, , ,

Mereka yang Setia Berkarya dengan Serat dan Warna Alami

“Kalau di Tenganan hemat, tidak perlu beli banyak kamen (kain) dan kebaya karena kami selalu pakai kain geringsing kalau ke pura.” Begitu komentar Ni Ketut Sumiartini, penenun bahan alami ketika mendengar perempuan Bali mengeluarkan biaya mahal untuk trendi dengan kebaya dan kain-kain baru.

Tenganan Pegringsingan, desa kecil terkenal dengan ritual dan tradisi di Kabupaten Karengasem, sekitar dua jam dari Denpasar. Industri tenun dengan pewarna alami dan desa ekowisata bersinergi di sana.

Kain geringsing dari kata gering (sakit) dan sing (tidak) artinya tidak sakit. Konon, mengenakan kain ini, bisa menghindar dari bahaya penyakit atau wabah. Karena itu termasuk sakral, hanya dikenakan sembahyang atau spiritual lain. Tiap ritual, misal, Perang Pandan,  sangat terkenal di Tenganan, laki atau perempuan terlihat elok, tubuh terlilit kain warna tanah dominan merah kecokelatan, hitam, dan kekuningan.

Kain diciptakan dengan alat tenun bukan mesin atau cagcag ini tergolong mahal. Bukan hanya karena nilai kesakralan, tetapi ketekunan pewarnaan bahan alami.

“Menenun kain ini paling seminggu selesai, tetapi menunggu pewarnaan benang bisa sampai tiga bulan,” kata Sumiartini. Dia menunjukkan, selembar selendang, panjang 1,5 meter dan lebar 30 sentimeter. Harga sekitar Rp900.000. Jadi, selembar kain 2×1 meter bisa Rp2 juta.

Hasil tenun perempuan ini tidak diberi merek khusus, seperti produksi perajin geringsing lain di Tenganan. Kain dijual atas nama suami, I Putu Suarjana yang sering pameran, seperti dalam Swarna Fest 2014 dihelat 4-7 Desember di Denpasar. Acara ini khusus perajin yang setia menggunakan serat dan warna alami.

Jika ingin menikmati sebagian besar produksi kain geringsing dengan teknik ikat ganda (double ikat), lebih asyik langsung ke Desa Tenganan Pegringsingan. Ini termasuk desa kuno, dengan deretan pemukiman tradisional Bali zaman dulu dan etalase kain geringsing di sebagian rumah warga.

Warga melestarikan sumber pewarna alami di hutan desa. Misal, kemiri diambil minyak untuk warna kekuningan. Tenganan membuat peraturan adat tertulis (awig-awig) melarang menebang pohon sembarangan di hutan desa. Akar pohon mengkudu memberi warna merah disebut makin jarang dan mulai didatangkan dari Lombok.

Untuk menjaga desa dari penumpukan limbah, Tenganan juga menerapkan aturan pelarangan usaha pencelupan walau semua pewarna alami, seperti kulit akar sunti atau mengkudu (Morinda citrifolia), nila/taum (Indigofera tinctoria). “Pusat pencelupan di desa lain, Bugbug karena ada awig-awig tak mencelup di sini.”

Selain akar mengkudu dan indigofera, juga  kunyit (Curcuma domestica), pinang (Areca catechu), bunga sidawayah (Woodfordia floribunda), secang ( Caesalpinia sappan L.), kulit delima (Punica granatum), loba (symplocos), daun mangga (Mangifera indica), dan lain-lain.

Bahan tenunan Sumiartini dan kain geringsing. Foto: Luh De Suryani
Bahan tenunan Sumiartini dan kain geringsing. Foto: Luh De Suryani

 Ada perajin, I Wayan Karya dari Dusun Kangin, Desa Seraya Timur, Karanagsem. Dia melestarikan kain bebali untuk upacara,  sebagai busana, maupun penghias pratima (simbol dewa-dewa). Ia berbahan kapas budidaya sekitar desa. Kapas dipintal manual dengan jantra, oleh ibu-ibu anggota Kelompok Karya Sari Warna Alam.

Ada juga Siti Malikhah dengan merek Batik Manggur dari Probolinggo, Jawa Timur di Swarna Fest. Dia cekatan membuat batik canting sambil menjual hasil karya. Ketapang menjadi salah satu sumber warna alami.

Perajin-perajin khas daerah ini  berdampingan dengan perajin akademis dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang fokus pada aplikasi pewarnaan alami bukan tenun. Misal, merek Skinesics Barkcloth by Intan Prisanti. Dia mendesain  baju-baju perempuan dan tas  olahan kulit  murbei dicelup warna biru dari daun indigo.

Euis Saedah, Dirjen Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian mengatakan, tak  memerangi sintetis atau warna kimiawi tetapi serat alam hadir untuk menyadarkan Indonesia punya warisan kaya budaya dan ekonomi. “Kenapa dibiarkan?”

Dia ingin konsep dan warna serat alami ini bisa distandardisasi menjadi rangkaian industri berkelanjutan. Misal, tak sembarang membuat serat dan pewarna alam yang bertentangan dengan lingkungan.

Euis mendorong industri dan perajin memanfaatkan limbah organik pewarna alami. “Sampah teh celup disebutkan 10 ton per bulan dari produksi teh botol.” Dari pengalaman, warna hasil celupan limbah teh celup ini bagus.

Swarna Fest memberikan edukasi pada publik soal pewarnaan kimia dan alami. Dalam papan pengetahuan tertulis, pewarna alami disebut digunakan sebelum 1856 ketika zat kimia sintetis ditemukan ilmuwan Inggris William Henry Perkin. Ini yang membuat industri tekstil mudah beralih ke warna kimiawi. Kelemahan pewarnaan alami di antaranya pencelupan lama bisa 20-50 kali, warna monoton seperti biru, coklat, hitam, tidak praktis serta bahan baku tumbuhan terbatas karena tak dibudidayakan.

Pada 1995 digelar konferensi ecolabeling di Geneva menghasilkan pelarangan produk tekstil menggunakan bahan senyawa AZO yang bisa memicu kanker.

Sejak 1996, ada aturan di Jerman melarang penjualan produk  senyawa ini karena berdampak pada penggunaan minimal 10 tahun lewat oral dan kulit. Penelusuran Balai Besar Industri Kerajinan dan Batik menyebutkan, sebagian besar perajin batik di Indonesia,  dengan warna sintetik menggunakan  senyawa AZO.

Untuk itu, katanya, penelitian warna alami harus segera dilakukan,  inventarisasi tumbuhan menentukan teknologi tepat guna dan perlu katalogisasi warna alam, rekayasa powderisasi, identifikasi zat, serta lain-lain.

Tanun sutra dengan pewarna alami. Foto: Luh De Suryani
Tanun sutra dengan pewarna alami. Foto: Luh De Suryani
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,