,

Inilah Kisah Komunitas To Bentong

Tugu beton itu tegak setinggi tiga meter, pada bagian atas menempel sebuah jam dinding, sejak lama tak berfungsi. Inilah penunjuk jalan berbelok arah jika hendak menuju Desa Bulo-bulo, Kecamatan Pujananting, Kaupaten Barru, tempat ratusan komunitas To Bentong bermukim.

Jalur lain bisa melalui Desa Bungoro di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, namun jalan sangat buruk. Saat hujan, kendaraan dapat terperosok ke kubangan. Jalan pun berangkal batu besar dan tajam, kapan saja bisa menembus ban.

Tugu jam di Kecamatan Tanete Riaja ini adalah jalur panjang dan melewati beberapa desa. Saya dan seorang teman memilih jalur ini karena lebih aman. Kami hanya menggunakan motor standar dan tak bersama penunjuk jalan.

Di Punranga kampung terakhir jalan beraspal, kami berbelok kanan, dan mulai menapaki jalan aspal rusak. Pohon-pohon pinus di sisi jalan, sungai diantara jurang, dan petakan lahan pertanian. Rumah-rumah penduduk berjauhan. Tak ada listrik di kampung ini. Warga menggunakan genset, atau aki mobil untuk penerangan dua hingga tiga bola lampu.

Setelah kelelahan mengendarai sepeda motor sekitar tiga jam, kami melewati jembatan besi dengan papan kayu sebagai penyangga utama. “Selamat Datang di Desa Bulo-bulo.” Kata-kata itu tertempel di papan kayu berwarna putih dengan huruf-huruf berwarna hitam.

Jalan mendaki curam dengan batu besar yang lepas. Membuat motor kapan saja tergelincir jika tak berhati-hati.

Perjalanan masih berlanjut sekitar 30 menit menuju Dusun Labaka. Tempat komunitas To Balo–penamaan kelompok manusia belang–hidup dan bermukim. Tempat dimana stigma dan stereotype menjadi bahan jualan pemerintah daerah dan beberapa pewarta.  Bagaimana kisahnya?

Anak-anak  Komunitas To Desa Bulo-bulo, kala pergi ke sekolah. Foto: Eko Rusdianto
Anak-anak Komunitas To Desa Bulo-bulo, kala pergi ke sekolah. Foto: Sofyan Syamsul

Melawan stigma

Saya tiba di Dusun Labaka saat malam. Cahaya dari rumah-rumah penduduk yang berjauhan terlihat seperti kunang-kunang, karena lebih banyak menggunakan lentera berbahan minyak tanah. Pukul 20.00 hampir dipastikan, semua penduduk terlelap, kecuali beberapa anak muda sesekali hilir mudik menggunakan motor.

Keesokan hari, setelah Nurlaela usai belajar mengaji, kami berjalan menuju rumah dia yang sejuk. Berdiri diantara undakan- pematang sawah dan kebun. Ayahnya, Nuru Rein, sedang mencuci motor di bawah kolong rumah, menggunakan aliran air dari gunung.

Di Dusun Labaka, semua warga menggunakan air dari gunung, untuk keperluan mencuci dan minum. Di dusun ini, terdapat 73 keluarga dengan mata pencaharian sebagai petani sawah. “Silakan naik ke rumah. Saya cuci motor dulu,” kata Nuru.

Suasana gerimis saat kami duduk di beranda rumah Nuru Rein. Dia menggunakan topi pet, kaos oblong, dan celana pendek selutut. “Beginilah keadaan kami. Kalau orang berkunjung ke desa ini, pasti akan ketemu kami,” katanya. “Saya juga sudah mulai bosan.”

Selama ini, keluarga Nuru Rein yang memiliki kulit belang dengan sebutan To Balo, menjadi semacam magnet mengunjungi desa Bulo-bulo. Mereka diasumsikan sebagai masyarakat terasing dan baru tahun 1990-an mulai menempati rumah. “Orang mengatakan itu. Saya juga tidak tahu kenapa begitu. Itu nda benar,” kata Nuru.

Nuru, tak begitu senang dengan ungkapan To Balo. Ungkapan ini, kata dia, adalah penyematan dari luar dan menjadi semacam ejekan. To dalam bahasa Bugis berarti orang dan Balo berarti belang. Jadi manusia belang. “Ini diberikan Tuhan. Saya juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Kami itu orang To Bentong,” katanya.

