, ,

Catatan Akhir Tahun: Sudah Terlalu Lama Kita Memunggungi Asap Lahan Gambut

Persoalan asap yang berasal dari pembakaran lahan dan hutan, bukan hanya sekali ini saja menghampiri Indonesia. Lebih dari 17 tahun asap silih datang dan hilang pada saat musim kemarau di berbagai provinsi Indonesia. Hingga berakhir masa jabatannya, lima orang Presiden Republik Indonesia hingga saat ini belum ada yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan asap. Apakah pemerintahan baru Presiden Jokowi mampu mengatasi persoalan asap secara paripurna?

Sumber dari asap sudah sama-sama diketahui bersama, yaitu akibat kebakaran lahan terutama yang berasal dari lahan gambut yang dikonversi menjadi area monokultur seperti yang diperuntukkan untuk alokasi area hutan tanaman industri pemasok bahan baku pulp dan pembukaan sawit skala besar. Perubahan dari ekosistem basah serasah organik menjadi ekosistem kering akibat perlakuan drainase pengeringan menjadi sebab munculnya fenomena api.

Lebih jauh ke belakang, blunder pembukaan lahan dan hutan gambut benang merahnya dapat ditarik hingga 20 tahun kebelakang saat area gambut sejuta hektar di Kalteng dideklarasikan sebagai area pertanian mega rice project. Tidak lama dari situ, pada tahun 1996-97 Kalimantan Tengah dan sebagian wilayah Kalimantan lainnya mengalami kebakaran terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Republik. Kawasan ini pun berubah menjadi area yang tidak produktif.

Apa yang terjadi saat ini adalah kita mewarisi lahan gambut yang telah terlanjur rusak. Sebagai suatu bangsa, kita telah terlalu sembrono dan terburu-buru untuk membuka lahan gambut tanpa adanya pengetahuan, teknologi dan solusi mitigasi bencana jika dampak terjadi. Pemeliharaan lahan gambut yang terlanjur rusak saat ini memerlukan campur tangan manusia, lewat sebuah proses yang telaten, dengan terus menerus mengatur level muka air di lahan gambut yang telah terlanjur dikeringkan sembari merehabilitasi gambut dengan berbagai vegetasi yang cocok. Tanpa campur tangan manusia terampil, lahan gambut akan terbakar kembali.

Bukannya belajar dari kasus PLG Kalteng, gambut sebagai sebuah ekosistem tetap saja dieksploitasi. Riau sebagai provinsi yang paling besar kehilangan hutan (termasuk gambutnya), saat ini menjadi lokasi titik api terbanyak selama bertahun-tahun. Sangat ironis, bukannya bertambah baik dalam pengelolaan lahan, maka berdasarkan data titik api satelit NASA, titik api tahun 2014 di Sumatera lebih banyak daripada yang terjadi di tahun 2013. Mengapa hal demikian bisa terus terjadi?

Kebun warga di Desa Rasau Jaya II, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang dilalap api, awal Agustus 2014. Kemarau datang sejak awal Juli dan lahan gambut di Kalbarpun mulai terbakar. Kabut asappun mulai menyelimuti daerah sekitar. Foto: Sapariah Saturi

Titik api yang terus terjadi, merupakan cermin dari buruknya praktik tatakelola lahan yang dilakukan selama ini. Praktik pengelolaan lahan tidak dapat dipisahkan dari bagaimana suatu rejim melakukan kebijakan terhadap ruang. Tata Ruang yang ditempatkan dalam sudut pandang ekonomi kapitalistik akan menyebabkan suatu area kawasan dilihat dari manfaat untung rugi, alih-alih dari manfaat sosial budaya dan keseimbangan ekosistem. Cara termudah adalah melepaskan suatu area dengan memberikan lisensi kepada pihak tertentu. Di tingkat daerah, Pemda khususnya Bupati amat sangat mudah “mengobral ijin” pelepasan lahan karena dua faktor, yaitu mengejar pertambahan manfaat ekonomi asli daerah dan imbal balik kompensasi biaya politik.

Di sisi lain, pengukuhan kawasan hutan dan penatabatasan area yang tidak usai, -dimana baru hanya 12 persen kawasan hutan yang telah selesai dikukuhkan wilayahnya, telah menimbulkan polemik terhadap persoalan status lahan. Proses ini membuang-buang waktu dan menyebabkan energi pengambil keputusan dihabiskan hanya untuk menuntut revisi perubahan tata ruang wilayah di tingkat wilayah provinsi, bukannya diarahkan kepada kontrol dan pengamanan wilayah.

