, ,

Kenalkan Ekowisata Wilayah Adat sampai ke Oslo

“Kami ingin membagi keindahan hidup kami. Membagi nilai-nilai dan cara hidup kami dengan para pengunjung tanah.” Demikian kata tokoh adat dari Sui Utik, Kalimantan Barat,  Raymundus Remang, kala mewakili komunitas mereka di Reiselivsmessen Oslo, pameran pariwisata Skandinavia, awal Januari 2015.

Dalam pameran itu, dia memperkenalkan kearifan menjaga hutan dan budaya mereka. Komunitas ini berusaha menjaga hutan adat lebih 9.000 hektar, meskipun penebangan liar dan ekspansi perkebunan sawit ‘mengurung’ wilayah adat mereka. Di sana, di tengah-tengah hutan nan indah, rumah panjang tradisional berdiri.

“Ini ikatan kuat antara budaya yang berhubungan dengan alam. Kami tetap diberkati kekayaan berupa keindahan alam dan budaya kaya,” katanya dalam rilis GreenIndonesia kepada media, Sabtu (10/1/15).

Warga Sui Utik adalah  komunitas Dayak Iban. Mereka menjalankan sistem pengelolaan hutan tradisional dikenal dengan Tembawang. Yakni, sebagian kecil wilayah hutan dibuka tanam padi. Setelah lima tahun, wilayah dihutankan kembali dengan menanam beragam kayu, pohon buah-buahan dan banyak produk non kayu penting lain seperti rotan dan karet.

Rumah Betang mereka ditinggali empat generasi dengan total 250 penghuni.  Rumah ini bisa menjadi tempat wisatawan tinggal. Rumah wujud mahakarya masyarakat yang menggunakan hasil hutan mulai peralatan dapur dari kayu hingga anyaman keranjang dan tikar untuk kain.

Tak hanya komunitas adat Sui Utik. Dalam pameran itu, GreenIndonesia juga mengajak beberapa komunitas adat lain, seperti Masyarakat Mollo di Nausus, bagian Barat Pulau Timor; Kelompok penenun Paluanda Lama, di Sumba Timur; Masyarakat adat hutan Guguk di Jambi, Sumatra; Masyarakat Sawai di pulau Seram, Maluku; dan Komunitas masyarakat Jatiluwih di Tabanan, Bali.

Petronela Pihu, manajer pemasaran Paluanda Lama Hamu, mewakili kelompok tenun dari Sumba Timur. Mereka menenun menggunakan tanaman lokal sebagai pewarna alami dan unik.

Dari Mollo, “Mama Aleta” Baun, memimpin kelompok terdiri dari 150 penenun perempuan protes tambang marmer selama lebih setahun. Tambang merusak hutan Mollo dan mengancam kualitas air mereka. Para lelaki gantian bekerja rumah tangga. Empat perusahaan tambang tutup. Mama Aleta meraih Goldman Prize Award. Kini, mereka tetap menjaga tanah dan tradisi.

Saat ini, lokasi tambang menjadi pusat komunitas dan rumah para wisatawan kala ke Mollo. Turis bisa tinggal dan menikmati pembuatan tenun dan pertunjukan budaya.

Hutan masyarakat adat Sui Utik yang masih terjaga , di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana
Hutan masyarakat adat Sui Utik yang masih terjaga , di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana

Begitupula Komunitas Adat Guguk di Jambi.  Mereka bertahan meski penebangan liar dan ekspansi perkebunan sawit terjadi di lahan dan teluk mereka. Hutan mereka menjadi habitat harimau yang masih terjaga.  Lalu Masyarakat Sawai, di Seram, Maluku.  Dulu mereka pemburu burung langka kini pengelola hutan lestari.

Masyarakat Jatiluwih di Bali ini menjaga sumber daya air murni melalui Subak. Ia sistem pengelolaan air kuno dipandu filosofi hidup Tri Hita Karana. Filosofi ini menekankan pada tiga sumber kebaikan yang memandu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, masyarakat dan alam.

Indonesia memiliki lebih 400 kelompok etnis tersebar di kepulauan terbesar di dunia. Negara ini memiliki lebih 14.000 pulau besar dan kecil dengan keragaman pemandangan indah dan unik.

GreenIndonesia melihat potensi besar pariwisata berbasis eco-budaya ini. Sebuah studi menemukan,  dari 26% populasi wisata, aspek keberlanjutan dan tanggung jawab memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan wisatawan.

Chandra Kirana, inisiator GreenIndonesia mengatakan, ada pasar cukup besar dari wisata petualangan. Wisatawan ini, katanya, ingin menjelajahi tempat-tempat baru dan budaya berbeda sambil membawa perubahan positif. “Indonesia diberkahi dengan tempat-tempat menakjubkan yang belum dijelajahi, dengan budaya yang sangat kaya dan beragam.“

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, Pemerintah Indonesia menyambut upaya peningkatan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan dengan memperkuat kapasitas mereka membangun ekonomi berkelanjutan. “Pemerintah juga menyadari mereka masih harus menghadapi masalah konflik lahan,” katanya.

Untuk itu, Kementerian LHK sedang merancang Keputusan Presiden mengenai pengakuan hak-hak masyarakat adat agar konflik bisa teratasi. Masyarakat adat yang bergantung hutan, katanya,  berperan penting mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia. “Kami tidak akan bisa bergerak maju sebagai sebuah negara tanpa mereka.”

Yuwono A. Putranto, Duta Besar Indonesia untuk Norwegia mengatakan, partisipasi dalam Reiselivsmessen 2015 upaya mempromosikan Indonesia sebagai tujuan wisata, Norwegia juga Skandinavia. “Ini juga pendekatan inovatif memperkuat kesadaran melestarikan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.”

Mengolah sajian kuliner ikan sungai di Sui Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana
Mengolah sajian kuliner ikan sungai di Sui Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,