, ,

Melihat Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

Pembangunan Aceh, pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004, tak bisa lepas dari satu badan khusus bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Badan ini terbentuk, kala progres pembangunan pasca bencana begitu lambat. Kuntoro Mangkusubroto, duduk mengepalai badan ini.

Dalam Analisis Dinamika Kolaborasi antara Aceh dan Nias dengan Lembaga Donor Pasca Tsunami 2004 menggunakan Drama Theory, Kuntoro menyebutkan, tugas BRR tak ringan karena sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dunia, belum pernah didirikan badan khusus sebagai koordinator dan pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. BRR, katanya, kala itu, tidak memiliki panduan dalam menjalankan tugas.

BRR pun berupaya membangun Aceh dan Nias pasca bencana dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, menerapkan struktur administrasi dan manajemen “flat”, serta sistem pendukung yang fungsional dan ringkas.

Badan ini bergerak menjadi ‘pusat’ keluar masuk dana-dana dari berbagai pihak. Ada dari APBN, negara atau lembaga donor baik multilateral dan bilateral, Palang Merah Indonesia, internasional maupun dari negara lain, termasuk dari dunia usaha. Total 900 lembaga dengan sekitar US$7,2 miliar. Dari jumlah itu, dua per tiga bantuan dari luar negeri.

Alhasil, badan ini secara umum terbilang sukses menjalankan tugas ‘membangun Aceh kembali” kala itu. Pada 2007, badan ini mendapat acungan jempol dari BPK atas laporan keuangan tahun 2007. Mereka mendapat opini wajar tanpa pengecualian dari BPK.

Dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, memberikan peringkat pertama pada laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah 2006 dan 2007 buat BRR.

Setelah lebih dari lima tahun berdiri, pada 2009, BRR menyelesaikan tugas. Dengan alokasi dana sekitar US$6,7 juta, setidaknya terbangun, lebih 140.000 rumah, 1.759 sekolah, 363 jembatan dan 13 airport.

Kini, bencana dasyat yang menewaskan ratusan ribu jiwa dan meluluhlantakkan Aceh ini sudah 10 tahun berlalu. Sebagai refleksi 10 tahun tsunami ini, Mongabay-Indonesia, mewawancarai Heru Prasetyo, dulu Direktur Hubungan Internasional BRR Aceh Nias.

Mongabay-Indonesia: Gempa dan tsunami Aceh, sudah 10 tahun berlalu. Pelajaran apa yang bisa diambil jika dikaitkan kerja BRR kala itu, sebagai lembaga baru yang menjalankan tugas belum memiliki pedoman?

Heru Prasetyo: Mungkin kita harus renungkan kembali, pelajaran apa yang bisa diperoleh dari kejadian-kejadian sesudah tsunami. Kita semua sadar, tsunami itu suatu bencana alam. Kita sekarang banyak bicara masalah perubahan iklim, adalah bencana alam karena kelakuan manusia. Artinya, kalau kita mengatakan murni bencana alam, you have to take it as given. Tetapi, kemudian terjadilah penyapuan, pengrusakan, penghancuran, yang terjadi sebagai akibat dari kelakuan atau perilaku alam tadi.

Banyak hal yang kemudian bisa kita pelajari pada waktu membangun sesuatu dari nol. Pertama, kita perlu tahu dalam kondisi yang tidak jelas itu,  dari mana harus memulai. Kalau kita tidak tahu mulai dari mana, you have to create it the point when you start. Karena kalau tidak kita tetapkan detik-detik akan mulai,  tidak akan pernah mulai. Ini pelajaran penting sekali. 

Kedua, masalah yang kita hadapi tidak hanya bangun fisik, rusak rumah, rusak pohon, rusak padi, orang tewas dan lain-lain. Juga ada sosial. Hubungan sosial grup satu dengan grup lain itu mengalami perubahan signifikan setelah bencana. Ada menjadi makin dekat, ada menjauh, ada yang menjadi menyendiri dan seterusnya. Di suatu masyarakat seperti itu. Dalam konteks macam itu, dimana bangun fisik dengan kondisi rusak secara sosial dan terjadi perubahan-perubahan signifikan, maka pada waktu akan rekonstruksi politik baik fisik maupun sosial dan emosi itu diolah bersama.  Namun, jangan berpikir mau mencari keseimbangan terlebih dahulu dari semua itu, you will never start.

Yang dilakukan BRR kala itu, bermusyawarah dengan para umaroh, pemerintah, ulama, dan budayawan, bagaimana rekonstruksi Aceh sebaiknya. Tidak keluar dengan satu solusi karena masing-masing punya pendapat berbeda terus.

Heru Prasetyo, dulu Direktur Hubungan Internasional BRR, kini kepala BP REDD+. Foto: Sapariah Saturi
Heru Prasetyo, dulu Direktur Hubungan Internasional BRR, kini kepala BP REDD+. Foto: Sapariah Saturi

Mongabay-Indonesia: Bagaimana BRR dalam menghadapi perbedaan pendapat dari berbagai kalangan itu?

Heru Prasetyo: Kalau kita mencoba terlalu demokratis mendengarkan itu, ya kita ngobrol terus tidak melakukan pembangunan. Disitu saya mendapat pelajaran bahwa menggunakan pendekatan demokratis pun harus bijak kapan harus mengusulkan, kapan harus memulai langkah. Hingga demokrasi itu bisa diajak bergerak ke suatu titik, kalau tidak, ia berputar-putar terus. Itu yang dilakukan BRR.

