,

Banjir, Kado Pahit untuk Aceh di Penghujung 2014

Banjir di penghujung Desember kembali sambangi Aceh, setelah sebelumnya terjadi pada awal November. Tingginya curah hujan dalam dua pekan terakhir menyebabkan banjir melanda tujuh kabupaten/kota dan 73 kecamatan yang terjadi sejak Selasa (22/12/2014). Diperkirakan, sekitar 120.966 warga harus mengungsi.

Banjir terparah terjadi di Kabupaten Aceh Timur, terutama di Kecamatan Peureulak dan Julok, yang yang menyebabkan jalan negara Banda Aceh – Medan tidak dapat dilalui. “Jumlah pengungsi mencapai 59.129 jiwa dari 277 desa dengan jumlah rumah yang terendam mencapai 25.773 rumah,” ucap Syahrizal, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Timur.

Di Kabupaten Aceh Utara, banjir juga merendam 20 kecamatan. Bahkan, narapida yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lhoksukon, terpaksa harus dievakuasi. “Para tahanan tersebut dipindahkan ke LP Lhokseumawe, LP Idi Rayeuk, dan rumah tahanan Polres Aceh Utara,” jelas Kapolres Aceh Utara, AKBP Gatot Sujono

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mengatakan, ketinggian air yang merendam tujuh kabupaten/kota di Aceh mencapai 50-400 centimeter. Tujuh wilayah tersebut adalah Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh Selatan, Pidie, Lhokseumawe, dan Banda Aceh.

“Lokasi banjir sulit dijangkau karena terbatasnya perahu karet dan kendaraan operasional serta luasnya wilayah yang terendam. Kebutuhan mendesak adalah perahu karet, makanan siap saji, selimut, tikar, pakaian, serta kebutuhan bayi dan anak,” sebut Sutopo.

Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Said Rasul menyebutkan, tingginya curah hujan di Aceh membuat status siaga banjir diberlakukan hingga Januari 2015.

Banjir yang mendera Aceh di penghujung Desember ini bagai kado pahit yang harus diterima masyarakat Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Banjir yang mendera Aceh di penghujung Desember ini bagai kado pahit yang harus diterima masyarakat Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Pembukaan hutan

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, banjir yang terjadi ini salah satu penyebabnya adalah berkurangnya luasan hutan akibat pembukaan untuk perkebunan, pertambangan, ditambah illegal logging.

M. Nur memberi contoh. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan disetujui pemerintah pusat di dalamnya telah mengurangi luas hutan Aceh dan mengabaikan keberadaan Kawasan Strategis Nasional. ”Walhi Aceh bersama sejumlah lembaga sipil lain telah mengajukan uji materi Qanun No 19 tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh ke Mahkamah Agung (MA).”

Menurut M. Nur, Peraturan Daerah (Perda) Aceh tersebut mengabaikan pengaturan wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN).

“RTRW tersebut telah mengurangi 145.982 hektar hutan Aceh. Hutan lindung dan konservasi telah diubah menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 79.179 hektar. Sementara, penunjukan kawasan hutan baru seluas 26.465 hektar,” ujarnya

Selain itu, RTRW Aceh juga mengabaikan kawasan hutan yang dikelola mukim yang merupakan hak adat masyarakat Aceh, “Padahal, wilayah masyarakat adat diakui dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam RTRW Aceh, hak masyarakat adat yang telah turun temurun menjaga dan mengelola hutan telah dihilangkan.”

Meskipun Qanun RTRW Aceh telah diberikan catatan oleh Kementerian Dalam Negeri, namun DPRA mengabaikan hal tersebut. “Hal ini akan memperparah kerusakan hutan Aceh karena banyak kawasan hutan yang diubah statusnya,” tegasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,