,

Batubara, Emas Hitam yang Sarat Permasalahan

Pertambangan batubara, mulai dari awal hingga akhir kegiatannya selalu menimbulkan problema. Tidak hanya persoalan izin, namun juga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan hingga yang terparah merenggut korban jiwa akibat tidak adanya reklamasi pasca-tambang. Cerita pahit ini terekam jelas di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.

Sumatera Selatan saat dipimpin Syahrial Oesman begitu bergema dengan slogan “Sumsel lumbung energi.” Hal itu dikatakannya saat pertama kali menjabat gubernur periode 2003-2008. Alasannya, Sumsel memiliki sumber daya alam (SDA) yang sedemikian besar, salah satunya batubara.

Potensi ini diperkirakan mencapai 18,13 miliar ton atau 60% dari cadangan batubara nasional dengan kandungan kalori antara 4800-5400 Kcal/kg. Cadangan tersebut baru dikelola PT. Bukit Asam dan PT. Bukit Kendi di Kabupaten Muara Enim. Sedangkan kandungan sebanyak 13,07 miliar ton belum dikelola sama sekali.

Ketika penadatanganan MoU PLTU Banjarsari, Kabupaten Lahat, 19 April 2004, Syahrial mengingatkan posisi strategis Sumsel sebagai lumbung energi nasional yang menurutnya sejalan dengan kebijakan nasional. Yaitu, secara bertahap, mengurangi penggunaan minyak bumi untuk pembangkitan tenaga listrik.

Upaya menjadikan Sumsel lumbung energi nasional terkesan berakhir setelah Syahrial Oesman gagal memimpin Sumsel untuk periode 2008-2013. Posisinya digantikan Alex Noerdin. Namun, benarkah demikian?

Ternyata tidak. Promosi Sumsel sebagai lumbung energi kadung diketahui investor, baik nasional maupun international, yang datang untuk melakukan eksplorasi batubara. Kondisi ini didukung oleh proyek MP3EI  (Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang dicanangkan pemerintah sejak 2011. Sumsel masuk koridor MP3EI untuk energi dan pangan.

Akibatnya, luasan Sumsel yang sekitar 8,7 hektar sekitar 5 juta hektarnya dialokasikan untuk perkebunan dan pertambangan batubara. Sikap Alex Noerdin, menurut Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, terhadap batubara tidak berbeda jauh dengan Syahrial Oesman. “Lima tahun lagi batubara tidak berharga, maka sumber daya batubara Sumsel harus segera dieksploitasi,” kata Alex Noerdin beberapa tahun lalu, yang dikutip Hadi.

Hingga awal 2014, luasan konsensi penambangan batubara di Sumsel mencapai 2,7 juta hektar. Sekitar 801.160 hektar berada di kawasan hutan, 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298 hektar di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862 hektar berada di areal penggunaan lain. Yang menguasai konsensi lahan tersebut 359 perusahaan. Sekitar 264 perusahaan pemegang IUP sudah beroperasi.

Kolam batubara di Lahat, Sumsel. Eksploitasi batubara diduga merupakan faktor pendorong alih fungsi kawasan hutan. Foto: Walhi Sumatera Selatan

Gebrakan pertama yang  dilakukan Alex Noerdin lakukan menjabat gubernur, tepatnya 2009, adalah memberikan izin untuk tambang batubara seluas 1,2 juta hektar. Selanjutnya, di 2010, memberi izin seluas 928.700 hektar; 2011 seluas 483.881 hektar; dan 2012-2013 sebesar 205.000 hektar.

Pada awalnya, persoalan eksplorasi batubara di Sumsel hanya sebatas keluhan masyarakat mengenai angkutan batubara yang mengganggu jalan umum. Karena, selain menimbulkan kerusakan jalan, kegiatan tersebut menyebabkan kemacetan, juga kecelakaan yang memakan korban jiwa.

Solusi yang diberikan Alex Noerdin berupa jalan khusus batubara yang dibangun PT. Servo antara Lahat-Tanjung Api-Api sepanjang 270 kilometer tidak berjalan mulus. Bahkan, truk-truk batubara itu menolak melintasi jalan khusus batubara antara Lahat-Prabumulih yang sudah dibangun PT. Servo dengan alasan tidak layak.

