Keinginan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk melebur BP REDD+ ke dalam direktorat di Kementerian LHK, dinilai menutup kembali peluang daerah untuk berperan memerangi perubahan iklim.
“Hadirnya BP REDD+ selama ini telah membuka peluang daerah untuk mengambil peranan. Sebab, selama ini cara mengelola hutan dan lahan gambut di Indonesia, termasuk cara pencegahan kerusakannya dilakukan secara terpusat. Terkonsentrasi ke pusat. Pola ini ternyata gagal mencegah kerusakaan hutan dan lahan gambut di Indonesia. Hadirnya BP REDD+ membuka peluang peranan daerah dalam mengatasi persoalan tersebut,” kata Najib Asmani, akademisi dari Universitas Sriwijaya, Minggu (11/01/2015).
“Sebaiknya BP REDD+ harus menjadi badan mandiri setelah pemerintahan SBY berakhir, seperti pernah dikatakan Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ beberapa waktu lalu,” kata Asmani, yang juga aktif di REDD+ Sumsel.
Hadirnya BP REDD+, kata Asmani, secara tidak langsung membuka peluang banyak pihak untuk berperan dalam mengatasi persoalan perubahan iklim di Indonesia. “Adanya BP REDD+ membuat banyak pihak akhirnya membantu. Kenapa kita hentikan cara ini? Sebab, faktanya selama ini birokrasi kita gagal mencegah perubahan iklim,” ujarnya.
Asmani pun menyarankan sebaiknya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melakukan evaluasi terhadap BP REDD+ dan kementerian yang dipimpinnya terkait dengan pengelolaan hutan. “Jika kinerja BP REDD+ lebih lemah dibandingkan kementerian, ya bubarkan atau leburkan saja. Tapi yang perlu diketahui, persoalan di birokrasi selama ini sangat lemah dalam proses perizinan. Izin Hutan Desa (HD) yang katanya dapat diselesaikan selama 60 hari, buktinya hingga bertahun-tahun,” kata Asmani.
Bagaimana dengan Sumatera Selatan dengan wacana peleburan BP REDD+? “Ada dan tidak adanya BP REDD+, Sumsel tetap fokus dalam mencegah perubahan iklim. Buktinya ada staf khusus mengenai perubahan iklim. Gubernur Sumsel Alex Noerdin sudah mencanangkan ini jauh sebelum adanya MoU dengan BP REDD+ pada tahun 2014 lalu,” ujarnya.
Dalam mengupayakan memerangi perubahaan iklim tersebut, Sumsel telah menyusun sejumlah agenda kerja, yang melibatkan berbagai pihak. Dari masyarakat, pegiat lingkungan hidup, pelaku usaha, akademisi, dan pemerintah.
Memang, adanya MoU antara pemerintah Sumsel dengan BP REDD+ kian memperkuat upaya mencegah kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut di Sumsel. “Sumsel ini korban kebijakan pengelolaan hutan terpusat. Tapi kita tetap berupaya mengatasi kerusakan hutan dan lahan gambut tersebut. Kita sudah menderita selama 17 tahun akibat kabut asap,” katanya.
“Sebaiknya, BP REDD+ mandiri seperti sebelumnya, jika Indonesia memang mau di depan dalam mengatasi perubahan iklim,” harapnya.
BP REDD+ dan Pemerintah Sumsel sendiri telah melakukan penandatanganan kesepahaman di Palembang, Rabu (20/08/2014). Keduanya sepaham melaksanakan program penurunan emisi gas rumah kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+), serta mengembangkan, memantau program dan kegiatan implementasi REDD+ di Sumatera Selatan. BP REDD+ diwakili ketuanya Heru Prasetyo dan Sumatera Selatan diwakili gubernurnya Alex Noerdin. Kesepahaman ini berjalan hingga 31 Desember 2016.
Dalam sambutannya, Alex Noerdin berharap program REDD+ di Sumsel dapat mendorong terwujudnya “Sumsel hijau”. Yaitu, Sumsel yang terdepan dalam mensukseskan penyelamatan hutan dan lahan gambut di Indonesia.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio