,

Hutan Tropis, Hadir karena Galau Persoalan Lingkungan Hidup

Bumi Bukan Hanya Hari Ini
Bumi ada sebelum engkau dan aku dilahirkan
Bumi diciptakan untuk semua makhluk-Nya di dunia…

Menunduklah, hentikan nafsumu
Menunduklah, bukalah hatimu
Agar disambut dengan cinta dan kasih-Nya di surga…

Bersujudlah, kembalikan hutan
Bersujudlah, kembalikan sungai
Agar didoakan Bumi saat menuju surga…

Ingatlah kita, Bumi bukan hanya hari ini

Petikan lagu “Bumi Bukan Hanya Hari Ini” di atas, merupakan pesan dari grup musik asal Palembang bernama Hutan Tropis. Kelompok musik yang didirikan sejumlah musisi di awal Desember 2014 lalu, lahir atas keprihatinan terhadap persoalan lingkungan hidup di Indonesia.

Lagu “Bumi Bukan Hanya Hari Ini” dalam genre balada tersebut, merupakan upaya untuk mengingatkan setiap manusia untuk  menjaga Bumi. “Bumi diciptakan Tuhan bukan hanya untuk umat manusia, tapi untuk seluruh makhluk-Nya. Selain itu bukan hanya untuk makhluk-Nya saat ini, melainkan untuk semua makhluk-Nya hingga kiamat nanti. Jadi kita, manusia, jika merusak lingkungan hidup, melukai Bumi, itu artinya melawan perintah Tuhan,” kata Jemi Delvian, musisi yang menjadi vokalis dan penulis lagu di Hutan Tropis, Kamis (01/01/2015).

Menurut Jemi, yang pada awal 2014 lalu meluncurkan lagu etnik “Antan Delapan” yang digemari banyak pecinta musik dunia yang juga bertemakan lingkungan hidup, album perdana Hutan Tropis yang berjudul “Hutan Tropis” yang digarap selama satu bulan, dapat diakses di soundcloud dengan alamat Hutan Tropis.

Dalam melakukan proyek ini, Hutan Tropis bekerja sama dengan penyair Palembang T. Wijaya, yang menuliskan semua lirik lagunya.

Ada delapan lagu dalam album Hutan Tropis ini. Kedelapan lagu tersebut “Bumi Bukan Hanya Hari Ini”, “Kebun Terakhir”, “Balada Bujang Gambut”, “Harimau Sumatera”, “Rain Forest”, “Kekasihku Cantik Berperahu”, “Gugur Seribu”, dan “Kincir”.

Rencananya, mulai Februari 2015 ini, Hutan Tropis akan melakukan pertunjukkan keliling Sumatera Selatan. “Target kita di wilayah yang selama ini banyak persoalan lingkungan hidup, seperti Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Ilir (OI), Muara Enim, Lahat, Pagaralam. Untuk sementara, kerja ini dengan menggunakan modal sendiri. Jika ada yang mau membantu, kita cukup senang, sebab akan meningkatkan sasaran dan tujuan kami,” kata Jemi, yang mengaku mulai tersentuh dengan persoalan lingkungan saat mudik ke kampung kelahirannya Pagaralam.

“Sepanjang perjalanan, saya menyaksikan berbagai kerusakan hutan, baik oleh aktivitas perkebunan, pertambangan, dan lainnya,” kata musisi kelahiran Pagaralam tahun 1977.

Menyatu karena peduli

Musisi yang tergabung dalam Hutan Tropis, merupakan musisi muda di Palembang yang selama ini sudah cukup dikenal. Pengalaman atau kepedulian terhadap lingkungan hiduplah yang membuat mereka sepakat membentuk Hutan Tropis dan melahirkan album perdana.

Bencana kabut asap beberapa waktu lalu, ternyata membuat seorang warga di Palembang mengalami gangguan fisik dan psikis. “Salah satu pasien saya menderita phobia pada asap dan takut keluar malam hari. Pasiennya mengalami kejadian traumatik akibat bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumsel beberapa bulan lalu,” kata Andi Ahmad, gitaris Hutan Tropis yang juga berprofesi hipnotherapist.

“Pengalaman pasien saya dan yang juga saya rasakan akibat bencana kabut asap, membuat saya mau bergabung dengan Hutan Tropis. Saya ingin alam ini terjaga,” kata Andi.

Ipul, seorang pengajar sekolah musik di Palembang yang memegang keyboard pada Hutan Tropis, mengaku bergabung dengan kelompok musik tersebut karena sangat prihatin dengan Sungai Musi dan anaknya yang kian memburuk. “Palembang saat ini, banyak kehilangan tanaman buah dan satwa khas akibat pembangunan yang tak berwawasan lingkungan,” katanya.

“Kerusakan lingkungan ini sudah berlangsung lama. Walaupun kalau berbuat sekarang bisa dibilang terlambat, namun kita harus bergerak bersama untuk melestarikan alam,” katanya.

David Wibowo, gitaris Hutan Tropis, yang memiliki hobi memancing ikan, juga prihatin dengan  kondisi  Sungai Musi. “Semua pemancing yang mengetahui kondisi sungai di Sumsel dari tahun ke tahun pasti akan berpendapat kalau ikan sungai di Sumsel sudah berkurang jauh. Jangankan di Palembang, di daerah pinggiran saja seperti di Tanjung Lago, Banyuasin, ikan tinggal sedikit. Banyak industri yang membuang limbah ke sungai,” jelas gitaris yang biasa dipanggil Bowo ini.

Keprihatinan Ipul dan Bowo tersebut tersebut tercermin dalam lagu “Kekasihku Cantik Berperahu”. Lagu bersenandung lembut tersebut, mengisahkan soal lelaki yang kehilangan kekasihnya karena kehilangan dusun, yang dulunya daerah yang paling kaya dengan ikan dan hasil kebun buahnya.

Inilah grup musik lengkungan Hutan Tropis. Dari kiri ke kanan, David, Ipul, Jemi, Bowo, dan Iftah. Foto: Muhammad Ikhsan
Inilah grup musik lingkungan Hutan Tropis. Dari kiri ke kanan, David, Ipul, Jemi, Bowo, dan Iftah. Foto: Muhammad Ikhsan

Sedangkan Iftah Auladi, sang penabuh drum, bergabung dengan Hutan Tropis karena prihatin minimnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Dicontohkannya, meski Palembang telah menerima Adipura Kencana,  penghargaan terhadap kota di Indonesia yang dinilai mampu menjaga kebersihan, namun perilaku masyarakatnya masih membuang sampah sembarangan.

“Belum lagi perilaku masyarakat perkotaan yang hanya berpikir bagaimana mendirikan bangunan tetapi mengabaikan drainase, menimbun rawa serta menebangi pohon. Padahal pepohonan itulah yang memproduksi oksigen yang sangat penting bagi manusia untuk bernapas,” jelas anggota termuda di Hutan Tropis, berusia 24 tahun ini.

Album Hutan Tropis sendiri ditutup dengan lagu “Rain Forest”, yang digarap dalam genre new wave. Lagu ini merupakan himbauan agar masyarakat dunia menjaga hutan hujan yang tersisa. Sebab, hutan hujan yang tersisa saat ini adalah pertahanan terakhir bumi yang merupakan produsen oksigen yang sangat dibutuhkan makhluk hidup.

It’s the only rain forest 
And the cool air circle around  the world
Give billions soul filled with love

All that left from the rain forest
The place where every hopes begin
And the future is never been forgotten

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

https://www.youtube.com/watch?v=aohdDIDKww0&feature=youtu.be

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,