,

Saat Perempuan Bajo Melestarikan Mangrove untuk Cegah “Musim Janda”

Ada yang terlihat berbeda saat para perempuan Bajo di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo sibuk beraktifitas. Siang itu mereka mulai mencari bibit mangrove, melakukan penyemaian, penanaman, hingga menjaga dan merawat mangrove.

“Dalam sehari tiap orang, ibu-ibu di sini bisa mencari bibit sebanyak 2000, baik itu ceriops dan rhizopora. Bibit tersebut termasuk bibit yang bagus,” ujar Ani, salah seorang ibu rumah tangga warga Torosiaje Jaya, saat ditemui awal Desember lalu.

Menurut Ani pada bulan Oktober yang lalu dia bersama perempuan Bajo dari tiga desa serumpun yaitu Torosiaje, Bumi Bahari, dan Torosiaje Jaya ikut terlibat menanam mangrove sebanyak 1200 bibit di Desa Torosiaje secara swadaya.

Ada alasan mengapa perempuan Bajo di Torosiaje melestarikan mangrove yang tak terlepas dari kehidupan mereka. Orang Bajo hidup di atas laut yang dihadapkan dengan hembusan angin timur dan angin barat serta ombak yang kencang hingga menelan korban.

Dari Juni sampai Agustus musim angin timur berhembus, sedangkan angin barat meniup kencang dibulan Oktober, November dan Desember. Dari kedua musim tersebut ada kejadian-kejadian yang merengut nyawa suami dari perempuan Bajo ketika turun melaut. Orang-orang di luar Torosiaje menyebut musim tersebut dengan “musim janda”.

Menanam mangrove bagi mereka merupakan solusi agar suami tak jauh-jauh turun melaut untuk memenuhi kehidupan mereka. Selain itu, perempuan bisa membantu pendapatan para suami dengan cara memanfaatkan ekosistem di sekitar mangrove. Seperti mencari kepiting bakau, teripang, ikan, yang bisa menunjang hidup ketika dua musim tersebut mengancam.

Antropolog Francis, Francois-Robert Zacot dalam bukunya Peuple nomade de la mer: Les Badjos d’Indonesie (Orang Bajo, Suku Pengembara Laut) menceritakan penelitiannya di Torosiaje. Orang Bajo mulai mendirikan rumah di atas laut Teluk Tomini, tepatnya Kecamatan Popayato, sejak tahun 1901. Mereka pada awalnya adalah sekumpulan pengembara laut yang tinggal di atas perahu atau soppe. Mereka menggunakan pohon mangrove untuk mereka jadikan kayu bakar.

Menurut Umar Pasandre, Tokoh masyarakat Bajo yang juga Ketua Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) Paddakauang, dulu orang Bajo dikenal sebagai perusak mangrove, saat itu ibu-ibu rumah tangga memanfaatkan mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan sebagai bahan bangunan untuk mendirikan rumah di atas laut.

“Tapi itu dulu, masyarakat belum memahami manfaat mangrove. Dan saat ini kami menyusun peraturan desa yang melibatkan delapan puluh persen perempuan, melestarikan mangrove,” tutur Umar.

Dan saat ini, di 2014 KSL Padakkauang merupakan salah satu penerima dan hibah Mangrove for the Future, untuk merehabilitasi mangrove serta meningkatkan usaha ekonomi mikro dengan menggunakan metode bio-rights.

Namun tantangan kelestarian hutan mangrove masih di depan mata. Cobalah berkunjung ke Pohuwato, Gorontalo. Kemudian berpergian menuju Torosiaje yang menjadi desa wisata andalan Pohuwato. Matahari terasa amat membakar kulit, gersang dan panas. Dan saat melewati Kecamatan Paguat hingga tiba di Torosiaje, kita akan disugukan dengan panorama tambak.

Bahkan Cagar Alam Tanjung Panjang di Pohuwato, yang diditetapkan oleh keputusan Menhut No 573/Kpts-II/1995 pada tanggal 30 oktober 1995, telah dikonversi menjadi tambak.

