,

Studi: Tambang Nikel Telah Menggusur Pertanian di Kabupaten Morowali

Asumsi ekonomi bahwa tumbuh suburnya investasi pertambangan di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, secara otomatis akan meningkatkan nilai tukar masyarakat, ternyata tidak demikian.

Hal ini diungkapkan oleh Andika, peneliti muda asal Sulawesi Tengah, dalam sebuah laporan berjudul “Booming Nikel, MP3EI, dan Pembentukan Kelas Pekerja, Studi Perubahan Tata Guna Lahan dan Pembentukan Kelas di Kabupaten Morowali”. Laporan ini dituliskan dalam kertas kerja yang diterbitkan oleh Sajogyo Institute.

Andika mengatakan bahwa perluasan ekonomi tambang nikel kian menggusur kegiatan produksi pertanian sebagai sumber pendapatan utama Kabupaten Morowali. Dari hasil analisis product domestik regional bruto (PDRB) tahun 2007, ekonomi masyarakat Morowali bertumpu pada kegiatan-kegiatan seperti, pertama: sektor pertanian, yang memberikan andil sebesar 46,32 persen terhadap total PDRB  atas dasar harga berlaku. Kedua, sektor turunan seperti perkebunan, perikanan, kehutanan dan tanaman  bahan makanan, yang masing-masing memberikan andil sebesar 25,93 persen, 7,04 persen, 6,17 persen dan 5,89 persen.

Sementara sektor pertambangan dan penggalian, memberikan kontribusi 20,90 persen terhadap total PDRB, peran subsektor pertambangan mencapai 20,45 persen. Lonjakan pertumbuhan fantastis terjadi dalam kurun waktu 2006-2007 yakni sektor pertambangan dan penggalian masing-masing 141,77 persen tahun 2006 dan 105,93 persen pada tahun 2007.

“Hal itu didorong sumbangan sektor migas yang dikelola oleh Job Pertamina Medco Expan Tomori di Kecamatan Mamosalato, dan telah berproduksi selama tiga tahun. Peranan rill sektor pertambangan terhadap PDRB yaitu 18, 57 persen tahun 2008 naik menjadi 26,67 persen pada tahun 2012.”

Menurutnya, untuk usaha ekonomi yang telah dikembangkan secara turun-temurun seperti padi dan palawija hanya mengalami sedikit peningkatan produksi. Hal ini terjadi akibat tingginya alih fungsi lahan dari tanaman pangan ke perkebunan yang diasumsikan bisa memberikan pendapatan yang lebih baik.

Sementara, percetakan sawah baru lebih kecil dibandingkan investasi pada sektor perkebunan seperti, kelapa, kelapa sawit, coklat serta sektor pertambangan. Jika merujuk pada Morowali dalam angka tahun 2011, katanya, peruntukan lahan hanya berkisar 1 persen kawasan pertanian tanaman padi atau sebesar 12.347 hektar berupa padi sawah dan padi ladang.

Jumlah itu jauh lebih kecil, jika dibandingkan dengan luas lahan perkebunan sawit tahun 2010, yang mencapai 28.010 hektar. Sementara, jumlah keseluruhan luas wilayah yang difungsikan untuk izin pertambangan sebesar 104.927,19 hektar, dengan pembagian sebagai berikut: masing-masing luas lahan untuk izin pertambangan nikel sebesar 103.556,36 hektar, chromit 10,83 hektar, dan marmer  1.360,00 hektar.

“Penetrasi modal dalam dunia pertanian juga terus meningkat, hal itu menunjukkan pola dan dinamika penguasaan lahan semakin terkosentrasi. Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Kabupaten Morowali mengalami peningkatan sebanyak 11 perusahaan dari 6 perusahaan pada tahun 2003, lalu menjadi 10 perusahaan pada tahun 2013.”

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Morowali sebanyak 36.473 dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 10 dikelola oleh perusahaan pertanian berbadan hukum dan sebanyak 12 dikelola oleh selain rumah tangga dan perusahaan tidak berbadan hukum.

Pembabatan hutan mangrove yang telah dilakukan sejak Oktober 2011. Foto: Jatam Sulteng

Simbol kemakmuran

Dalam penelitiannya itu Andika menyebutkan bahwa Anwar Hafid sebagai bupati periode 2008-2012, lalu kini terpilih lagi untuk periode 2013-2017, menggalakkan kampanye program politiknya. Visi itu adalah “Morowali Kabupaten Agrobisnis  (Si’E) Tahun 2012.”

