,

Pater Simon, Pejuang Penjaga Manggarai Dari Tambang

Pater Simon, begitu panggilan akrab Simon Suban Tukan. Mongabay Indonesia berkesempatan menemuinya 20 November 2014 lalu di SVD Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.  Sejak 2006, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat di Maumere dan magister hukum di Universitas Gajah Mada Yogyakarta itu dan lembaganya berjuang bersama masyarakat mempertahankan lahan agar tidak di tambang oleh perusahaan.

Bukan tanpa alasan, Pater kelahiran Larantuka, Flores Timur, tahun 1970, berkeinginan pulau Flores, khususnya Manggarai maju dalam sektor pertanian dan tidak ingin rusak hutannya, alamnya karena pertambangan.

Mongabay berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya:

Mongabay Indonesia : Apa yang membuat anda mau bergerak bersama masyarakat melawan pertambangan yang merusak lingkungan?

Pater Simon : Sejak tahun 2006 dan tahun 2007 di koran-koran lokal sudah mulai memberitakan tentang situasi-situasi yang memprihatinkan akibat pertambangan bagi masyarakat sekitar tambang. Mulai dari pencemaran udara dan limbah cair. Debu-debu menutupi lahan pertanian warga. Selain itu berita gaji karyawan pertambangan sangat kecil bahkan tidak di bayar.

Lalu mulai ada reaksi masyarakat tidak suka kehadiran tambang. Saya ikuti perkembangannya, lalu diajak kawan yang sudah melakukan kunjungan ke masyarakat sekitar tambang, di kampung Sirise, Manggarai Timur. Kaum perempuan duduk di siang hari, memilih batu gamping dan mangan hasil sortiran. Mereka tanpa masker, tanpa sarung tangan dan apa adanya. Dari situlah saya melihat dan memutuskan masyarakat harus di tolong. Jaminan keselamatan dan kesehatan tidak ada. Lalu saya berfikir bagaimana bisa menolong masyarakat.

Pada tahun 2008, kasus pertambangan semakin ramai. Hingga Mei 2008 saya kirim dua orang untuk ke Manggarai Timur melihat kondisi masyarakat sekitar pertambangan. Setelah mereka pulang dan melaporkan apa yang terjadi di lapangan, tak lama kami melakukan investigasi bersama OFM di Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat terkait pertambangan.

Dari hasil investigasi bersama ini kami temukan banyak sekali dampak negatif dari pertambangan. Pertambangan di Manggarai di mulai sejak tahun 1980-an. Tahun 1981-an sudah mulai eksplorasi dan 1997 sudah mulai penggusuran lahan masyarakat untuk pertambangan. Lahan penduduk diambil perusahaan. Gunung-gunung juga dihancurkan.

Kegiatan rekonsiliasi masyarakat sekitar tambang dengan lembaga yang Pater Simon pimpinan JBIC. Foto : Tommy Apriando
Kegiatan rekonsiliasi masyarakat sekitar tambang dengan lembaga yang Pater Simon pimpinan JBIC. Foto : Tommy Apriando

Dari sisi lain, Manggarai itu adalah daerah yang sangat subur, kaya akan hasil pertanian. Maka kami membuat pencerahan terhadap berbagai kalangan tentang dampak negatif petambangan, agar semua kalangan membantu masyarakat yang terdampak dari aktivitas pertambangan.

Mongabay Indonesia : Apa alasan anda hingga menolak pertambangan?

Pater Simon :  Selain kesehatan, kesejahteraan juga menjadi pertimbangan kami. Banyak masyarakat mengeluh sayur di kebun mereka tertutup debu mangan dan berdampak pada air minum yang menghitam karena pertambangan. Hak-hak masyarakat di sekitar pertambangan tidak diperhatikan. Lahan masyarakat diambil dengan kekerasan dan intimidasi. Militer ikut ambil bagian juga dalam penggusuran dan perempasan lahan masyarakat.

Kemudian dari segi lain, hak masyarakat di sekitar tambang tidak diperhatikan dari proses awal, hingga pertambangan itu terjadi. Masyarakat tidak terlalu cukup paham tentang pertambangan. Mereka baru sadar di tahun 2001 ketika merasakan dampak langsung. Ada banyak hal yang menujukkan ketidakberesan dari pertambangan.

Yang menjadi dasar perjuangan saya dan teman-teman, bahwa Pulau Flores ini sangat kecil, di tahun 2007 sudah belasan ribu diberikan  oleh pemerintah pusat untuk ijin pertambangan. Tentu dampaknya akan sangat besar bagi masyarakatnya. Maka dari itu, kami dorong masyarakat untuk menolak pertambangan.