Seperti dikutip dari degorontalo.co, Polemik Hutan Mangrove Tanjung Panjang, Instruksi Bupati Pohuwato Tidak Mempan (30 Agustus 2014), memberitakan pernyataan Bupati Pohuwato, Syarif Mbuinga, di depan rapat kerja yang dihadiri Kapolda Gorontalo, Kapolres Pohuwato, Wakil Bupati, Ketua Dekab, Pokja Mangrove, SKPD, Camat, LSM, BKSDA serta masyarakat, dia menyatakan sejak bahwa tahun 2012 telah mengeluarkan intsruksi terkait dengan pencegahan kerusakan mangrove namun intsruksi tersebut tidak kunjung efektif.

Bahkan Pemerintah daerah Pohuwato berdasarkan inisiasi DPRD telah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil-kecil dan juga melahirkan Perda 13 tentang pengelolaan ekosistem mangrove yang telah ditetapkan pada tahun 2013. Dan saat ini perda tersebut masih disosialisasikan.

Hutan mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang, Pahuwato, Gorontalo. Terdapat fenomena unik dimana dibawah hamparan mangrove ini dilaporkan ditemukan lapisan gambut. Foto: Rahman Dako

Tolak Tambak, Pilih Mangrove untuk Kembangkan Pangan Alternatif

Selain musim janda yang menjadi ancaman, Torosiaje serumpun juga diperhadapkan dengan alihfungsi lahan mangrove menjadi tambak yang masuk secara besar-besaran di wilayah Pohuwato. Hampir semua lahan tambak semuanya dikuasai oleh suku Bugis, yang memiliki keahlian mengelola tambak.

Dengan membuat keramba apung, warga Torosiaje serumpun menolak hutan bakau dijadikan tambak. Melalui keramba tersebut keuntungan tak hanya dimiliki oleh segelintir orang tapi secara kelompok, dan bagi mereka merusak mangrove bukan alasan untuk memenuhi ekonomi.

Bahkan lokasi jaring apung di dekatkan dengan hutan mangrove, karena buah mangrove yang jatuh, nantinya akan menjadi pakan bagi ikan yang dipelihara dalam keramba apung, setelah buah mangrove dihancurkan oleh kepiting. Dan itu secara alami menjadi siklus rantai makanan.

“Yang terlibat dalam pembuatan jaring apung, bukan hanya kaum lelaki saja, tapi perempuan juga ikut membantu para suami mereka,” kata Umar.

Tak hanya ikut terlibat dalam merehabiliatasi mangrove, para perempuan Torosiaje serumpun juga memanfaatkan mangrove sebagai bahan pangan. Buah mangrove diubah menjadi tepung, selei, dodol, keripik, stik lindur dan pia.

Melalui Pusat Kajian Ekologi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal Biologi Universitas Negeri Gorontalo (PKEPBKL UNG), kaum perempuan dilatih mengolah buah mangrove untuk bahan pangan. “Kami hanya melatih dan mengarahkan, setelah itu tergantung kreativitas mereka” kata Dewi K Baderan, penanggung jawab pengolahan produk mangrove PKEPBKL UNG.

Bagi warga Torosiaje serumpun, yang merupakan daerah pesisir dan perbatasan. Warga tak harus pergi jauh untuk mencari bahan pangan, karena mangrove bisa dimanfaatkan untuk memenuhi perut. Dan selama ini mangrove dikenal hanya untuk mencegah abrasi dan ombak serta angin kencang.

Satu hal yang dirasa masih amat merumitkan dalam proses pengembangan pengolahan pangan berbasis mangrove bagi para ibu adalah hingga saat ini masyarakat masih tetap dibebani dengan ijin produk untuk setiap item. Ijin Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) yang dikeluarkan per item dirasa cukup dirasakan memberatkan ketika pendapatan yang diperoleh oleh para ibu rumah tangga dirasakan tidak terlalu banyak.

Semoga upaya dari para ibu untuk turut melestarikan mangrove harapan terakhir Torosiaje dapat terwujud lewat kerja keras dan perjuangan, untuk kelestarian ekosistem, menunjang peningkatan ekonomi dan keutuhan keluarga mereka.

Referensi:

Peuple nomade de la mer: Les Badjos d’Indonesie (Orang Bajo, Suku Pengembara Laut) oleh Francis, Francois-Robert Zacot, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia

———————

* Tulisan ini adalah Juara Pertama Lomba Penulisan untuk umum yang diadakan oleh Mongabay Indonesia pada periode Nov-Des 2014. Tanpa mengurangi makna, tulisan ini telah diedit seperlunya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,