Pengertian Si’E diambil dari kata bahasa daerah dua etnis terbesar di Kabupaten Morowali yaitu etnis To Bungku dan To Mori, yang keduanya memberikan arti dan makna kata Si’E adalah “lumbung pangan/beras atau bangunan tempat penyimpanan beras”. Dengan demikian Si’E juga dimaknai sebagai simbol kemakmuran bagi suatu daerah oleh orang-orang Morowali pada umumnya.

“Tetapi faktanya, janji perbaikan kondisi pertanian dan perikanan dalam program Si’E, tak pernah terealisasi. Namun yang terjadi justru lahan-lahan pertanian semakin masif dialih fungsi menjadi blok-blok produksi komoditi nikel,” katanya.

Luas daratan Kabupaten Morowali, hanya 14.489,62 kilometer persegi atau sekitar 1,4 juta hektar. Namun, lebih dari separuh daratan tersebut kini dikuasai izin konsesi untuk pertambangan atau perkebunan. Laporan Pemerintah Kabupaten Morowali ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, ada 144 izin usaha pertambangan (IUP) yang meliputi area sekitar 440.000 hektar.

Namun, berdasarkan data panitia khusus (Pansus) Tambang dan Pengelolaan Lingkungan DPRD Kabupaten Morowali, ada 185 IUP di area sekitar 500.000 hektar plus 1 (satu) Kontrak Karya (KK). Selain itu, juga terdapat izin konsesi bagi perkebunan skala besar seperti sawit. Perkebunan sawit yang dikelola oleh sejumlah perusahaan mencapai 250.000 hektar. Ini belum termasuk izin untuk perkebunan lain, dan sekitar 200.000 hektar hutan lindung.

Dengan demikian, kata Andika, jika konsesi pertambangan, sawit, dan hutan lindung, serta perkebunan lain disatukan, maka setidaknya satu juta hektar daratan Morowali secara hukum tak boleh dimanfaatkan oleh warga untuk permukiman, persawahan, atau aktivitas lain.

“Artinya, hanya ada kurang dari 500.000 hektar saja wilayah kabupaten itu yang boleh dimanfaatkan ruangnya,” katanya.

Selain itu, akibat dari produksi ruang bagi kepentingan investasi sektor pertambangan, mayoritas petani terlempar dari arena produksi pertanian. Seringkali masyarakat setempat tidak berdaya terhadap status perusahaan tambang yang sudah lebih dulu masuk ke wilayah mereka tanpa permintaan persetujuan dan penjelasan yang jujur tentang cara kerja beserta dampak pertambangan.

Tradisi ekonomi pun berputar pada homogenitas komoditi utama yakni pertambangan. Meski terbilang murah, masyarakat seakan dipaksa oleh keadaan untuk mengikuti standar ganti yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Morowali yaitu Rp 3.500 per meter bagi tanah yang bersertifikat.

Kayu-kayu yang ditebang kala perusahaan mulai membuka tambang di Cagar Alam Morowali. Foto: Jatam Sulteng

Sementara itu, bagi tanah yang tidak memiliki sertifikat dibolehkan menjual dengan harga yang mereka tentukan sendiri, yang dibawah standar pemerintah. Sedang hasil penjualan tanah dan aktivitas produksi menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap peluang dan siklus putaran transaksi keuangan di tingkat pedesaan yang sangat dipengaruhi ekonomi pertambangan misalnya, dana community development, royalti, dan program-program CSR.

“Proses-proses ini disaat yang sama memicu efek domino ekonomi berupa tumbuh suburnya tengkulak, makelar tanah, pedagang eceran, kreditor barang-barang elektronik, pedagang campuran, dan bengkel kendaraan bermotor. Demikian pula dengan migrasi tenaga kerja dari luar daerah, bertambah signifikan,” kata Andika.

Sehingga dengan demikian, kehadiran tambang tak mengubah perwajahan lama, angka kemiskinan di Kabupaten Morowali justru semakin meningkat tajam, terutama dipicu oleh friksi kapital yang menguasai lebih besar lahan dari pada ruang kelola masyarakat, baik produksi pangan lokal maupun produksi tanaman komoditas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menunjukkan, sekitar 40.000 jiwa dari sekitar 210.000 jiwa penduduk Morowali masih tergolong miskin.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,