Revolusi Jagad Biru Rahayu untuk Kelestarian Lingkungan dan Kehutanan Indonesia

Eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan telah mengakibatkan tragedi bencana lingkungan dan kemanusiaan yang menyedihkan. Sebagai kenyataan menyakitkan yang tak terbantahkan namun selalu berulang. Sumber daya alam dalam pembangunan nasional masih dikelola sebagai warisan nenek moyang dengan konsep resource based development, sehingga harus diubah menjadi knowledge based development.

Ekonomi merah yang berorientasi nilai ekonomi semata, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kehidupan yang fatal. Ekonomi hijau yang berorientasi pada nilai lingkungan, telah memproduksi produk yang baik bagi tubuh dan lingkungan meskipun mahal, karena produksi intensif yang murah dianggap berbahaya. Padahal ternyata disamping mahal, juga berbahaya.

Konsep ekonomi biru dikembangkan oleh Gunter Pauli dari ZERI Foundation (2009), menawarkan efisiensi investasi, peningkatan inovasi, peningkatan dana, penciptaan lapangan kerja, pembangunan modal sosial, stimulasi kewirausahaan. Dilakukan dengan pemanfaatan sampah dan pemberdayaan sumber daya terbengkelai, menjadi makanan, energi dan pekerjaan, sehingga mengubah kemiskinan menjadi pembangunan berkelanjutan, dan kelangkaan menjadi ketersediaan. Ekonomi Biru telah memberikan kesempatan kreatif dan inovatif baru yang berkelanjutan, bersih dan bermartabat.

Planet biru kita terdiri atas samudera biru seluas 72%, dan langit biru lebih dari 95%. Mestinya, konsep ini harus juga didukung oleh Jagad bumi biru rahayu, sebuah “bumi hijau asri” yang mendukung terciptanya langit dan laut biru.

Bumi telah memberi layanan lingkungan dan kebutuhan hidup kepada seluruh makluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) secara cuma-cuma. Namun manusia sebagai khalifah bumi, justru menjadi penyebab kerusakan instalasi raksasa bumi dalam menyediakan oksigen, air, pangan, pakan pupuk, obat, energi, temperatur dan sumber kehidupan lain.

The Global Carbon Project (GCP) merilis bahwa konsentrasi  CO2 di udara telah meningkat drastis menjadi 389,6 ppm, tertinggi dalam 800 ribu tahun terakhir. Upaya penurunan pemanasan global dan kerusakan bumi diharapkan lebih murah dan optimal dengan mengobati hutan tropika yang merupakan paru-paru dunia dibanding mengerem laju industrialisasi.

Wilayah tropika yang merupakan jamrud khatulistiwa mempunyai produktivitas biomassa dan recovery tertinggi (750 gC/m2/th). Desakan internasional agar hutan tropika dikonservasi untuk menjaga iklim dunia, justru harus ditunjukkan bahwa hutan Indonesia mampu diperbaiki sehingga berperan penting dalam memperbaiki lingkungan dan kehidupan global.

Bumi terdiri dari tanah, air dan udara, yang menjadi sebuah kesatuan siklus ekologi yang terpadu. Foto: Tiffany Roufs/ Mongabay.com
Bumi terdiri dari tanah, air dan udara, yang menjadi sebuah kesatuan siklus ekologi yang terpadu. Foto: Tiffany Roufs/ Mongabay.com

Revolusi Biru untuk Kelestarian Bumi

Revolusi Biru dapat diperjuangkan dengan sungguh-sungguh melalui revolusi total dibidang mental, teknologi dan pengelolaan, agar terjadi pemberdayaan 6M (man, money, material, machine, method, management) sehingga terbangun lingkungan dan kehidupan yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.  Pemanfaatan sumber daya lahan dan hayati di bumi harus dilakukan secara arif dan bijaksana melalui 9R (reduce, reuse, recycle, refill, replace, repair, replant, rebuild, reward).

Hal ini dilakukan melalui perbaikan teknologi dan pengelolaan siklus air, udara, energi, karbon dan sumber daya alam lain. Dengan pemberdayaan sumber daya lahan (tanah, air, mineral), hayati (tumbuhan, binatang, manusia) dan lingkungan agar mempunyai nilai tambah ekonomi, lingkungan, sosial budaya, dan pengelolaan berkelanjutan.

Program kelestarian lingkungan terkesan mandul diimplementasikan karena kesalahan pengelolaan yang membajak secara tersistem, terstruktur dan masif, berupa ketidak-jelasan program, mafia proyek, pemburu rente ekonomi, kelembagaan yang lemah, mendahulukan keuntungan pribadi dan kepentingan golongan, pengabaian tugas, orientasi proyek semata, kendala administrasi, kelemahan monitoring evaluasi, perubahan iklim, dsb.

Diperlukan strong strategic, strong leadership, strong regulation, strong implementation, strong commitment, strong participation untuk menciptakan pengelolaan sumber daya alam dan manusia yang mampu mendukung lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.

Diperlukan etos kerja prima berupa kerja keras, kerja cerdas, kerja cepat, kerja iklas, kerjasama, membangun seluruh pemangku pihak dalam jaringan yang harmonis dan sinergis, dengan komitmen, kekuatan, kecepatan, dan kontribusi penuh untuk kepentingan dan kesejateraan bersama. Paradigm baru berupa perbaikan menyeluruh, total dan bersungguh-sungguh dalam perubahan mental, pola pikir, kebijakan, kepemimpinan, kinerja, SDM, teknologi, dan manajemen perlu diterapkan di seluruh lini.  Sehingga diharapkan dapat memperbaiki kelemahan utama agar mampu memenuhi standart 3K (kuantitas, kualitas dan kontinyuitas) serta halalal thoyiban.

Perlu revolusi total dengan program berbasis kinerja, dengan indikator perbaikan input, proses, output dan outcomes, yang terpadu, menyeluruh, tidak egosentris, dapat dirasakan secara nyata berupa kesejahteraan bersama, bermartabat dan berkelanjutan pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Partisipasi nyata dan sinergisme semua pihak ABCG (Academic, Business, Community, Government) yang terlibat secara harmoni menjadi kunci utama dalam pencapaian program nasional secara terstruktur dan jitu.

Pemberdayaan harus dilakukan secara sinergis dan optimal agar seluruh stake holder mempunyai kemampuan, kemauan, kesempatan dan kewenangan untuk berkontribusi nyata dan mendapatkan manfaat optimal. Manajemen ekologi lanskap terpadu merupakan salah satu strategi penghilangan kotak-kotak egosentris dalam pengelolaan sumber daya alam terpadu, sehingga tidak lagi mementingkan ego sektor sendiri-sendiri, Namun justru harus bersinergis, dalam satu kesatuan lahan yang terpadu, dalam suatu sistem holistik dan terintegrasi, dalam memproduksi pangan, pakan, papan, pupuk, air, oksigen, obat herbal, wisata lingkungan dan sumber kehidupan lainnya

Kelestarian lingkungan dan kehidupan yang bermartabat sangat potensial untuk dicapai melalui program terpadu dan menyeluruh dengan revolusi biru berupa penyempurnaan dan pemberdayaan radikal terhadap sumber daya alam yang terbengkelai, terbuang sehingga teknologi, pengelolaannya harus lebih cerdas, luas, mendalam, futuristik, terstruktur, konsisten, kompak, menyeluruh, harmonis, utuh dan bercirikan outcomes based program.

Diharapkan, sumbatan birokrasi pada pelayanan vital harus segera dibenahi pada sumber masalah utamanya, melalui “totok darah” atau pencangkokan bahkan amputasi birokrasi, untuk menyehatkan bidang vital ini. Adanya ego-sentris, kebocoran anggaran dan pembiaran terstruktur juga harus ditambal dan dibenahi sehingga pelayanan lingkungan dan kemanusiaan dapat lebih efektif dan efisien.

“REVOLUSI JAGAD BIRU RAHAYU” harus bisa menjadi rujukan nasional dan internasional dalam membangun kesejahteraan lingkungan dan kehidupan yang lebih bermartabat dan berkelanjutan. Presiden saat ini yang “rimbawan” diharapkan mampu menjadi “dirigen” yang mumpuni dalam “orchestra” pembangunan bangsa agar terjadi sinergisme 4K (komunikasi, koordinasi, konsolidasi dan konstruksi) antar bidang untuk membangun lingkungan dan kehidupan bermartabat dan berkelanjutan di Indonesia dan bumi biru ini.

Dengan demikian, semoga revolusi biru bidang lingkungan dan kehutanan dapat diimplementasikan serba tepat, baik tepat orang,  tepat waktu, tepat cara, tepat tempat, tepat sasaran, tepat bentuk, maupun tepat tujuan.

———————

* Tulisan ini adalah Juara Kedua Lomba Penulisan untuk umum yang diadakan oleh Mongabay Indonesia pada periode Nov-Des 2014. Tanpa mengurangi makna, tulisan ini telah diedit seperlunya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,