,

ICEL: 17 Pekerjaan Rumah Jokowi-JK Untuk Perbaiki Perlindungan Lingkungan Hidup

Indonesian Center for Environmental Law ( ICEL ) mengeluarkan catatan tahunan 2014 mengenai perlindungan lingkungan hidup di Indonesia di akhir Desember 2014 kemarin. Dalam catatan ICEL, secara politik pemerintahan Jokowi-JK dianggap antithesis dari pemerintahan sebelumnya karena lahir dari poros oposisi yang dianggap telah memberikan harapan baru bagi perubahan masa depan Indonesia, termasuk dalam isu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Namun demikian ICEL menjadikan tahun 2014 sebagai tahun refleksi bagi pemerintahan baru mengingat banyaknya persoalan Lingkungan Hidup (LH) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang seharusnya dicermati dalam merumuskan langkah ke depan yang lebih baik.

Berdasarkan data dari JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif) dan Koalisi CSO, hingga tahun 2013 terdapat kurang lebih 4.050.253,38 Ha atau 81,4 persen tumpang tindih dengan kawasan hutan, dan sekitar 2.637.953,94 Ha bertumpang tindih dengan perijinan (konsesi HPH, tambang, sawit, dan HTI). Besarnya luasan tumpang tindih tersebut menunjukkan tingginya konflik dan potensi konflik perebutan ruang yang berimplikasi pada semakin sempitnya ruang kelola rakyat yang mengancam kedaulatan pangan. Data Perkumpulan Huma menunjukkan terdapat 281 konflik di 24 provinsi meliputi 80 kaus kehutanan.

Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo kepada Mongabay mengatakan, lembaganya memberikan catatan penting terhadap dinamika perlindungan LH dan SDA pada tahun 2014. Pertama, telah terdapat inisiasi bagi perbaikan tata kelola LH dan SDA pada tahun 2014, namun masih jauh dari harapan dan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Salah satu sebabnya lamban implementasi keterbukaan informasi sebagai mandat dari UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), munculnya gagasan perumusan RUU Rahasia Negara, lemahnya pelaksanaan keterbukaan informasi proaktif LH dan SDA, lambannya penuntasan agenda moratorium izin kehutanan dan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 K/L.

Pelaksanaan inisiatif percepatan penetapan kawasan hutan yang di dorong oleh UKP4 dan KPK melalui NKB 12 K/L minim partisipasi publik. Berdasarkan data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, sampai dengan Agustus 2014, realisasi penetapan kawasan hutan seluas 69.758.922,38 Ha atau 56,99 persen dari total luas kawasan yang ditunjuk (122.404.872,67 Ha). Artinya, selama 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan sebesar 45,70 persen, sebelumnya di tahun 2009 Kemenhut menetapkan seluas 13.819.510, 12 Ha atau sebesar 11,29 persen dari total kawasan yang ditunjuk. Sayangnya, proses penetapan kawasan ini masih minim partisipasi publik dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga.

Berikutnya, legislasi dan regulasi LH dan SDA belum terarah, diindikasikan lemahnya pembaruan legislasi SDA seperti agenda revisi UU Kehutanan, RUU Perlindungan SDA, RUU Perlindungan Keanekaragaman Hayati, RUU Pengelolaan Sumber Daya Genetik, dan revisi UU Migas yang secara yuridis sosiologis sangat diperlukan dalam memberikan arah pengelolaan SDA yang lebih baik.

“Hal ini diperparah oleh lambannya penyusunan regulasi pelaksana di bawah UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang tidak berlangsung optimal dalam kurun waktu 4 tahun,” kata Henri.

Seorang penebang liar di hutan Suaka Margasatwa Kerumutan beristirahat di tengah-tengah aktifitasnya, pada Sabtu (12/7/2014). Penebang yang berumur 27 tahun ini mengaku terpaksa melakukannya setelah hutan sumber matapencahariannya dihancurkan perusahaan pulp and paper.  Foto: Zamzami
Seorang penebang liar di hutan Suaka Margasatwa Kerumutan beristirahat di tengah-tengah aktifitasnya, pada Sabtu (12/7/2014). Penebang yang berumur 27 tahun ini mengaku terpaksa melakukannya setelah hutan sumber matapencahariannya dihancurkan perusahaan pulp and paper. Foto: Zamzami

Berikutnya, ICEL mencatat lemah dan belum tuntasnya konsolidasi kelembagaan kementerian LH dan SDA yang kuat dan berintegritas yang menyisakan agenda penting pemerintahan saat ini. Begitu juga penegakan hukum pasang surut, dimana belum ada sistem dan kelembagaan penegakan hukum yang mapan dan dapat menjamin penuntasan kejahatan LH dan SDA yang melibatkan pelaku intelektual.