Saat Nuru bercerita, mata menerawang. Dia irit bicara dan ucapan pendek-pendek.“Kalau ulang tahun Barru (Kabupaten Barru setiap Februari), saya dijemput ke kota. Saya  (di kota Barru –  buka baju lalu difoto). Setelah itu pulang kembali ke rumah. Foto-foto saja.”

Nuru dan keluarga mulai risih. “Saya dijemput pak desa. Saya takut orang-orang marah. Jadi saya ikut saja.”

Di Dusun Labaka, ada lima orang yang memiliki kulit belang, Nuru  dan tiga orang anak, Ra’da (21), Nurlaela (kelas lima SD) dan Sofyan (3) serta seorang kerabat Sahe (40).

Kisah kulit belang keluarga Nuru, ada beberapa cerita. Salah satu karena kutukan, selebihnya mememiliki kekuatan gaib. “Mereka kebal alami. Tidak dapat dibakar api juga,” kata beberapa orang yang kami temui.

“Kalau ke Kampung To Balo, hati-hati. Jangan sembarang minum air. Atau makan di tempatnya,” kata warga lain yang kami temui saat bertanya letak Kampung Bulo-bulo.

Padahal,  tarian api (Se’re Api) yang selama ini dikenal di Kabupaten Barru adalah milik masyarakat di Desa Gattareng – tetangga kampung Desa Bulo-bulo. Tarian Se’re Api  dipentaskan saat pesta syukur panen. Sementara masyarakat di Desa Bulo-bulo–khusus komunitas To Bentong-hanya mahir menggunakan alat musik seperti gambus dan kecapi.

Mengapa muncul penyematan To Balo? Guru Besar Antropologi University of Toronto, Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, menjabarkan bagaimana program pemukiman dari Departemen Sosial (Depsos) 1970-an untuk “masyarakat terasing” memindahkan masyarakat dari pegunungan ke lembah yang mudah dijangkau.

Depsos menggunakan istilah seolah-seolah masyarakat pegunungan adalah mereka udik dan tertinggal yang ditulis sebagai nama suku. Padahal secara luas, petani di pegunungan tidaklah berbeda mencolok dengan yang lain, dan bukan primitif.

Jika kulit atau fisik mereka berbeda, apakah mereka komunitas lain? “Tidak. Mereka sama seperti masyarakat lain. Mereka orang Bentong,” kata Kepala Dusun Labaka, Lacing.

Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Bentong menggunakan bahasa Bentong. Bahasa ini, campuran dari Bugis dan Makassar.

Nuru Rrein, warga To Bentong yang gerap karena dicap terasing dan 'dihargai' oleh pemerintah hanya buat pajangan dan difoto-foto setahun sekali. Foto: Eko Rusdianto
Nuru Rrein, warga To Bentong yang gerap karena dicap terasing dan ‘dihargai’ oleh pemerintah hanya buat pajangan dan difoto-foto setahun sekali. Foto:Sofyan Syamsul

***

Senin, 1 Desember 2014, Nurlaela bangun pagi. Kabut di pematang sawah masih begitu jelas, bergerak pelan digoyang angin. Seragam putih, rok merah, tas, dan sandal jepit. Dia bersiap menuju sekolah berjarak beberapa kilometer.

Bersama dua kawan, mereka meninggalkan rumah pukul 06.00. Berjalan di antara batu besar, mendaki dan menurun. Perjalanan menuju sekolah sekitar satu jam. Sekarang, Nurlaela duduk di kelas V SD Inpres Bulo-bulo. “Nur punya cita-cita apa?” kata saya. Dia tak menjawab, hanya tersenyum.

Nurlaela, anak ketiga dari keluarga Nuru Rein. Dia berencana terus sekolah dan mendapatkan pendidikan layak.

Anak pertama Ra’da, sudah menikah dan istri sedang mengandung, beberapa tahun lalu putus sekolah. “Tidak tahan. Karena selalu diejek di sekolah,” katanya.

Ketika Ra’da menamatkan SD, seorang kolega membawa ke salah satu pesantren di Makassar. Di asrama itu, teman-teman sekolah mengejek sebagai jelmaan kuda belang. “Kadang-kadang mereka suruh saya itu makan rumput. Sakit hati. Jadi saya berhenti.”

