,

Eksploitasi Alam di Sulawesi Tengah Terus Dilakukan Secara Masif

Dalam tiga tahun terakhir, eksploitasi sumber daya alam sektor pertambangan di Sulawesi Tengah terjadi begitu masif. Sehingga, menimbulkan residu yang luar biasa terhadap alam dan manusia.

Pandangan tersebut disampaikan Muhammad Rifai Hadi, Manager Advokasi Jatam Sulteng menyikapi maraknya ekspansi industri pertambangan yang ada di Sulawesi Tengah, belum lama ini di Palu.

Rifai menjelaskan, di Sulteng terdapat dua lokasi yang menjadi lahan industri pertambangan yakni Kota Palu dan Kabupaten Morowali. Dua daerah ini, menjadi pusat industri yang akan banyak menggunakan tanah yang luas. Investasi tersebut, akan merebut ruang-ruang hidup petani di pedesaan dan perkotaan, sehingga berimplikasi pada pemiskinan massal.

Ia menjelaskan, meskipun ekspansi pertambangan sepanjang 2014 sedikit, namun problem pertambangan belum dikatakan tuntas. Sebab, permasalahan perizinan dan operasi pasca- tambang akan menyisahkan persoalan baru.

“Konflik agraria masih terlihat di lapangan antara rakyat penolak tambang dan perusahaan. Di sisi lain, peran pemerintah dalam menekan laju kerusakan lingkungan hanya sebatas instruksi. Dari sekian ratus izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tengah, baru beberapa yang dicabut dan dinyatakan tidak clean and clear.”  

Menurutnya, salah satu penyumbang konflik agraria di Sulteng adalah investasi melalui konsesi HPH, tambang dan perkebunan skala besar yang tersebar hampir di seluruh kabupaten. Tercatat, sekitar 14 perusahaan HPH yang aktif dengan areal kelola seluas 1.001.445 hektar dan 11 unit perusahaan yang beroperasi aktif dengan areal kelola seluas 844.835 hektar. Sementara, terdapat juga 15 perusahaan perkebunan yang mengantongi hak guna usaha (HGU) dengan luas areal kelola 93.135 hektar serta izin pemanfaatan kayu (IPK) dan izin pemanfaatan kayu-tanah milik (IPK-TM) seluas 4.035,39 hektar.

“Hanya dalam tempo 10 tahun sekitar 412 IUP, 2 kontrak karya dan 2 kontrak migas telah diterbitkan. Dari keseluruhan izin itu, penguasaan lahannya mencapai 2,5 juta hektar,” ungkapnya.

Inilah spesimen sikatan sulawesi atau Sulawesi streaked-flycatcher yang dinyatakan sebagai jenis baru yang ditemukan di Sulawesi Tengah pada penghujung November 2014. Foto: Rahmadi Rahmad

Direktur Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw menambahkan jumlah penguasaan ruang dan lahan yang besar itu, akan terus bertambah dan meluas berdasarkan agenda MP3EI yang menargetkan penetapan wilayah pertambangan (WP) 40 wilayah pertahun. Sebab, 50 persen cadangan nikel Indonesia berada di Sulawesi, meski hanya menyumbang 7 persen PDRB setiap tahunnya.

Sementara investasi industri dan perkebunan sawit telah merambah sejak 20 tahun lalu. Pada 2014 ini, luas arealnya mencapai 567.360 hektar yang dioperasikan oleh 41 perusahaan. Salah satu perkebunan yang mendapatkan perhatian adalah PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kabupaten Banggai dan Morowali yang merampas tanah petani transmigrasi dan masyarakat setempat. Bahkan, perusahaan itu melakukan proses alih fungsi lahan di kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang.

“Semua kegiatan ini menyumbang terjadinya krisis tanah dan areal pertanian yang bisa diusahakan petani. Masalah agraria, kami pandang sebagai persoalan kebangsaan yang tidak pernah selesai. Parahnya, UUD 1945 pasal 33 yang diterjemahkan melalui UU Pokok Agraria tahun 1960, hanya menjadi hiasan yang tidak kunjung diimplementasikan,” tegasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,