Pulau Flores ini selalu mengalami perubahan iklim, kemarau selalu panjang di banding musim hujan. Sehingga kesulitan air minum dan kegagalan panen sering sekali terjadi. Kalau hutannya juga mulai di hancurkan dampak bagi masyarakat, akan semakin parah.

Pulau Flores ini dalam peta geologi nasional sebagai daerah ring api, yang sesekali terjadi letusan dan guncangan besar. Jika di dukung dengan ledakan dinamit pertambangan, maka dampaknya terhadap bumi sangat besar. Karena itu dasar perjuangan  kami adalah untuk menyelamatkan masyarakat di wilayah Pulau Flores. Keberlanjutan masyarakat bisa hilang, jika perijinan tambang dibiarkan.

Kondisi saat ini ada 44 IUP di seluruh Manggarai. Jika seluruhnya diberikan ijin eksploitasi saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi pulau ini nanti. Maka kami memikirkan keselamatan dan keberlanjutannya. Sehingga kami berfikir, tidak boleh ada tambang di pulau kecil ini.

Sebagai tokoh agama berkaitan dengan keutuhan ciptaan Tuhan kami melihat penghancuran oleh penambangan itu proses masif merusak ciptaan Tuhan. Bayangkan jika pertambang di suatu wilayah rusak tidak hanya tanahnya, hutan dan ekosistem alamnya rusak termasuk manusia. Maka kami memakai istilah pertambangan itu merupakan perampokan lingkungan. Orang menghancurkan ekosistem kehidupan. Bagaimanapun  bumi tempat kita berpijak adalah gambaran Tuhan yang hadir dari seluruh ciptaan, maka manusia harus sadar untuk tidak menghancurkannya, memanfaatinya seperlunya saja. Maka itu perlu di lindungi dan di jaga agar tetap terjaga.

Mongabay Indonesia : Apa tantangan perjuangan anda bersama masyarakat?

Pater Simon :  Tantangan di awal adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat sekitar pertambangan. Khususnya bagaimana masyarakat melihat sumber pendapatan dan begitu juga pemerintah. Selama ini pemerintah dan masyarakat melihat pertambangan adalah sumber pendapatan dan sumber ekonomi baru. Untuk meyakinkan mereka cukup sulit. Namun kami menggunakan perspektif adat, filosofi adat untuk menyakinkan bahwa bumi adalah ibu yang setiap saat memberikan kita makan dan minum dan kehidupan. Lalu kami memperlihatkan kerusakan yang mulai ada akibat pertambangan di Indonesia termasuk di wiliyah Pulau Flores sendiri. Kami keliling ke masyarakat membawa desktop untuk bersosialisasi. Saya bahkan pikul desktop bersama monitornya.

Pendekatan adat yang kami lakukan cukup berhasil untuk memberikan pemahaman dapak pertambangan. Hampir semua masyarakat paham tentang “ibu” sebagai bumi yang memberikan kehidupan. Lalu kami memperlihatkan bagaimana mengelola tanah sendiri tanpa harus ada pertambangan, pertanian bisa membuat anak-anak masyarakat sekolah dan lainnya. Kami juga sampaikan perbandingan jumlah penduduk yang terus bertambah dan tanah yang terbatas. Dengan cara seperti itu, kami meyakinkan mereka dan mereka mengerti, lalu mendukung perjuangan penolakan tambang.

Selain itu, pemerintah masih melihat pertambangan sebagai sumber pendapatan daerah. Pemerintah bilang tambang pendapatan asli dan mereka bilang pertambangan bisa memajukan daerah. Pemerintah daerah juga mengerti bahwa hanya sedikit pendapat dari pertambangan, tidak sebanding dengan kerusakan yang ada di lapangan.

Tantangan lain dari segi topografi, susah sinyal di daerah masyarakat sekitar tambang. Hal ini berdampak pada akses informasi yang lambat untuk di sebarluaskan. Begitu juga bahasa, sebagai sarana komunikasi. Antara masyarakat satu dan lainnya ada perbedaan, sehingga kami membawa orang asli Manggarai untuk menjelaskan ke masyarakat. Setelah di jelaskan mereka mengerti dan mendukung agar pertambangan harus ditolak dan lingkungan harus dijaga. Dari gereja sendiri juga awalnya tidak paham akan dampak dari pertambangan. Bahkan uskup di awal juga senang ada tambang di Manggarai, namun setelah tahu dampak negatifnya barulah keuskupan mendukung kerja kami menyelamatkan alam dan masyarakat adat.