Apakah akan muncul secercah cahaya di ujung lorong?

Imaji yang tampak dari citra satelit resolusi tinggi MODI NASA pada tanggal 28 Februari 2014. memperlihatkan kabut asap yang terdeteksi akibat dampak asap kebakaran. Credit: NASA image courtesy Jeff Schmaltz, MODIS Rapid Response Team

Meskipun mantan Presiden SBY diakhir masa jabatannya telah menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 71/2004 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut, aturan ini dianggap belum menjadi solusi final pengelolaan lahan gambut di Indonesia. Berlarut-larutnya penyusunan rancangan untuk PP ini mengindikasikan bahwa konflik kepentingan di atas lahan gambut sangat tinggi. Gambut masih jadi lahan potensial untuk pengembangan modal dari usaha ekstraktif seperti perkebunaan dan HTI. Sebaliknya kalangan yang jeri dengan dampak kebakaran lahan menyatakan bahwa pengelolaan gambut harusnya digagas lewat upaya perlindungan total dan bukan semangat pemanfaatan lagi.

Kalangan akademisi dan LSM menyatakan bahwa lahan gambut tidak bisa dimanfaatkan selama proses audit ekologis lahan gambut selesai sesuai dengan semangat  UU Lingkungan Hidup No. 32/2009.  Mereka beranggapan proses kotak katik hal-hal teknis seperti kedalaman gambut yang diperbolehkan untuk dieksploitasi hanya akan meninggalkan proses transaksional antara kalangan birokrasi dan pejabat pemberi lisensi dengan perusahaan.

Sebaliknya, pihak pengusaha menyatakan bahwa opportunity lost adalah keniscayaan saat pemerintah ragu dalam membuka lahan gambut. Mereka beranggapan sudah investasi sudah terlanjur banyak dibenamkan di lahan gambut dan terlalu banyak orang yang hidupnya tergantung kepada industrialisasi lahan gambut.

Pemerintah sendiri, tidak menjadikan PP Gambut sebagai the final decision tata kelola lahan gambut, yaitu dengan tetap menyisakan banyak isu teknis untuk diselesaikan di tataran peraturan kementerian (Permen). Hal ini diamini oleh birokrat dari kalangan pemerintah sendiri yang menyatakan PP Gambut bukanlah satu-satunya “obat manjur”, namun lebih ditujukan untuk memberi landasan ideal bagi pengelolaan agar lahan gambut. Sebagian kalangan menyebut bahwa tindakan kompromi dan transaksional akomodatif akan terjadi dalam penyusunan Permen turunan yang menurunkan esensi perlindungan gambut.

Beberapa kelemahan fundamental dari PP ini adalah masalah ketegasan dan masih banyaknya celah untuk penindakan pelaku perusakan gambut, termasuk persoalan pembenanan ganti rugi dan tanggung jawab jika terjadi perusakan gambut, serta aturan pasal peralihan yang mengakomodasi operasi ijin lama perusahaan masih tetap berlaku sebelum PP diterbitkan.

Kabut asap di Singapura, menutupi gedung-gedung tinggi. Indeks polutan di Singapura mencapai indeks tertinggi. Foto: © Ferina Natasya / Greenpeace

Sebaliknya sikap yang lebih maju datang dari tetangga kita yang kaya, negara Singapura, yang setiap tahunnya selalu terdampak asap kebakaran lahan gambut pesisir timur Sumatera, -bahkan yang terhebat terjadi pada tahun 2013. Singapura telah mengeluarkan Undang-Undang Pencemaran Kabut Lintas Batas (Transboundary Haze Bill) yang dirilis pertengahan tahun 2014. Dengan doktrin ektra teritorial ini, hal terpenting dari UU ini yaitu Singapura dapat menyeret pidana dan perdata perusahaan yang menyebabkan pembakaran hutan dan lahan gambut.

Namun, sebagus-bagusnya aturan yang dibuat oleh negeri jiran banyak kalangan yang masih meragukan keefektifan dari UU ini. Bukti-bukti yang diperlukan untuk menyeret pelaku tidak akan didapat secara mudah karena adanya aturan legal yang berbeda diantara negara. Semisal jika Singapura mampu membuktikan sebuah area konsesi terbakar di Riau, apakah pihak Indonesia akan mengeluarkan (atau memiliki) evidence yang sama yang diakui oleh hukum berlaku di negara masing-masing.

Hal lain yang turut mendorong skeptisme, salah satunya karena Indonesia sendiri masih bersifat ragu untuk membubuhkan tandatangan pada ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas), sejak 10 tahun yang lalu.

Dengan menandatangani persetujuan ini, maka negara wajib hadir dengan berbagai indikator komitmen penanggulangan bencana yang diikuti dengan perangkat hukum yang dituangkan dalam perjanjian internasional. Perjanjian ini akan mengatur segenap pendistribusian tanggung jawab penanganan pencemaran kabut asap di tingkat regional Asia Tenggara. Tampaknya, sebagai negara terluas dengan locus delicti tempat sumber asap, Indonesia masih terlihat enggan untuk melangkah maju.

Argumentasi pemerintah, adalah peraturan dalam negeri Indonesia sudah cukup untuk mencegah sumber kebakaran yang timbul. Demikian pula, Indonesia menganggap diri cukup memiliki rambu-rambu penegakan hukum yang telah diatur oleh Undang-Undang nasional. Apakah dalam hal ini, pemerintah sedang bermain dalam praktik politik non interference yang jamak dilakukan antar negara dalam lingkungan ASEAN?

Namun jika itu argumennya, maka sampai saat ini fakta menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam pencegahan asap berulang masihlah sangat lemah. Pesisir timur Sumatera, seperti Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa okupasi lahan masih terus terjadi dengan mengatasnamakan landless community yang banyak dari praktiknya dibekingi oleh oknum aparat, cukong, maupun pejabat pemerintah sendiri.

Lahan yang diduduki inilah yang menjadi sumber-sumber titik api baru karena konsep slash and burn merupakan cara termudah untuk membersihkan lahan.

Sebaliknya, bagi para pengusaha nakal, para okupan ini dimanfaatkan sebagai dalih untuk menutupi kebobrokan ketidakmampuan mereka dalam menjaga area kerjanya. Konstelasi rumit hubungan kongkalikong terjadi diantara elit; termasuk aparat, pejabat, elit masyarakat dan oknum perusahaan.

Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau (24/6/13). Foto: Zamzami

Jika hal ini didiamkan maka lahan gambut di Riau (dan wilayah manapun juga) akan menjadi lahan tidak bertuan, dimana tidak ada lagi pihak yang akan bertanggungjawab dalam mengelolanya. Alih-alih dikelola dengan baik, lahan hanya menjadi komoditas untuk mencari keuntungan ekonomis jangka pendek spekulatif dan praktik rent taking. Jika ini dididiamkan, hasil akhir dapat diprediksi dengan mudah. Lahan gambut akan terlantar, tidak produktif dan akan menjadi sumber bencana ekologis berulang.

Audit ekologis lingkungan di lahan gambut dan penegakan hukumnya merupakan syarat mutlak bagi tercapainya pengelolaan lahan agar tidak lagi ada kebakaran hutan dari lahan gambut.

Ketika Presiden Jokowi datang ke Meranti, Riau (27/11/2014) Presiden telah menunjukkan simbol-simbol kepemimpinan dengan turun tangan langsung mengambil garis komando untuk menyelesaikan persoalan asap. Saat meninjau kanal gambut yang dikelola masyarakat desa, Presiden menyiratkan perlindungan gambut akan dilakukan secara menyeluruh, dan tidak segan untuk menyeret pelaku kerusakan/pembakaran lahan dan menutup ijin konsesi perusahaan yang dianggap tidak mampu melakukan perlindungan terhadap ekosistem gambut.

Inpres Moratorium tak berjalan dengan sempurna,. Deforestasi akibat konversi lahan tetap berjalan . Foto: Lili Rambe

Presiden pun tidak menutup mata terhadap berbagai proses praktik adaptasi yang telah berhasil dilakukan oleh masyarakat lokal, -dan jika perlu akan bertindak pro rakyat dengan memberikan sebagian area konsesi untuk dikelola masyarakat lokal. Satu harapan baru, muncul saat Presiden mengindikasikan akan melanjutkan moratorium hutan yang Inpresnya akan berakhir pada bulan Mei 2015.

Tentunya pernyataan dan kepemimpinan Presiden tidak akan berbuah tanpa adanya sikap tegas dan serius serupa yang dicerminkan oleh para bawahannya termasuk Kementerian terkait, para gubernur hingga bupati.  Seperti yang selalu dikatakan oleh Presiden, sekarang saatnya bekerja dan bertindak, karena konsep dan gagasan telah ada.

Apakah pemerintah akan mampu menjawab masalah persoalan asap lahan gambut? Jawabannya akan kita lihat bersama.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,