Kesepakatan tinggal kesepakatan. Pelaksanaan tak pernah ditepati PTPN. Bahkan, kini, bersama Brimob mencari warga yang dituduh mencabut patok di lahan sengketa. Kepala BPN Sulsel menilai, PTPN berlebihan.
Bakri menyeka keringat di wajah. Bibir bergetar ketika bercerita situasi terakhir kampung di Kelurahan Keera, Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Mereka berkonflik lahan dengan PTPN XIV.
“Ada datang ke rumah dari Brimob cari-cari. Istri saya yang terima. Dia tanya apa benar saya cabut patok PTPN,” katanya kepada Mongabay di Kantor BPN Sulsel, Senin (22/12/14).
Intimidasi PTPN dan Brimob ini menjadi keresahan baru warga. Bermula ketika karyawan PTPN XIV dikawal Brimob mendatangi lahan yang dikelola warga dan langsung pematokan.
Tak terima, sejumlah warga mencabuti patok-patok itu. Ini terjadi selama tiga hari berturut-turut. Protes warga ke PTPN tak digubris. Warga dan Brimob sempat berhadap-hadapan di lokasi meski tak terjadi bentrok.
Setelah tiga hari, 17 Desember 2014, Brimob mendatangi rumah-rumah, mencari warga yang dituduh provokator dan pencabut patok.
“Ada beberapa rumah mereka datangi, katanya sambil tendang-tendang pintu. Tak ada yang ditangkap karena warga sembunyi. Memang sudah ditandai yang mau dicari, yang katanya pemimpin warga,” kata Rizki Anggaraini Arimbi, dari Walhi Sulsel.
Menurut dia, tindakan PTPN dan Brimob ini melanggar kesepakatan antarwarga dan perusahaan pada Juli 2014. Pada pertemuan difasilitasi Bupati Wajo itu disepakati antara lain petani yang memiliki tanaman semusim tetap boleh memasuki dan mengelola lahan sengketa.
“Pertemuan ini sebenarnya menegaskan hasil pertemuan sebelumnya, bahwa para petani dapat mengambil hasil tanaman di lahan yang mereka tanami tanpa dihalang-halangi Brimob dan PTPN. Ini yang dilanggar,” kata Rizki.
BPN segera pengukuran
Mendengar keluhan warga, Kepala BPN Sulsel, HS Muhammad Ikhsan, menilai tindakan PTPN dan Brimob berlebihan. Apalagi sudah ada upaya mediasi. Ikhsan mengaku telah bicara berkali-kali ke PTPN XIV.
“Saya minta PTPN hentikan intimidasi, kita selesaikan, kita buat berita acara. Jadi, kalau ada yang membuat onar, lapor saja. Kan ada propam. Brimob di sana bukan untuk intimidasi masyarakat,” kata Ikhsan.
Dia berharap, penyelesaian sengketa mengedepankan azas kekeluargaan. Langkah pertama, menyepakati lokasi lahan yang akan diukur. Luas disepakati 1.934 hektar.
“Sekarang mumpung PTPN mau. Mari kita ke Pak Bupati bicara, karena dalam Perpres dia yang akan menyelesaikan. Lalu kita bicarakan yang 1.934 hektar itu bagaimana, memanjang bagaimana. Saya tidak mau ada polisi lagi di sini.”
Ikhsan berjanji segera mengukur setelah batas-batas jelas. “Saya sudah bicara macam-macam dengan PTPN. Kami bersepakat cepat selesai. Kami akan segera pengukuran. Yang penting lahan seluas 1.934 hektar itu nanti tempat jangan tersebar. Jangan ada bolong-bolong warga di mana-mana. Warga juga jangan lagi masuk ke yang 6.000 hektar itu.”
Dia berharap penyelesaian sengketa bisa menguntungkan kedua pihak, baik warga ataupun perusahaan. “Kita berharap ada win-win solution. Pemerintah juga mau hidup. Jadi jangan ada yang mau lahan di sini atau di sana. Kasihan pemerintah juga.”
Taufik Kasaming, pendamping warga, menyambut baik rencana pengukuran ini. Dia menilai, peran BPN penting sebagai azas legalitas. Dia berharap, janji BPN benar-benar ditepati. Tidak seperti sebelumnya.