Mongabay  Indonesia : Bagaimana anda melihat proses masuknya pertambangan di Manggarai? Apakah melibatkan masyarakat adat sekitar lokasi tambang?

Pater Simon : Setelah kami pelajari semua dan tanya kepada masyarakat. Masyarakat mengatakan, pertambangan masuk di masa Soeharto, sekitar awal tahun 1990-an. Masyarakat mana yang berani ketika tentara di depan. Kekuatan senjata digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Sehingga bisa dilihat, tidak ada perundingan dan musyawarah dengan masyarakat. Intinya masyarakat tidak pernah di mintai pendapatnya. Lalu, proses 2007-2009 ada penipuan dilakukan oleh perusahaan, karena ketika perusahaan tahu di suatu wilyah ada mineral dan masyarakat sudah mengerti, lalu perusahaan melakukan pertemuan yang judul pertemuannya sosialisasi tambang. Lalu ada tanda tangan masyarakat, kemudian tanda tangan tersebut dijadikan alasan masyarakat menyetujui kehadiran pertambangan. Jadi modusnya penipuan tanda tangan.

Kemudian janji perusahaan, akan memasukan listrik, akan ada keuntungan besar, jalan raya akan dibuat namun janji perubahan itu akan berdampak besar bagi kehidupan. Tanpa ada ganti rugi yang seimbang, tanpa ada perjanjian dengan masyarakat.

Mongabay Indonesia : Apakah janji-janji itu dipenuhi oleh perusahaan tambang?

Pater Simon : Jadi awalnya tergiur janji perusahaan. Seperti listrik, hanya menggunakan generator lalu di salurkan ke masyarakat. Namun hanya bertahan beberapa bulan saja, karena generator juga butuh kabel, solar dan lainnya. Di janjikan air minum bersih, jalan di aspal tapi tidak bisa dibuat. Dan belum pernah janji mengaspal jalan itu di wujudkan. Sedangkan janji mempekerjakan orang dengan upah tinggi, mungkin bagi masyarakat sekitar bagus. Tapi jika dihitung dengan upah minimum ternyata tidak sebanding dengan umpah minimum pemerintah daerah. Janji dan realisasi jauh sekali penerapannya. Hampir di semua lokasi tambang yang ada di Manggarai, kesejahteraan bagi masyarakat yang dijanjikan perusahaan itu tidak bisa terwujud. Bahkan beberapa kampung masyarakat menderita karena pertambangan.

Mongabay Indonesia : Hadirnya pertambangan di Manggarai berakses pada konflik antara masyarakat dan perusahaan serta masyarakat dan pemerintahan daerah. Apa tanggapan anda?

Pater Simon : Dimanapun kami melihat, seluruh ijin yang keluar, langsung menimbulkan pro kontra di masyarakat. Kehadiran pertambangan dan konflik di masyarakat merupakan korelasi yang sangat dekat. Ada masyarakat yang senang pertambangan, ada yang menolak. Masyarakat yang senang umumnya mereka tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan. Ada juga yang memiliki lahan, namun tidak di manfaatkan. Sedangkan mereka yang punya lahan perkebunan atau pertanian, reaksi ada kabar tambang masuk mereka langsung menolak.

Pater Simon dan rekan-rekan melakukan gugatan class action menolak pertambangan yang merusak lingkungan dan merampas lahan masyarakat. Foto : Tommy Apriando
Pater Simon dan rekan-rekan melakukan gugatan class action menolak pertambangan yang merusak lingkungan dan merampas lahan masyarakat. Foto : Tommy Apriando

Belum lagi jika perusahaan sudah membayar masyarakat agar mendukung pertambangan, hal ini berdampak pada konflik masyarakat sesama kampung yang menolak pertambangan. Ada masyarakat atau kepala adat di kampung lain mengklaim bahwa lahan masyarakat yang menolak tambang adalah wilayah ulayat adat mereka. Lalu menyerahkannya kepada perusahaan tambang tanpa diketahui masyarakat yang menolak tambang. Tentu ini berdampak pada konflik lebih besar, menimbulkan ketegangan besar.

Mongabay Indonesia : Pada konflik pertambangan, posisi polisi dan tentara lebih berpihak pada perusahaan. Apa pendapat anda?