Selain itu agenda penuntasan kasus/perkara penting yang teracam terbengkalai, misalnya komitmen pemerintahan sebelumnya untuk menuntaskan 43 kasus prioritas dan tindaklanjut atas perusahaan hitam berdasarkan hasil program peringkat kinerja perusahaan (Proper).

Catatan positif ICEL salah satunya dalam penegakan hukum oleh Presiden Jokowi,  yakni pemberian grasi terhadap Eva Bande yang memperjuangkan hak-hak petani atau agraria namun keputusan ini belum menunjukkan keputusan yang konsisten mengingat masih banyak aktivis yang mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan hak-hak atas LH dan SDA. Pasang surut penegakan hukum juga disebabkan oleh rencana keputusan pemerintah untuk membeli aset lapindo yang kontraproduktif dengan Putusan MK 83/2013.

Pemerintahan Jokowi-JK perlu melakukan terobosan yakni, tuntaskan pembenahan kelembagaan LH dan SDA agar memiliki fungsi kuat dan diisi orang-orang berkapasityas dan berintegritas, Mempu menggalang kekuatan pro lingkungan hidup termasuk kelompok masyarakat sipil.

“Review kebijakan sebelumnya yang tidak pro lingkungan hidup dan tuntaskan segera kasus-kasus kejahatan yang selama ini telah terjadi,” kata Henri Subagiyo.

Berikut 17 Rekomendasi ICEL bagi Pemerintahan Jokowi-JK di tahun 2015 untuk perlindungan LH dan SDA :

  1. Percepatan pelaksanaan mandat UU KIP oleh seluruh pemerintahan baik nasional maupun daerah;
  2. Memperkuat mekanisme penegakan hukum maupun insentif-disinsentif bagi pelanggaran mandat UU KIP;
  3. Mereview UU Ormas dan mengeluarkan usulan RUU Rahasia Negara dalam Prolegnas 2015 – 2019;
  4. Memperkuat Renaksi, mekanisme insentif-disinsentif, dan pelibatan masyarakat sipil dalam pelaksanaan Open Government Partnership (OGP);
  5. Meningkatkan mekanisme transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan hutan dan lahan;
  6. Menuntaskan agenda pelaksanaan NKB 12 K/L dan moratorium izin di bidang kehutanan;
  7. Mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup, kehutanan, dan pertambangan;
  8. Mendorong perbaikan tata kelola Migas dalam revisi UU Migas dengan memperhatikan masukan masyarakat sipil
  9. Penyusunan agenda prioritas kerja dalam perumusan legislasi dan regulasi LH dan SDA dengan memforkuskan pada perlindungan LH dan tata kelola kehutanan, perkebunan, dan pertambangan (industri ekstraktif)
  10. Mempercepat penuntasan regulasi pelaksana di bawah UU PPLH
  11. Menyelesaikan agenda pembentukan organisasi dan tata laksana kementerian dengan mempertimbangkan penguatan fungsi yang harus diemban baik berdasarkan Nawacita maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  12. Memperkuat mandat koordinasi kementerian dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan sebagai implikasi tidak adanya Menteri Koordinasi yang melaksanakan fungsi ini. Mandat ini bisa diberikan kepada Menteri Koordinasi Perekonomian dengan memperhatikan unsur kementerian yang relevan di bawahnya;
  13. Mendorong adanya mekanisme penilain rekam jejak yang melibatkan PPATK dan KPK dalam penentuan pejabat struktural kementerian serta direktur dan komisaris BUMN.
  14. Mengawal dan menuntaskan perbaikan sistem dan kelembagaan penegakan hukum di tingkat penyidikan dan penuntutan;
  15. Mengawal dan menuntaskan komitmen penanganan kasus atau perkara yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya;
  16. Mengembangkan terobosan kelembagaan guna mempercepat upaya menjerat mafia SDA di semua sektor SDA (hutan, tambang, kebun, dan lingkungan), termasuk mengeluarkan keputusan tegas yang mengoreksi penegakan hukum akibat semburan lumpur sidoarjo.
  17. Mengembangkan perangkat perlindungan bagi masyarakat yang memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup atau dikenal sebagai Anti-Strategic Law Againts Public Participation (Anti-SLAPP).
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,