,

BKSDA Selidiki Kematian Harimau Sumatera di Taman Satwa Taru Jurug Surakarta

Jumlah harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) yang dirawat lembaga konservasi di Perusahaan Daerah Taman Satwa Taru Jurug (PD TSTJ) Surakarta, Jawa Tengah kembali berkurang. Sebelumnya TSTJ merawat lima ekor harimau sumatera. Namun pada Senin, 29 Desember 2014, pukul 17.30 WIB, satu harimau sumatera betina berusia 10 tahun 7 bulan, bernama Vici mati.

“Sekarang ada empat ekor harimau sumatera yang dirawat di TST Jurug,” kata Lilik Kristianto, Direktur utama TST Jurug kepada Mongabay.

Ia mengatakan pihak TST Jurug akan secara terbuka menggali penyebab kematian Vici secara ilmiah. Pihaknya meminta bantuan ahli/akademisi (patologi, bakteoriologi, mikro anatomi dan satwa liar) dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada untuk melakukan kajian dan pemeriksaan laboratorium untuk mendalami penyebab kematian Vici.

“Nanti temuan tim di lapangan akan dibuka. Kami selalu meminta tim independen untuk mengecek setiap ada kematian satwa,” lanjut Lilik.

TST Jurug terus mengedepankan sekali kesejahteraan satwa. Lilik menambahkan, pihaknya sering diskusi seperti pemenuhan kandang satwa agar menyerupai habitatnya dengan harapan bisa diterapakan di TST Jurug. Banyak kandang yang lama, namun perbaikan akan dilakukan secepatnya.

“TST Jurug terus mempercepat pembangunan fasilitas dan kandang agar kesejahteraan dan kesehatan satwa terus membaik,” kata Lilik.

Berdasarkan surat visum nomor TSTJ-V/20/XII/14 yang ditanda tangani oleh Kepala Seksi Konservasi Fauna drh. Siti Nuraini kematian Vici didiagnosa awal mengalami penemonia, hidropericardium, hidrothoraks dan enteris hemorhagi. Dalam protokol seksi dijelaskan sejarah klinis, bahwa tanggal 28 Desember 2014 Vici lesu dan tidak mau makan, namun mau minum.

Surat dari pengelola TST Jurug, Surakarta kepada BKSDA Jateng tentang kematian Vici. Foto : Tommy Apriando
Surat dari pengelola TST Jurug, Surakarta kepada BKSDA Jateng tentang kematian Vici. Foto : Tommy Apriando

Penanganan pada 28-29 Desember 2014 dilakukan oleh dokter hewan TSTJ dan melakukan konsultasi penanganan dengan ahli harimau Sumatera dan dokter hewan dari kebun binatang lain. Bahkan sudah dilakukan injeksi Bplex 10 cc dan spyradin 6 cc.

Hasil diseksi (outopsi) menunjukkan pada lambung berisi air. Usus halus dan urus besar terdapat hemorhagi di bagian mukosa.  Paru-paru di beberapa tempat berwarna hitam dan rongga dada terdapat penimbunan cairan. Pada bagian jantung terdapat pus di pembungkus jantung dan terdapat penimbunan cairan di pericardium.

Kepala Seksi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Seksi Konservasi Wilayah 1 Surakarta, Johan Setiawan kepada Mongabay mengatakan, mereka sudah merespon apa yang terjadi di TST Jurug. “Kami  tentu prihatin. Namun kalau kita lihat dari aspek kepatuhan dan ketaatan dalam hal administrasi, TST Jurug termasuk tertib. Mereka membuat laporan Rumah Tangga Konsumen dan Triwulan secara baik. Penyediaan animal keeper dan dokter hewan juga baik, bahkan mereka jadikan pegawai tetap,” kata Johan.

Terkait kematian harimau sumatera ini, dia mengatakan harus dilihat secara komprehensif penyebab kematiannya. Pihak BKSDA telah membaca dan cek uji medis awal kematian satwa itu. BKSDA mengapresiasi pihak TST Jurug yang melibatkan pihak ketiga dalam hal ini FKH UGM untuk menganalisis dan mengkaji kematian Vici.

“Ada komitemen tinggi piha TST Jurug untuk membuka dan mencari tahu kematian satwa, denga harapan ke depan kesejahteraan satwa membaik dan kematian satwa tidak berulang,” kata Johan.

Karena aspek klinis dan medisnya dipercayakan kepada pihak UGM, maka BKSDA coba menggali informasi dari aspek lain dari direksi, animal keeper dan dokter hewannya, misalnya tentang pola makan yang diberikan kepada satwa, kondisi kandang. “Temuan awal kami didapati kurangnya variasi pakan bagi satwa,” tambah Johan.

