, , ,

Soal Hutan Kelola Rakyat pada 2015, Berikut Kata Kementerian LHK

Satu masalah besar negeri ini adalah ketimpangan penguasaan lahan. Pemegang kuasa lahan didominasi pengusaha dan pemerintah dan warga makin terhimpit. Konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di berbagai daerah.

Visi misi Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, salah satu dalam Nawa Cita, tercantum komitmen reforma agraria dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Dari komitmen itu, terjabarkan, komitmen distribusi lahan kepada rakyat seluas 9 juta hektar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menargetkan kemitraan 40 juta hektar kawasan hutan kepada warga. Rencana ini diyakini bisa mulai berjalan pada 2015.

San Afri Awang, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, dari 9 juta hektar distribusi lahan itu, sekitar 4,5 juta hektar dari kawasan hutan. “Kalau nanti diambil 4,5 juta hektar buat land distribution,  ya kurangi dari kawasan ini (target 40 juta hektar),” katanya, Desember lalu di Jakarta.

Sedang pola kemitraan, target per tahun delapan juta hektar, terbagi dalam dua tipe. Pertama, bagi 35 juta hektar kawasan hutan yang sudah terbebani izin konsesi bisa kemitraan antara warga dan pemegang izin. Kala ada konflik di kawasan ini,  pemerintah akan hadir menyelesaikan dan menawarkan kemitraan.

Kedua, kemitraan warga dan negara pada 30 jutaan hektar–dari 66 juta hektar total hutan produksi –yang belum terbebani perizinan. Dari jumlah ini, katanya, sebagian kemungkinan diberikan kepada 30 ribuan desa yang ada di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Juga buat warga yang memerlukan lahan, misal bencana erupsi Sinabung hingga perlu lahan rekolasi. “Salah satu buat itu. Itu maksudnya.”

Siapa tangan negara yang akan menjalankan? “Ada unit pelaksana teknis di lapangan tergantung case nanti apa dengan balai, KPHP dan lain-lain. Sudah ada kelembagaan semua.”

Di yakin, target kemitraan 8 juta hektar per tahun mulai berjalan pada 2015. Menurut dia, aturan mengenai kemitraan sebenarnya sudah ada sejak lama hanya berjalan lamban. Bagi San, bukan mustahil dari 35 juta hektar konsesi, kemitraan bisa 15 juta hektar. “Bisa jadi. Karena kan kita (pemerintah) masuk, negara hadir untuk tengahi kedua pihak.”

Bagaimana jika warga menolak kemitraan? “Negara harus  hadir di situ. Caranya bagaimana? Amandemen areal, tetap punya negara tetapi keluar dari pemegang izin.”

Namun, kata San, kalau desa atau wilayah itu diklaim hutan adat,  maka akan masuk skema adat. “Jadi walaupun di dalam ada pemegang izin dan ada klaim adat, kita urus,” ujar dia.

Dia mengakui, selama ini, pengakuan wilayah kelola masyarakat terutama wilayah adat belum berjalan. Alasan dia karena belum ada petunjuk. UU masyarakat hukum adat belum disahkan. Namun, saat ini, bisa mulai berjalan karena sudah ada peraturan bersama empat kementerian (Kementerian LHK, Pekerjaan Umum, Agraria dan Tata Ruang serta Kemendagri) yang terbit Oktober 2014.  “Dalam 2015, insya Allah bisa terealisasi.”

San menekankan, model kelola rakyat tak harus kemitraan. “Kalau kasus MK 35 (hutan adat), kita selesaikan dengan MK 35. Kalau kasus di luar itu,  ya di luar itu.”

Namun, kata San, dalam pelaksaaan atau teknis di lapangan tak mudah.  “Misal rakyat tuntut di sini, tapi yang tersedia (lahan) di sana. Apa mau rakyat pindah? Emang mudah? Itulah teknis sehari-hari hingga kadang-kadang target tak dicapai. Lebih rumit di tingkat teknis. Bukan kita tak mau.”

Menurut dia, alokasi ideal pengelolaan sumber daya alam yang sesuai UUD’45 itu, 30% pengusaha,  35% BUMN dan 30% rakyat. “Itu perintah UUD. Kalau bicara proporsional keadilan. Selama ini, buat rakyat sangat jauh…Kebijakan pemerintah kurang tepat.”

Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Humbahas, Sumut, hingga saat ini terus mempertahankan hutan adat (hutan kemenyan) mereka dari klaim pemegang izin. Akankah, pengakuan hutan adat mereka bisa terealisasi era pemerintahan saat ini? Foto: Sapariah Saturi

Jangan sebatas target

Menyikapi target pemerintah memberikan hak kelola hutan kepada rakyat ini, Christian Purba, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengingatkan, pengalaman pemerintahan lalu.

Bob, biasa dia dipanggil mengatakan, dalam lima tahun lalu pemerintah juga memiliki target pengelolaan hutan kepada rakyat seluas dua juta hektar, baik lewat hutan tanaman rakyat, hutan desa dan lain-lain. “Fakta bisa dilihat, hanya terealisasi 500 ribuan hektar… Artinya, ini memang bisa dikatakan sebuah kesempatan tetapi harus realistis, serius gak?”

Pengalaman lalu, katanya, masyarakat tak mudah mendapatkan izin hutan kelola karena peraturan rumit bahkan tata cara disamakan dengan perusahaan besar.

Begitu juga terkait pelaksanaan putusan MK 35, yang menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. “Sudah ada keputusan MK  yang pastikan hutan adat tetapi fakta bisa dilihat bersama, saat ini, setelah dua tahun belum terjadi apapun.”

Dia menyadari, dalam pelaksanaan ada kendala baik di pemerintah pusat, salah satu Kementerian Kehutanan, maupun di daerah. “Kalau komitmen serius, good will ada, apapun yang ditawarkan pemerintah bisa dilakukan.”

Togu Manurung, Badan Pengurus FWI mengatakan, keberpihakan pemerintah sangat penting kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Lewat komitmen pemerintah saat ini semoga bisa berjalan. Namun, dia mengingatkan, dengan kelola hutan kepada warga bukan berarti hutan boleh rusak. “Masyarakat harus dapat kelola hutan dengan kearifan lokal, dan difasilitasi lembaga buat tingkatkan kapasitas mereka.”

Untuk itu, proses perizinan hendaknya lebih sederhana dan biaya tak mahal hingga tak menjadi kendala bagi warga.  Hal penting lain, katanya, batas kawasan hutan (tata batas) di lapangan harus jelas alias clear and clear. Persoalan ini, kata Togu,  menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan dalam penetapan kawasan hutan,  proses pun harus partisipatif.

“Ini jadi hal penting. Karena fakta ada ribuan kasus konflik lahan hutan dan jadi sumber konflik sosial dan faktor risiko serta ketidakpastian bisnis kehutanan. Akhirnya semua rugi. Ini harapan ke depan melalui Kementerian LHK, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, diharapkan bisa dipercepat.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,