Terakhir, Walikota Prabumulih Ridho Yahya mengaku tidak dapat melakukan pembangunan di daerahnya karena terganggu aktivitas pengangkutan batubara. Pernyataan Ridho ini disampaikan saat bertemu dengan anggota DPRD Sumsel, Selasa (23/12/2014).

“Kita sudah tidak sanggup mengatasi truk barubara terus melintasi Prabumulih. Bahkan kita hanya bisa mengadu ke Tuhan agar truk tidak lagi melintas. Harapan kita DRD Sumsel menyampaikan ke pemerintah pusat agar masalah ini selesai,” katanya.

Selain transportasi, persoalan batubara di Sumsel juga mengancam keberadaan situs budaya dan gajah sumatera. Misalnya keberadaan megalitikum dan gajah di Kabupaten Lahat. “Akibat penambangan batubara di bagian hulu, tepatnya di dekat Bukit Telunjuk, air Sungai Milang menjadi keruh. Hujan maupun kemarau airnya keruh. Perusahaan yang menambang di sana PT. SCG (Sarana Cipta Gemilang),” kata Ramlan, seorang pawang di PLG Bukit Serelo Lahat.

Hal senada disampaikan Kristantina Indriastuti dari Balai Arkeologi Palembang. “Sampai saat ini, petambangan batubara memang belum menyentuh wilayah situs yang sudah ditemukan. Tapi, kita tetap harus hati-hati, sebab banyak wilayah yang belum dilakukan penggalian.”

Ancaman tersebut dikarenakan potensi batubara di Kabupaten Lahat bukan hanya berada di kawasan Merapi. Diduga, potensi batubara tersebut juga ada di wilayah Gumay, Kikim dan Pulau Pinang, yang hingga kini masih ditemukan berbagai situs megalitik dan peninggalan prasejarah lainnya.

Arca manusia memeluk gajah di halaman Sekolah SMPN 2 Merapi Barat, Lahat, sebagai simbol keharmonisan hidup manusia dengan satwa, terutama gajah. Foto: Rahmadi Rahmad

Marwan Mansyur, Wakil Bupati Lahat, saat menjabat Asisten I Kabupaten Lahat, Sabtu (23/02/2013) mengatakan, potensi batu bara di Lahat, selain di Kecamatan Merapi Barat,  terdapat juga di Merapi Timur, Kota Lahat, Pulau Pinang, Kikim Barat, Gumay Talang, serta Kikim Timur, yang potensinya sebesar 2,9 miliar ton.

Berdasarkan Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditemukan sekitar 201 perusahaan tambang di Sumatera Selatan yang terlibat beragam persoalan. Dari 201 perusahaan tersebut, 31 perusahaan batubara belum memiliki nomor pokok wajib pajak, dan 170 perusahaan belum clean dan clear, seperti izin dalam kawasan konservasi yang mencapai 9.300 hektar. Semua perusahaan tersebar di Kabupaten Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, Muara Enim dan Lahat.

Menyikapi temuan KPK, tekanan dari Walhi Sumsel dan beberapa organisasi peduli lingkungan hidup lainnya, Pemerintah Sumsel akhirnya mencabut 17 izin. “Berdasarkan data Dirjen Minerba Kementerian ESDM, 11 November 2014, di Babel hanya 8 izin yang dicabut, Sumsel 17 izin, sedangkan Jambi 184 izin,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel, Kamis (20/11/ 2014) lalu.

Mendapat protes dari pegiat lingkungan hidup tersebut, Kabupaten Musi Banyuasin yang banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan, akhirnya mencabut 22 izin. Terkait hal tersebut, Anwar Sadat, Ketua Forum Masyarakat Pemantau Batubara (For Batu) menuturkan selain ada upaya pengawasan dalam pelaksanaan pencabutan izin di lapangan, maka harus ada pula kebijakan berupa peraturan daerah (Perda) reklamasi lahan pasca-tambang di Sumatera Selatan.

Peta tumpang tindih konsesi pertambangan dengan kawasan lindung. Sumber: Walhi Sumsel

Bagaimana Kalimantan Timur? Provinsi ini merupakan daerah yang paling luas penambangan batubaranya. Dari luasan daratan sekitar 198.441,17 kilometer persegi, sekitar 7 juta hektarnya diperuntukan penambangan batubara.  Kalimantan Timur juga menjadi daerah yang paling besar mengekspor batubara di Indonesia, sekitar 120 juta ton per tahun.

