,

Menteri Agraria Janji Percepat Pengakuan Wilayah Adat, Menteri LHK Siapkan Satgas

Koalisi masyarakat sipil di penghujung Desember 2014, roadshow ke beberapa kementerian, seperti Kementerian Agaria dan Tata Ruang, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, guna mendesak percepatan pengakuan hak wilayah masyarakat adat. Mereka membawa hasil penelitian Perkumpulan HuMA di 13 wilayah adat yang bisa menjadi model. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan menyambut positif dan meminta waktu enam bulan buat menyelesaikannya.

Dia mengatakan, salah satu roadmap kementerian ini adalah pengakuan dan pemberian hak kepada masyarakat adat. “One map policy,  salah satu jalan menyelesaikan konflik tenurial melibatkan masyarakat adat. Saya akan follow up penelitian di 13 wilayah ini. Saya kira ini menyangkut kebijakan di daerah. Saya akan kirim surat,” katanya, siang itu.

Ferry akan memperlajari 13 wilayah adat hasil penelitian HuMA sekaligus meminta konfirmasi pemerintah daerah untuk mengeluarkan wilayah adat dari kawasan HGU. “Saya minta waktu enam bulan selesaikan ini.”

Menurut dia, penyelesaian konflik tenurial berkaitan dengan HGU, lebih mudah. Kawasan berkonflik bisa dikeluarkan asal betul-betul menjadi milik komunal, bukan pribadi. “Nanti kita identifikasi supaya tidak menjadi wilayah yang dimiliki siapapun. Pemerintah punya mekanisme sendiri.”

Dia telah meminta kepala daerah seperti Kalimantan Barat, Papua, dan lain-lain memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. “Tak usah banyak-banyak dulu. Satu hingga lima dulu. Apakah pengakuan dalam perda, SK atau yang lain. Kalau sudah, kita panggil yang bersangkutan untuk keluar dari HGU.”

Ferry mengatakan, masyarakat adat atau lokal yang sudah lama di kawasan HGU harus dihormati.

“Paling penting bagi kami, bagaimana mem-foĺow up putusan mahkamah konstitusi. Memang tidak mudah. Kita akan ukur ulang. Hampir semua perusahaan HGU takut pengukuran ulang. Karena batas tidak jelas.”

Untuk itu, pihaknya akan mengirimkan surat kepada pemerintan daerah guna memastikan identifikasi ini hingga bisa disiapkan hak komunal masyarakat adat. “Kementerian ini menegaskan tak hanya pada masyarakat adat, juga masyarakat dalam kawasan HGU.”

Dia juga mengatakan, Agraria ingin memberikan pengakuan masyarakat di wilayah perbatasan. “Ini sangat penting. Soal rasa nasionalisme. Ketia dia di kawasan Indonesia sementara tidak punya hak apapun, ketika disuruh geser oleh negara tetangga ya geser begitu saja,” katanya.

Untuk itu, masyarakat adat di perbatasan harus ada kepastian hak agar mempertahankan eksistensi tanah dan negara. “Ini langkah strategis. Kita coba di beberapa wilayah perbatasan.”

Mandat peraturan bersama

Myra Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute mengatakan, kurun waktu enam bulan merupakan mandat peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Agraria, Pekerjaan Umum dan LHK,  yang keluar Oktober 2014. Perber itu memerintahkan penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan selama enam bulan.

“Persoalannya, kantor pertanahan di daerah belum mengetahui peraturan bersama ini. Ada persoalan persepsi yang perlu diluruskan bersama. Karena itu petunjuk teknis,  saya kira mendesak. Kalau memungkinkan proses dibuka hingga melibatkan pihak-pihak yang mengetahui persis persoalan di lapangan.”

Myrna menyinggung, pemerintab daerah yang mengeluarkan perda pengakuan masyarakat adat. “Kemudian pemda itu bertanya, kalau sudah keluar perda apa jaminan tanah itu diakui oleh BPN?  Apakah proses otomatis, atau harus mengikuti proses lain? Pengetahuan soal ini di lapangan masih belum sama.”

Dia menekankan, Menteri Agraria perlu memberikan arahan dan membuat kesepakatan antarkementerian untuk menjawab permasalahan ini.”Kemudian tentu one map adalah hal yang baik. Tetapi hal harus kita perjuangkan satu administrasi pertanahan,” katanya.

Sebenarnya, kewenangan BPN harus menjangkau kawasan hutan. Namun, kesalahkaprahan selama bertahun-tahun, membuat kewenangan itu berkurang. Dia berharap, kementerian ini bisa menyelesaikan kesalahkaprahan itu.

Menanggapi itu, Ferry mengatakan, kurang suka membuat petunjuk teknis karena daerah tak akan membaca. “Saya lebih tertarik membuat surat isi selembar, dua lembar. Kemudian bertemu yang bersangkutan. Saya kira dengan itu banyak hal bisa dilakukan.”

Menurut Ferry, petunjuk teknis biasa hanya dibaca saat ada masalah. Karena itu, dalam meningkatkan pelayanan, dia lebih senang memakai pola sidak. Dia ingin memperbaiki pelayanan dengan membuka komunikasi bersama masyarakat seluas-luasnya. Salah satu, media sosial.”Jadi kalau ada ngadu ke saya di twitter, saya langsung lempar ke kantor BPN terkait untuk segera diselesaikan. Agar berani menjawab keluhan warga.”

