Komitmen Baru Iklim COP20 Peru Agar Tidak Perberat Penanganan Perubahan Iklim Indonesia

Konferensi Perubahan Iklim Tahunan ke-20 dari Badan PBB (COP20 United Nations Framework Convention on Climate Change / UNFCCC) di Kota Lima, Peru yang berakhir pada Minggu (14/12/2014) menghasilkan keputusan yang dinamakan Lima Call for Climate Action yang disepakati secara aklamasi oleh seluruh Negara Pihak Anggota UNFCCC.

Dalam Lima Call for Climate Action disepakati semua negara harus turut aktif melakukan upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim di masa depan, dengan membentuk satu keputusan sebagai instrumen legal mengikat baru sebagai pengganti Protokol Kyoto, yang akan diputuskan pada Konferensi Perubahan Iklim pada 2015 (COP21) di Perancis, Paris.

Sebagai bagian dari komitmen untuk ikut turut aktif menangani perubahan iklim, disepakati agar semua negara, baik negara maju, negara berkembang maupun negara ketiga anggota UNFCCC untuk memberikan komitmen dalam bentuk intended nationally determined contributions (INDCs) sesuai kondisi dan kemampuan negara masing-masing, serta harus disampaikan sebelum berlangsungnya COP21 di Paris pada akhir 2015.

Dalam komitmen INDCs tersebut, setiap negara harus menyebutkan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai bentuk mitigasi dan adaptasi untuk mengendalikan konsentrasi emisi GRK gobal yang akan berdampak pada meningkatnya temperatur rata-rata dunia. Komitmen global penurunan emisi GRK dalam INDCs dari seluruh negara ini harus sesuai dengan rekomendasi dari badan ilmiah perubahan iklim dibawah PBB yaitu IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk menghindari kenaikan temperatur global diatas 2 derajat sebagai batas aman menghindari bencana ekstrim global akibat perubahan iklim.

Menyikapi tentang INDCs sebagai bagian dari keputusan Lima Call for Climate Action,  Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) menyatakan hasil dari pertemuan di Lima memerlukan tindak lanjut di dalam negeri.

“Penyiapan kontribusi Indonesia dalam bentuk INDCs harus dipastikan tidak menjadi beban tambahan dalam pelaksanaan pembangunan nasional,” kata Rachmat dalam jumpa pers hasil COP20 di Kantor DNPI, Jakarta pada Selasa (23/12/2014).

Dia mengatakan INDCs yang akan disampaikan Indonesia harus terfokus pada kebutuhan pembangunan nasional Indonesia dan menjadi peluang agar pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan atau pembangunan rendah emisi / pembangunan bersih.

“Dengan fokus pembangunan pada sektor maritim, ketahanan energi dan ketahanan pangan. Sudah selaiknya Indonesia dapat memanfaatkan INDCs sebagai peluang untuk memastikan berjalannya proses pembangunan nasional yang sekaligus akan memberikan kontribusi pada upaya bersama untuk mencegah kehancuran dan bencana katastrofik akibat terjadinya perubahan iklim,” kata mantan Menteri Lingkungan Hidup itu.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Pelaksana Pelangi Indonesia, Fitrian Ardiansyah mengatakan  INDCs diharapkan menjadi sistem dengan pendekatan bottom-up untuk pengurangan emisi global yang memperhitungkan prioritas, keadaan dan kemampuan nasional dari masing-masing negara.

“Tentunya penggabungan seluruh INDCs diharapkan bisa mencapai suatu nilai pengurangan emisi yang akan membatasi naiknya suhu global rata-rata di bawah atau setidaknya sampai dengan 2 derajat celcius,” katanya.

Review sebelum COP21 di Paris tahun depan menjadi penting untuk melihat apakah INDCs yang dicanangkan berbagai negara sudah cukup untuk membatasi kenaikan suhu untuk tidak lebih dari 2 derajat. “Menurut IPCC, setidaknya target yang dicanangkan oleh berbagai negara sejak Cancun (COP 16 Cancun Meksiko 2010) belum cukup untuk membatasi kenaikan suhu lebih dari 2 derajat,” katanya.

Fitrian menjelaskan komitmen penurunan emisi GRK yang telah disebutkan Indonesia sebelumnya yaitu 26 persen dan atau 41 persen dengan bantuan internasional, bisa dijadikan dasar untuk komitmen INDCs, dengan memperhatikan hasil analisis sektor pembangunan Indonesia terkini.

“Namun, ada review yang perlu dilakukan dan kemungkinan penyesuaian terutama memperhatikan kontribusi agregat di tingkat global, projeksi emisi Indonesia sendiri dan projeksi emisi dari berbagai sektor,” kata mantan Direktur Iklim dan Energi WWF Indonesia itu.

Menurutnya,  Indonesia sebagai negara berkembang besar dan sekaligus kontributor emisi GRK, bisa menunjukkan bahwa upaya pengurangan emisi bisa dilakukan tanpa mengorbankan ekonomi dan kehidupan masyarakat. “Bila contoh-contoh nyata yang ada ditampilkan, Indonesia bisa jadi jembatan negosiasi yang mumpuni. Indonesia, dengan negara tropis lainnya, juga bisa terus menyuarakan pentingnya dimasukkannya upaya pengurangan emisi dari pengelolaan hutan dan lahan,” tambah Fitrian.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,