Seperti halnya Sumatera Selatan, yang juga banyak terdapat penambangan batubara, Kalimantan Timur sebelum 1980-an, dikenal sebagai daerah pemasok kayu. Diperkirakan, sekitar 11 juta meter kubik berangkat ke luar negeri dari wilayah ini.

Hasil monitoring dan investigasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan, total penguasaan lahan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim), sekitar 7 juta hektar. Terdiri dari 1.451 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas 5.314.294,69 hektar, 67 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang menguasai lahan sekitar 1.624316,49 hektar, serta 5 kontrak karya dengan luas konsesi 29.201.34 hektar.

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim, menjelaskan begitu banyak dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batubara di Kalimantan Timur ini. Di antaranya, selain menyebabkan kerusakan hutan dan aneka hayatinya, juga memberikan dampak buruk bagi masyarakat.

Sejak 2008, banjir pun melanda Kalimantan Timur, khususnya Kota Samarinda. Satu-satunya kota di Indonesia yang ada aktivitas batubara tersebut, mengeluarkan banyak biaya buat mengatasi dampak banjir. Periode 2008-2010, biaya penanggulangan dampak banjir mencapai  Rp 107,9 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp 602 miliar periode 2011-2013. Angka ini diluar biaya rehabilitasi kerusakan jalan umum akibat pengangkutan batubara yang mencapai Rp 37,6 miliar.

Hingga saat ini, sekitar 150 lubang bekas tambang batubara yang tidak direklamasi. Lubang tersebut, luasnya rata-rata mencapai satu hektar dengan kedalaman lebih dari 50 meter.

Kawasan hutan di Kalimantan Timur yang tergerus tambang batubara. Foto: Hendar

Sejak tahun 2011-2014, sudah ada 9 anak tewas tenggelam di lubang tambang batubara yang tidak ditutup. Parahnya, kasus meninggalnya bocah tersebut tidak pernah sampai keranah hukum apalagi hingga ke pengadilan. Kasus tersebut diselesaikan dengan pemberian santunan oleh perusahaan kepada keluarga korban yang besarnya bervariasi antara Rp100-120 juta. Kemudian kasusnya dinyatakan selesai. Korban terakhir M Raihan Saputra (10), tewas di lubang bekas tambang. Lubang tambang itu diduga milik perusahaan, PT. Graha Benua Etam (GBE).

Koordinasi dan Supervisi (Korsup) mineral dan batubara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur, selama 2014, memberi harapan soal penataan batubara di provinsi tersebut. Sejumlah rekomendasi dikeluarkan KPK untuk pemerintah daerah di Kalimantan yang ternyata harapan tersebut sebatas harapan saja.

Dari data Dirjen Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Korsup KPK hingga Mei 2014 menunjukkan, ada 124 pemegang izin pertambangan di lima provinsi di Kalimantan yang masih beroperasi di kawasan konservasi.

Disebutkan di Kalimantan Timur tercatat 62 pemegang izin yang berada di kawasan konservasi, Kalimantan Barat terdapat 13 pemegang izin yang menggunakan kawasan konservasi untuk kegiatan non-kehutanan dan 125 pemegang izin di kawasan lindung. Kalimantan Selatan sekitar 30 pemegang izin, dan di Kalimanyan Tengah terdapat 19 pemegang izin.

Dari Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara pada April 2014, semua izin tersebut, hampir 50 persen IUP Minerba belum clear and clean (CnC). Tepatnya, pemerintah daerah di Kalimantan dihadapkan dengan status non-clear and clear-nya IUP pertambangan sebanyak 1.518 IUP dari total 3.836 IUP.  Status non-clear and clean terbanyak di Kalimantan Timur.

Meskipun KPK memberikan batas waktu selama enam bulan kepada pemerintah daerah untuk memaksa pemegang IUP agar mengurus status IUP, ternyata respons pemerintah daerah di Kalimantan sangat lamban.

Indikasinya, hingga Oktober 2014 Kalimantan Timur tidak meningkatkan status CnC terhadap perusahaan tambang batubara. Di Kalimantan, hanya 21 IUP yang berstatus CnC dari 195 IUP yang diusulkan oleh pemerintah Kalimantan Barat.