Tinjau HGU

Nurul Firmansyah, Koordinator Program Perkumpulan HuMa,  mengatakan, penelitian HuMA merespon putusan MK 35. “Kita menemukan dua hal. Pertama, mengidentifikasi apakah masyarakat adat masih ada di lapangan? Tentu sesuai indikator perundang-undangan. Kedua, mereview hukum. Apakah sudah ada kebijakan daerah sebagai prasyarat terkait pengakuan masyarakat hukum adat?” katanya.

Dari riset di 13 lokasi menunjukkan, de facto masyarakat hukum adat ada. Namun, keberadaan mereka tumpang tindih dengan kawasan hutan dan belum semua mendapatkan pengakuan. Juga tumpang tindih di HGU. “Ada diakui melalui perda, ada lewat SK Bupati. Persoalan perda terkait penguasaan tanah di kawasan hutan, harapan kami 13 wilayah  ini bisa menjadi momentum ujicoba permen terkait dengan identifikasi dan verifikasi hak ulayat di kawasan hutan.”

Nurul meminta, Menteri Agraria me-review izin. “Baik HGU sesuai proses hukum, memperhatikan hak masyarakat adat atau tidak. Itu perlu diselidiki lebih lanjut.”

Sardi Razak, Ketua AMAN Sulawesi Selatan menceritakan,  soal masyarakat adat Kajang. “Wilayah masyarakat Kajang sangat kompleks. Ini berkaitan HGU PT London Sumatera luasan masuk wilayah adat 2.985,52 hektar. Ini menimbulkan konflik berkepanjangan.”

“Dengan HGU itu, berharap menteri meninjau ulang. Ini sangat berdampak pada kehidupan mereka.”

Nia Ramdaniati dari Rimbawan Muda Indonesia mengadukan hal sama di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. “PT Havea Indonesia HGU habis akhir Desember 2013. Sampai hari ini HGU tidak terbit.  Luas HGU 310 hektar dikelola 800 petani. Sejak awal, masyarakat menolak dan meminta HGU tidak diperpanjang. “Kami berharap menteri meninjau ulang agar HGU tak diperpanjang.”

Siapkan Satgas penyelesaian konflik

Setelah audiensi dengan Ferry, rombongan bergerak menuju Manggala Wanabakti. Mereka bertemu Siti Nurbaya, Menteri LHK. Topik masih sama, soal konflik agraria hingga UU P3H.

Siti mengatakan, Kementerian LHK sedang merancang satgas penyelesaian konflik tenurial dan masyarakat adat. Dia mengatakan 13 wilayah penelitian HuMa bisa jadi model penyelesaian konflik tenurial. “Kita selama satu-dua bulan ini sedang memikirkan dan merumuskan kira-kira bagaimana pengertian hutan untuk kesejahteraan rakyat. Semua stakeholder memformulasikan ulang agar lebih jelas legalitasnya.  Apa yang disebut hutan kemasyarakatan, desa, tanaman rakyat dan lain-lain.”

Satgas ini, katanya,  akan memverifikasi identitas masyarakat adat, wilayah teritorial, perspektif hukum terkait legalitas dan legitimasi. Pedoman ideal ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah. “Jangan lupa masyarakat adat dan di luar itu dalam kaitan dengan wilayab teritorial juga membawa pesoalan konflik. Ini harus teridentifikasi dengan baik,” ujar dia.

Selama ini, katanya, kalau ada persoalan, pemerintah menggiring penyelesaian di ranah hukum. “Padahal itu tidak sama dengan keadilan. Kalau ke ranah hukum, biasa asal dokumen cukup, yang menang. Masyarakat kalah.”

Siti mengatakan, kerja satgas nanti sampai resolusi konflik. “Bagaimana menyelesaikan konflik, permasalahan hukum, review perizinan, dan lain-lain.” Bahkan, katanya, LHK sedang memikirkan bagaimana memfasilitasi registrasi wilayah adat secara berkeadilan dan setiap pengambilan kebijakan terkait masyarakat adat/lokal sesuai pedoman yang akan diberikan kepada semua stakeholder.  “Kira-kira nanti arah kerja seperti itu.”

Satgas ini, tak hanya bicara di tataran pemerintah pusat juga harus kuat interaksi dengan pemerintah daerah. Fasilitasi kepada pemerintah daerah, katanya,  tidak hanya mendorong lahir perda pengakuan masyarakat adat, juga registrasi dan resolusi konflik.

“Kita tak usah ragu pemerintahan Jokowi mempertegas pengakuan masyarakat adat di berbagai sektor. Dalam lingkungan hidup sangat berbeda. Saya menerjemahkan sebagai kebijakan berpihak rakyat.”

Sumber air terjaga baik. Sungai di komunias adat Taa-Wana, Sulteng, jernih dan menjadi sumber air bagi warga sekitar. Baik buat keperluan sehari-hari maupun irigasi pertanian bagi warga sekitar, terutama yang berada di hilir. Foto: perkumpulan HuMA
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,