Pater Simon :  Kami lihat selama ini, mula-mula polisi mencoba mendengarkan persoalan yang terjadi. Namun ketika mereka tahu perusahaan punya ijin, barulah keberpihakan polisi pada perusahaan. Polisi berpatok pada ijin IUP perusahaan. Pengalaman lain, polisi justru berhadapan dengan masyarakat dan mendukung perusahaan. Contoh di Sirise dan di Tumbak, polisi berpihak pada perusahaan bahkan melakukan kekerasan dan intimidasi.

Mongabay Indonesia : Keberhasilan apa saja yang anda raih selama menolak pertambangan dan menyelamatkan alam?

Pater Simon : Sejak 2007 kesadaran masyarakat meningkat. Ketika masyarakat tahu ada rencana pertambangan, masyarakat bereaksi dan tidak mau di wilayah mereka ada tambang. Lalu, kesadaran meluas ke gereja secara instistusi, ini bisa dilihat dari aksi serentak di tiga kota di Manggarai. Selain itu, pemerintah daerah  lebih waspada dan hati-hati untuk menerima ijin pertambangan. Lebih terbuka dan mau melihat masyarakat yang berjuang menolak tambang. Ini terbukti dengan tidak ada ijin baru pertambangan di Manggarai.

Dari segi pertambanan, ada beberapa perusahaan yang di stop, misalnya PT Lipindo Primatama, perusahaan keluar setelah ada pembahasan Amdalnya dan kita tolak Amdalnya. Lalu, PT Aneka Tambang (Antam) di Manggarai Barat, setelah dialog dengan pemerintah daerah, keuskupan, masyarakat dan perusahaan pada Agustus 2012 mundur. Lalu PT Sumber Jaya Asia, masuk di kawasan hutan lindung, kita dorong melalui dokumen dan aturan. Setelah ada aturan yang dilanggar, tidak ada ijin pinjam pakai, lalu digugat class action, perusahaan berhenti. Terakhir, perusahaan yang keluar dengan konflik terbuka yakni PT Aditya Bumi Pertambangan di Manggarai Timur.

Saat ini yang masih aktif, PT Manggarai Manganise di Manggarai Timur, masih kami upayakan untuk menghentikan dan mengeluarkannya dari Manggarai Timur.

Mongabay Indonesia : Bagaimana dengan lahan pertambangan yang melanggar tanah Adat? Apa saja yang dilanggar perusahaan Tambang?

Pater Simon : Kaitan dengan lahan, perusahaan melanggar hak atas tanah masyarakat karena kebanyakan perusahaan tambang masuk tanpa persetujuan masyarakat. Di beberapa  titik masuk wilayah ulayat (adat) juga diambil, ini pelanggaran hak wilayah adat. Ada juga pelanggaran adat istiadat masyarakat adat. Terjadi pemutusan relasi antara masyarakat adat dan alam. Di Torong Besi, dalam data pemerintah daerah adalah hutan lindung, namun dalam data masyarakat adat adalah hutan adat. Karena di daerah Torong Besi sebagai sumber air, maka di jadikanlah oleh masyarakat sebagai hutan larangan atau hutan tutupan, yang semulanya sebagai hak ulayat. PT MM di Manggarai Timur itu sebagai hutan adat, ada banyak sekali pelanggaran hak ulayat yang di langgar. Selain itu, hak atas lingkungan hidupnya juga diambil.

Prosedur hukum yang di langgar juga banyak. Pemerintah dan perusahaan harus sosialisasi ke masyarakat, namun tidak pernah dilaksanakan. Prosedur pengumuman ke masyarakat bahwa suatu daerah akan menjadi lokasi tambang tidak pernah dilakukan. Contohnya saja IUP bisa keluar hanya dalam waktu dua hari, berarti tidak ada penelitian dan ini pelanggaran terhadap prosedur. Pemerintah juga tidak pernah lihat lokasi langsung, hanya melihat dokumen persyaratan perijinan yang diberikan perusaan tanpa melakukan verifikasi. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.

Mongabay Indonesia : Bagiamana anda melihat sektor pertanian, apakah lebih bisa menyejahterakan masyarakat dibanding hadirnya pertambangan ?

Pater Simon : Kami mendorong masyarakat dengan pertanian. Hampir 85 persen masyarakat di seluruh Manggarai ini hidup sebagai petani. Menurut kami pertambangan mengambil alat produksi masyarakat yang paling penting yakni tanah. Lalu mau dikemanakan masyarakat petani ini. Hampir semua lahan masyarakat yang ada di sekitar tambang di ambil oleh perusahaan tambang.

