12 tahun 2002 mengenai Pertambangan Umum, minyak bumi, dan gas alam serta Qanun No 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam pertemuan tersebut, TM Zulfikar mengutarakan bahwa pertambangan di Aceh sudah sangat memprihatinkan, tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga telah berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan dan menyelamatkan masyarakat dari bahaya limbah pertambangan adalah dengan memberlakukan moratorium tambang di Aceh,” ungkap aktivis lingkungan ini. (Bersambung)…

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,