Karena berawal dari masalah pencernaan, BKSDA menduga kematian Vici terkait pakan seperti variasi pakan yang kurang. Tetapi, jumlah kuantitas pakan yang diberikan sama dengan kebun binatang lainnya, antara 3,5 kg hingga 4 kg ekor ayam, sama dengan 4 ekor daging.

BKSDA juga belum bisa memastikan, apakah lantai kandang dari semen meski kondisi kandang bersih dan higienis, mempengaruhi kesehatan dan kematian satwa.

Temuan awal BKSDA SKW 1 tersebut sudah dilaporkan pada 5 Januari 2015 kemarin kepada pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun lapporan tersebut tidak menyimpulkan kematian satwa tersebut, hanya memaparkan temuan di lapangan dan KLHK yang akan menentukan.

Johan menambahkan pengurus TSTJ mengakui adanya penyesuaian pengelolaan karena keterbatasan anggaran. BKSDA Jawa Tengah bakal mengirimkan surat teguran kepada TSTJ agar kematian satwa tidak terulang lagi.

“Aneh memang, Vici sudah 10 tahun lebih di TST Jurug, lahir dan besar disana. Artinya 10 tahun ini tidak ada masalah. Lain cerita jika Vici baru kami titipkan dari hasil penyitaan. Lalu setelah 5 bulan atau 3 bulan mati, hal ini mungkin karena pengaruh perlakuan yang tidak baik,” tambahnya.

Harimau sumatera di TST Jurug, Surakarta, Jawa Tengah berendam di kandang karantina. Kematian Vici akan dianalisis dan dikaji FKH UGM. Foto : Tommy Apriando
Harimau sumatera di TST Jurug, Surakarta, Jawa Tengah berendam di kandang karantina. Kematian Vici akan dianalisis dan dikaji FKH UGM. Foto : Tommy Apriando

Sementara itu, Didik Raharyono, peneliti harimau kepada Mongabay mengatakan, kematian Vici merupakan sebuah kabar duka. Dari faktor usia Vici bisa dikatakan sudah tua, apalagi ia lahir dan besar di TST Jurug. Dia meminta TST Jurug membuka hasil analisis dan temuan dari pihak FKH UGM tersebut, agar publik tahu penyebab kematian Vici dan harapan ada perbaikan agar tidak ada lagi kematian satwa di TST Jurug.

Kebun Binantang sebagai konservasi memang diberikan mandat untuk memberikan edukasi, kegiatan ilmiah dan konservasi satwa. Maka kelayakan kandang, pakan, adanya dokter hewan dan pengawasan secara baik. Satwa sebisa mungkin dirilis kembali ke habitatnya.

“Terkait pakan harus sangat diperhatikan, jangan memberikan ayam mati (bangkai) agar bebas bakteri. Ayam masih segar, jika ayam peliharaan, harus dicek juga vaksinnya,” kata Didik.

Ia menambahkan, pihak BKSDA perlu melakukan pendampingan secara berkala terhadap taman satwa atau kebun binatang, mulai dari pengelolaan satwa, kontrol laporan dan melihat kondisi di lapangan secara langsung.

“Untuk pemerintah perlu melakukan pemantauan dan pembinaan bagi kebun binatang dalam mengelola satwa. Ini penting agar kesejahteraan dan kematian satwa tidak terjadi lagi,” tambah Didik.

Kematian beruntun di TST Jurug tahun 2014

Selama tahun 2014 telah terjadi kematian satwa di TST Jurug. Pada 20 Februari 2014 seekor anak unta berumur tiga hari mati karena hypotermia (kedinginan). Pada 28 Mei 2014, orangutan betina bernama Pebi mati, dengan diagnosa disentri. Pada 11 Juni 2014, orangutan jantan bernama Kirno mati dengan diagnosa terkena hepatitis.

Sampah plastik bungkus makanan dari pengunjung yang diberikan ke satwa berserakan di kandang orangutan di TST Jurug, Surakarta.. Foto : Tommy Apriando
Sampah plastik bungkus makanan dari pengunjung yang diberikan ke satwa berserakan di kandang orangutan di TST Jurug, Surakarta.. Foto : Tommy Apriando

Pada 26 Juni 2014, singa afrika berusia 19 tahun, kiriman Kebun Binatang Surabaya (KBS) bernama Ony mati.

Johan menegatakan, ini kematian beruntun sepanjang tahun 2014.  “Belum ada informasi balasan dari pusat kepada BKSDA Jawa Tengah. Baru instruksi untuk melakukan investigasi awal. Kami berharap tidak ada lagi kemarian satwa di TST Jurug,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,