Kami ingin pertanian dikembangkan. Daerah di Manggarai sangat  subur, di banding daerah Flores dan pulau lainnya. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas masyarakat dengan membuat mereka mengerti bertani secara baik. Selama ini masyarakat bertani sawah, petani ladang, petani kopi, cengkeh, panili, coklat, kemiri dan kelapa. Ada juga peternakan seperti sapi dan kerbau. Ada masyarakat yang bisa sekolahkan anak dengan menjual sapi.

 

Mongabay Indonesia : Jika pertambangan tetap menjadi patokan pemerintah daerah sebagai bagian pendapatan daerah. Lalu hal apa yang harus dilakukan pemerintah daerah?

Pater Simon : Kami tidak menolak pertambangan secara mutlak. Tapi kami menolak pertambangan yang berdampak buruk pada orang-orang sekitar pertambangan. Karena itu, pemerintah selalu bilang melaksanakan undang-undang. Kita sadar tidak bisa menghindari pemakaian hasil pertambangan. Kita menggunakan handphone, mobil dan lainnya, itu semua hasil pertambangan. Tapi  tidak secara serampangan menerapkan pertambangan di wilayah kecil seperti Manggarai.

Silahkan pemerintah mengatur secara baik. Pemerintah mesti melihat peluang lain untuk mensejahterakan masyarakat di suatu wilayah tanpa harus berpatokan pada pertambangan. Katakanlah Flores, pertaniannya cukup baik, itu yang pertama harus dikembangan.

Akhir-akhir ini pariwisata juga meningkat, pemerintah harus melakukan bagaimana tetap menjaga lingkungan namun bisa meningkatkan pariwisata yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Bukan industrinya tapi kegiatan pariwisata membuat masyarakat ikut terlibat. Kaliimantan daerahnya luas, kehancuran akibat tambang sangat terlihat. Banyak anak-anak meninggal di lubang-lubang hasil pertambangan.

Untuk Flores menurut saja seharusnya tidak bisa di tambang. Para pastor dan masyarakat di Pulau Flores ini tidak akan menyerahkan pulau ini kepada para investor tambang.

Mongabay Indonesia : Sebagai tokoh agama, bagaimana anda melihat masyarakat terancam hilang lahannya dan rusaknya lingkungan?

Pater Simon :  Saya tidak tahan melihat orang diperlakukan menderita. Selama pendidikan saya dilatih peduli terhadap orang lain. Jadi keprihatinan itu sudah lama terbentuk di dalam diri. Dalam kapasitas saya sebagai kordinator lembaga JPIC, keadilan perdamaian dan keutuhan ciptaan. Saya ingin masyarakat menjunjung dan ikut menjaga keutuhan cipataan tahun. Tugas kami sebagai pastor otomatis harus solidaritas peduli terhadap orang menderita dan menyelamatkan alam dari pertambangan.

Mongabay Indonesia         : Apa harapan anda terhadap pemerintahan baru dalam melindungi masyarakat adat dari investor pertambangan ?

Pater Simon :  Saya fikir selama kampanye, pemerintahan Jokowi mengatakan selama ini negara tidak pernah hadir di masyarakat. Maka Jokowi harus tunjukkan itu, bahwa negara hadir untuk masyarakat bukan untuk kepentingan pemodal yang lebih banyak merusak masyarakat dan lingkungan. Maka pemerintahan ke depan harus melakukan alokasi anggaran, buat kebijakan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Kita harap selama Jokowi memimpin masyarakat bisa merasakan bagaimana negara hadir. Menurut saya masyarakat tidak perlu di kasih makan, tapi bagaimana masyarakat di lindungi dalam kerja mereka, dibantu agar bekerja lebih baik. Pemerintah selama ini salah penerapan, dianggap masyarakat lapar. Padahal yang terjadi lahan masyarakat diambil dan tidak pernah di bantu fasilitas yang baik untuk bekerja. Bukan menghadirkan pekerjaan baru menjadi penambang, yang lepas dari pekerjaan lamanya.

Mongabay Indonesia : Apa yang akan anda lakukan ke depan untuk menjaga alam di Manggarai?

Pater Simon : Kami terus membantu masyarakat. Misalnya mengajari masyarakat yang memiliki hewan ternak tahu bagaimana berternak yang baik. Kami membantu pengorganisasian masyarakat dengan koperasi dari modal bersama. Pengelolaan tanah yang baik dan tentu kami terus melakukan kampanye tentang penyelamatan alam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,