,

Cegah Konflik Meluas, Pemerintah OKI Didesak Cabut Izin Perusahaan Sawit

Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, luasnya sekitar 21.469,90 kilometer persegi. Wilayahnya didominasi dataran rendah, seperti rawa dan gambut. Lahan rendah yang banyak air ini, menjadi sasaran empuk para investor perkebunan sawit. Sedikitnya, ada 54 perusahaan perkebunan sawit yang sudah mendapatkan izin operasi dari pemerintah OKI, yang menguasai sekitar 350 ribu hektar lahan. Namun, keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut menimbulkan konflik agraria yang hingga kini tak kunjung tuntas.

Terkait persoalan tersebut, Syarifuddin Gushar, pegiat lingkungan dari Bumi Hijau Nusantara (BHN), mendesak pemerintah OKI untuk segera melakukan evaluasi dan mencabut izin operasi perusahaan perkebunan sawit.

“Salah satu cara paling efektif untuk menghindari pecahnya konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit yang baru adalah dengan mencabut izin operasi perkebunan sawit tersebut. Pemerintah harus bertindak tegas,” katanya.

Persoalan lain, dekatnya lokasi perkebunan kelapa sawit dengan perkampungan warga akan berdampak pada penyediaan air bersih. Hal ini dikarenakan kelapa sawit membutuhkan banyak asupan air. “Sudah ada beberapa sungai di OKI yang dinyatakan tercemar seperti sungai Air Sugihan yang telah diteliti Unsri baru-baru ini,” ujar Syarifuddin, awal Januari 2015 lalu.

“Pemerintah jangan hanya berpikir untuk mendongkrak pendapatan asli daerah. Pemerintah harusnya memikirkan efek jangka panjang sebuah investasi yang jangan sampai nantinya merugikan masyarakat,” katanya.

Tak kunjung tuntas

Sejak beberapa tahun lalu, konflik lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten OKI terus mencuat. Misalnya saja, konflik warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, dengan PT. SWA yang merupakan satu dari puluhan konflik yang belum terselesaikan.

Baru-baru ini, warga Desa Marga Tani, Kecamatan Air Sugihan, mendatangi kantor Bupati OKI. Mereka menuntut kembali lahan mereka seluas 2.700 hektar yang telah dibangun perkebunan kelapa sawit oleh pihak perusahaan. Padahal, lahan tersebut merupakan permukiman transmigrasi.

Budiman, Anggota DPRD Kabupaten OKI, mengatakan izin prinsip yang telah dikeluarkan pemerintah OKI pada lahan tersebut sudah bermasalah. “Izin prinsip ini tidak cocok dan dikeluarkan pada masa bupati sebelumnya,” ujar Budiman.

Budiman mengatakan, dirinya berharap pihak pemerintah dalam hal ini tim terpadu yang diketuai Wakil Bupati OKI, H M Rifai, dapat menengahi permasalahan hingga selesai.

Pemerintah dilema

Asmar Wijaya, Kepala Dinas Perkebunan OKI, menyatakan lahan di Kabupaten OKI banyak yang tidak tergarap masyarakat sehingga pemerintah memberikan izin kepada investor perkebunan kelapa sawit. Selain itu, kata Asmar, keberadaan perusahaan juga membantu perekonomian masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. “Pemerintah akan mencarikan solusi jangan sampai keberadaan perkebunan sawit membunuh pencarian masyarakat,” katanya.

Menurut Asmar, saat ini tidak akan ada lagi pengembangan perkebunan kelapa sawit. “Kita berharap kepada perusahaan untuk memperhatikan lingkungan di sekeliling perkebunanya, jangan sampai para petani tidak bisa bercocok tanam seperti yang terjadi di beberapa kecamatan,” ungkapnya.

Senada dengan Asmar, Kabag Humas OKI Dedi Kurniawan mengatakan, keberadaan perkebunan sawit untuk kesejahteraan masyarakat melalui plasma. Akan tetapi, kata Dedi, pemerintah akan terus berupaya mencarikan solusi. “Kalau memang moratorium adalah solusinya, kenapa tidak? Semua permasalahan akan dikaji terlebih dahulu,” jelasnya.

Sebelumnya, Bupati OKI Iskandar, mengatakan pihaknya akan mencarikan solusi dan segera berkonsultasi dengan Provinsi Sumsel untuk mencari jalan keluarnya. “Apakah kita perlu melakukan moratorium bagi izin yang sudah kita keluarkan atau tidak,” tegasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,