Antroplog Universitas Hasanuddin Makassar, Tasrifin Tahara mengatakan,  penyematan masyarakat atau kelompok marginal dari kelompok dominan selalu terbarukan. Penyematan seperti kata To Balo, seolah-olah bahwa mereka bukan Bugis. “Saya kira negara ikut melegalkan. Dan itu sangat tidak baik,” katanya.

Secara kebudayaan, pembagian suku di Sulawesi Selatan hanya ada tiga; Makassar, Bugis, dan Toraja. “Kalaupun mereka memiliki ciri fisik berlainan, ini sama saja dengan ada manusia yang lahir dengan hidung mancung, pesek, kulit putih atau hitam. Secara kebudayaan mereka tidak berbeda.”

Peneliti Biomedik dari Universitas Hasanuddin, Arfan Sabran yang melakukan penelitian pada masyarakat To Bentong sejak 2004–2008, melalui analisa DNA mengatakan, kondisi kulit “belang” itu karena kelainan proses pigmentasi dalam dunia kedokteran dikenal sebagai piebaldism dan tidak menular. “Pada piebaldism, belang didapatkan sejak lahir, tidak bertambah dan berpola.”

Bagaimana cara menghentikan? Menurut Arfan, tak ada cara dan tidak perlu pengobatan. Yang penting, memberi pemahaman pada masyarakat tentang kondisi mereka dan bukan menganggap mereka berbeda. “Ini seperti orang kulit putih yang melihat orang kulit hitam berbeda.”

Namun, melalui analisa pedigree (silsilah) beberapa keluarga, Arfan menemukan kelainan kulit karena gen autosom (tubuh) yang dominan. Jadi keturunan yang berkulit tidak belang, jika menikah dengan berkulit sama akan melahirkan keturunan tidak belang hingga turunan selanjutnya. Jika berkulit belang menikah dengan tidak belang, kemungkinan keturunan akan berkulit belang,  bisa juga tidak.

Menjaga gunung leluhur

Sore hari ketika hujan mulai reda, Nuru bergegas menyiapkan tongka (bambu wadah tempat sari nira). Lalu memetik daun kirasa, daun itu digulung beberapa lembar, lalu diikatkan dan dimasukkan dalam tongka. “Untuk dicampur dan buat gula,” katanya.

Sebelum musim tanam tiba, keluarga Nuru menyadap sari nira. Gula-gula akan dijual Rp18.000. Sepekan atau dua minggu sekali, dia memasarkan di Pasar Kamboti Desa Bulo-bulo, berjarak tempuhn dua jam berjalan kaki.

Nuru juga menanam beberapa keperluan sehari-hari di ladang samping rumah. Ada pisang, keladi, atau beberapa tanaman pangan lain. Di Labaka, masyarakat ke sawah ketika musim hujan. Lahan dan undakan hanya untuk sawah tadah hujan.

Di Dusun Labaka, Komunitas To Bentong, bercocok tanam sesuai pertanda alam. Mereka tak pernah membuka lahan serampangan. “Harus melihat kondisi tanah. Apakah layak (labil) atau tidak. Siapa tahu kita garap akan longsor,” kata Alimuddin, seorang warga. “Coba kita lihat. Kami bertani, tapi tak pernah dapat longsor. Kan hidup bukan soal uang terus.”

Bagi masyarakat To Bentong, diantara pegunungan dan lembah terdapat gunung bernama Bontang. Gunung ini, dipercaya sebagai tempat penyimpanan air dan penyangga dari gunung-gunung lain di sekitar.

Gunung Bontang, dianggap keramat. Di sama tumbuh pohon-pohon berdiameter besar, rimbun dan asri. Gunung ini tak boleh dimasuki apalagi dijamah. “Biasa, kita masuk ke gunung itu, kalau ada warga punya hajatan atau pesta syukur masyarakat,” kata Alimuddin.

Gunung Bontang menjadi penting karena dianggap sebagai tempat bersemayam leluhur dan penjaga alam. “Ceritanya seperti itu. Kami warga di sini tak akan merusak.”

Anak-anak To Bentong, kala akan pergi ke sekolah, berjalan kaki sekitar satu jam melalui jalan terjal berbatu. Foto: Eko Rusdianto
Anak-anak To Bentong, kala akan pergi ke sekolah, berjalan kaki sekitar satu jam melalui jalan terjal berbatu. Foto: Sofyan Syamsul
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,