Batubara diangkut melalui jalur Sungai Mahakam yang merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Samarinda. Foto: Yutinus S. Hardjanto

Bagaimana sikap Komisi Pemberantasan Korupsi? Johan Budi SP, Deputi Pencegahan KPK, saat dihubungi di acara GreenTalk (23/12/2014), kerja sama Green Radio dengan Mongabay, menuturkan KPK telah melakukan koordinasi dan supervisi terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di 12 provinsi tahun 2014 ini. Provinsi tersebut adalah Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.

Menurut Johan, korsup dilakukan sebagai upaya terciptanya tata kelola pertambangan mineral dan batubara yang baik. Persoalan yang melatari dilakukannya korsup adalah pengembangan data dan informasi minerba saat ini masih parsial, belum diterbitkannya semua aturan UU No 4 tahun 2009, renegosiasi kontrak 34 KK dan 78 PKP2B yang belum terlaksana, hingga kerugian negara akibat tidak dibayarkannya kewajiban keuangan karena sanksi yang tidak maksimal terhadap pelaku usaha.

Peksanaan yang berlangsung pada Februari hingga Juni 2014 tersebut dilakukan dengan menggandeng 12 provinsi terkait serta Kementerian ESD, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Menen PAN & RB, Kementerian Perindustrian, BPK, BPN, dan Deputi Perekonomian BPKP. “Untuk 2015 nanti, kegiatan korsup akan dilakukan di beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki potensi pertambangan mineral dan batubara. Namun, action plan 2014 tetap dilakukan.”

Hasil korsup di 12 provinsi tersebut, menurut Johan Budi, menunjukkan ada temuan izin usaha pertambangan yang bermasalah serta adanya perusahaan yang beroperasi tidak memiliki NPWP. “Negara mengalami kerugian 13 triliun akibat tunggakan pembayaran ratusan perusahaan di 12 provinsi tersebut. Mereka sudah diberi batasan waktu hingga Oktober 2014.”

Hal penting lain dari temuan korsup tersebut adalah belum adanya peta baku pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah, BPN, maupun kementerian ESDM. Sehingga, harus dilakukan kajian bersama yang melibatkan instansi lain.

Terkait hasil korsup di Kalimantan yang belum dilaksanakan maksimal di daerah, Johan mengatakan bahwa korsup terus berjalan karena action plan yang dilakukan KPK tidak hanya selesai dalam waktu satu atau dua bulan saja. Monitoring terus dilakukan. “Namun demikian, masyarakat ataupun para pegiat lingkungan dipersilakan melaporkan ke KPK andai ada temuan baru,” ujar Johan.

Gerakan Kukar Menggugar sebagai bentuk protes terhadap lahan batubara yang mencaplok wilayah pertanian. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Sepintas, Pemerintah Kalimantan Timur cukup peduli dengan persoalan tambang yang sudah merusak daerahnya. Pada 2013 lalu, mereka mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang reklamasi dan pasca-tambang. Tapi hingga kini peraturan daerah tersebut hanya di atas kertas saja.

Salah satu alasan mengapa perda tersebut belum berjalan adalah karena belum terbentuknya Komisi Pengawasan Reklamasi dan Pascatambang Daerah. Seperti yang diamanatkan Perda No 8 Tahun 2013.

Pembentukan komisi itu sendiri menunggu Peraturan Gubernur Kalimantan Timur tentang komisi tersebut. “Bulan November 2014, rancangan diserahkan kepada gubernur untuk dikaji dan Pergub akan diterbitkan paling lambat awal 2015,” kata Muhammad Nasir, anggota tim penyusun pergub yang juga penggiat LSM Prakarsa Borneo.

Menurut Nasir, jika Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca-tambang Daerah terbentuk, ini yang pertama di Indonesia. Karena sebelumnya, tidak ada di daerah lain. Dia pun memberikan jaminan komisi yang terbentuk itu merupakan tim yang independen sehingga tidak bisa diintervensi pihak manapun.

Komisi ini terdiri tujuh orang. Mereka akan menjabat selama dua tahun dan hanya boleh menjabat selama dua periode. Tugas utamanya adalah melaksanakan pengawasan terhadap seluruh kegiatan reklamasi dan pasca-tambang yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Misalnya memverifikasi pengawasan dokumen, investigasi, maupun pelaporan jika ditemukan indikasi pidana.

Akankah persoalan batubara terus begini? Semoga, di tahun 2015, semua lubang bekas tambang akan direklamasi dan hutan yang gundul dihijaukan lagi. Sehingga, peristiwa pilu tewasnya anak di lubang tambang tidak akan terjadi lagi.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,