“Sudah lima kepala BPN saya temui. Bahasa mereka sama semua, tapi di lapangan lain. Kita harap ini benar-benar ada realisasi.”
Masalah lain yang masih mengganjal lokasi yang akan diukur. Karena pertimbangan historis, warga bertahan di lahan sama. “Ada ikatan historis warga dengan kepemilikan lahan. Ini sulit ketika harus direlokasi ke tempat lain,” kata Rizki.
Pertimbangan lain, kekhawatiran warga jika lokasi yang diberikan kepada mereka justru di wilayah kelola masyarakat lain. Ini bisa menimbulkan masalah hukum baru dan tak menutup kemungkinan memicu konflik horizontal antarwarga.
“Bupati menyarankan lokasi dipindah ke Pasangloreng Gillirang. Kawasan itu memiliki sejarah kepemilikan warga. Jangan sampai malah warga saling berebut. Ini harus jadi pertimbangan.”
Hal lain lagi, produktivitas lahan harus cocok sebagai pertanian sawah dan perkebunan.“Warga takut jangan sampai lahan justru tak bisa ditanami, untuk apa juga?”
Rizki berharap, Kepala BPN yang baru bisa menepati janji segera pengukuran. BPN menjanjikan turut ke lapangan mengukur pertengahan Januari 2015.
“Semoga kali ini benar-benar ditepati. Kita kasih waktu BPN sampai 20 Januari. Setelah tanggal itu belum ada pengukuran, kami aksi.”
Konflik lahan ini berawal dari masuknya PT Bina Mulia Ternak (BMT) di Kecamatan Pitumpanua—berubah menjadi Kecamatan Keera–, dengan hak guna usaha (HGU) untuk pengembangbiakan ternak pada 1972.
BMT berjanji memberikan ganti rugi dengan nilai bervariasi dari Rp12 juta-Rp25 juta. Ternyata, tak ada satu ganti rugi sampai ke warga.
BMT memperluas wilayah hingga Kecamatan Maniangpajo (sekarang Kecamatan Gillireng) dengan masa kontrak 25 tahun. Lagi-lagi, tak ada ganti rugi ke masyarakat. Bahkan dalam proses terjadi intimidasi kepada warga.
Data PTPN XIV, luas lahan diklaim HGU BMT Keera saat itu 12.170 hektar. BMT ini diambilalih PTPN XIV, tanpa sepengetahuan warga, pemilik lahan sebenarnya.
Luas lahan masyarakat dikuasai PTPN XIV 7.934 hektar, di Desa Ciromani’e dan Desa Awo, Kecamatan Keera. Dari sekian tahun dikuasai PTPN XIV, hanya sebagian ditanami. Sisanya, padang ilalang, terbengkalai. Ironis, tak boleh dimasuki dan dikelola masyarakat.
Menyusul ada tuntutan warga, pada 23 April 2010, sebenarnya terbangun kesepakatan antara masyarakat dengan PTPN XIV. Pertama, PTPN IX segera menghentikan seluruh aktivitas perluasan dan penanaman wilayah konsesi PTPN Kabupaten Wajo.
Kedua, masyarakat boleh mengelola lahan yang dirampas PTPN IX Wajo tanpa syarat apapun. Ketiga, aparat kepolisian dan PTPN XIV tidak mengganggu dan menghalang-halangi masyarakat yang memasuki dan mengelola lahan sengketa.
Namun, kesepakatan ini selalu dilanggar PTPN. PTPN dibantu oknum kepolisian malah melarang dan mengintimidasi warga. Puluhan warga sempat diciduk Polres Wajo dengan tuduhan menganggu aktivitas perkebunan.
Ada lagi kesepakatan 3 April 2012. Lagi-lagi PTPN tak menunjukkan niat baik. Pelepasan lahan seluas sekitar 2.000 hektar tak ada realisasi. Pertemuan terakhir 30 April 2013, hasil tak berbeda jauh. Tak ada kemajuan. Karena selalu janji-janji palsu, pada 26 Juni 2014 warga menduduki lahan. Aksi berakhir kesepakatan dengan Wakil Bupati Wajo yang memberi akses warga berada di lahan sengketa. Kesepakatan terakhir 2 Juli 2014. Janji-janji semata.