Ini tidak hanya dengan masyarakat sendiri, juga masyarakat luar, NGOs. Pada waktu BRR jadi itu sudah banyak sekali ada disana. BRR baru muncul pada bulan kelima. Mereka mempunyai kegiatan, mempunyai aturan, melakukan bangun rumah disini, kasih  fasilitas apa disana, tetapi mereka tidak terarah, tidak diarahkan.

Untuk itu, perlu ada pemerintah kuat, bisa dipercaya dan jujur yang bisa mengarahkan. Pada waktu mengarahkan bisa diterima integritasnya, tidak hanya oleh pelaksana di lapangan juga pemberi dana.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana membangun kepercayaan di tengah kondisi Indonesia, sebagai negara dengan korupsi tinggi? 

Heru prasetyo: Transparansi. Kita melaporkan setiap kegiatan. Kemudian kita juga melaporkan kemana saja uang itu ada bukti, termasuk para NGO-NGO yang melakukan pekerjaan sering check and recheck pada yang lain. Jadi ada satu proses konfirmasi bahwa yang kita lakukan itu benar.

Semua itu perlu dilaporkan secara teratur.  Keteraturan memerlukan sistem. Jadi ada manajemen, ada orang-orang berkualitas dan berintegritas. Ada niat baik dan saling check and balance diantara para pelaku. Sistem yang mencatat dan melaporkan itu manajemen fair.

Mongabay-Indonesia: Apakah capaian BRR itu menurut Anda memuaskan?

Heru Prasetyo: Apakah saya 100% puas dengan yang dicapai disana? Oh, tidak. Namun, kala itu keputusan harus diambil, andai kata kita mengatakan,”saya mau menyembuhkan semua luka di hati orang-orang Aceh itu, mungkin perlu 10 tahun, mungkin perlu menunggu generasi berikutnya, sekolah yang bagus. Kalau itu dilakukan, akan muncul kemudaratan. Hal-hal menyulitkan mungkin muncul, karena situasi menjadi sangat kompleks.

Mongabay-Indonesia: Masa rehabilitasi dan rekonstruksi, terjadi pembangunan besar-besar yang memerlukan banyak material, seperti bahan baku kayu. Bagaimana kebijakan BRR, agar proses itu tak menciptakan kerusakan baru, misal pembabatan hutan Aceh secara massif?

Heru Prasetyo: Saat kita rekonstruksi Aceh ada suatu statemen: tidak menggunakan kayu dari hutan Aceh. Pada waktu itu, kebutuhan kayu untuk membangun besar sekali. Kami mengatakan,  kalau menggunakan kayu Aceh, jangan-jangan tsunami dari laut disambut tsunami dari gunung. Kalau terjadi, bisa longsor dan lain-lain. Apa yang kemudian terjadi, secara mekanisme pasar, keseimbangan bisnis, dan keseimbangan managemen, kita terpaksa mengimpor kayu. Jadi ada kayu dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, juga Selandia Baru. Itu untuk memenuhi kebutuhan sekaligus menjaga jangan sampai hutan Aceh rusak. Kita sudah mikir pada waktu itu.

Namun, kemudian Kementerian Kehutanan, pemerintah dan lembaga-lembaga lain waktu itu mengatakan, ini akan melanggar apa yang menjadi pedoman dalam perdagangan internasional Indonesia. Indonesia adalah eksporter kayu, bukan importer. Mungkin dalam negoisasi perdagangan penting. Tetapi kami, mengatakan, tidak. Tetap tidak akan menggunakan kayu hutan Aceh. Hal ini disambut gubernur yang naik, Irwandi Yusuf. Dia moratorium pemanfaatan hutan di Aceh.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana anda melihat pembangunan di Aceh, saat ini?

Heru Prasetyo: Saya ke Aceh, dua tiga tahun lalu. Saya melihat, saya tidak percaya bahwa dulu ada tsunami. Kondisi fisik bagus. Tetapi kalau lihat, ada komplek rumah-rumah yang dibangun cantik (masa BRR) tak semua ditempati.

Ada cukup banyak rumah kosong. Saya tak tahu persis persentasenya. Kan kalau dulu, ada orang-orang tidak punya rumah tapi kos di rumah-rumah dekat pasar karena kerja di pasar. Apakah tukang dorong gerobak, tukang panggul barang, tukang nurunin barang di truk. Kan banyak orang-orang seperti itu. Mereka tinggal kos di rumah orang. Rumahnya hilang, mau kos dimana? Kebijakan kita waktu itu bangunin rumah, mereka dapat rumah. Tapi tidak bisa di dekat pasar, harus di bukit. Dapat rumah di bukit. Pasca bencana, mereka kembali kerja di pasar, jauh dan disediakan bis. Namun perkembangan ekonomi dengan kebutuhan, dan pergerakan manusia, tidak selalu seirama. Jadi bisa saja dari rumah-rumah di bukit itu,  tidak ditinggali karena lahan yang di bawah dulu dibangun lagi dan disewakan. Jadi dinamika seperti itu biasa.

Kalau kita refleksikan, ternyata pada akhirnya, masyarakat bisa bebas menentukan pilihan. Tidak ada paksaan. Kamu tidak harus tinggal di rumah itu, kamu punya hak untuk rumah itu, kamu punya opsi tinggal disitu atau tidak. Jadi, kita bisa melihat, bagaimana masyarakat menggunakan opsi-opsi mereka.

Krueng Aceh di pusat kota dipenuhi sampah bangunan dan  mayat korban tsunami yang hanyut tersapu air. Foto: Chik Rini
Krueng Aceh di pusat kota dipenuhi sampah bangunan dan mayat korban tsunami yang hanyut tersapu air. Foto: Chik Rini
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,