, , , ,

Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar (bagian 2)

Mengelola gambut tak bisa seenaknya. Ia tak dapat dibelah-belah semau hati, terlebih pada kubah. Pengelolaan harus melihat satu kesatuan hidrologis (lansekap). Tanamanpun harus beradaptasi dengan gambut. Bukan sebaliknya, gambut dipaksa mengikuti keinginan hati yang menggunakan lahan. Gambut tempat menyimpan air. Kala, eksploitasi tak memperhatikan karakteristik, bahaya mengintai. Gambut kering, memicu kebakaran. Inilah yang terjadi di negeri ini selama belasan tahun, tak pelak, kebakaran bak jadi “tamu” tahunan.  Apa kata para pakar gambut soal ini?

Prof Azwar M’aas, Pakar Gambut dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan, kala membahas gambut harus membicarakan hukum air yang mengalir dari atas ke bawah. Kala, kubah gambut ditoreh oleh kanal-kanal, maka air akan lepas.

Diapun menjabarkan beberapa hal prinsip dalam pengelolaan gambut. Menurut dia, mempertahankan kubah gambut sangat penting agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, dan terhindar dari banjir maupun kekeringan. Satuan hidrologis, katanya,  menjadi dasar peruntukan, zona konservasi (kubah), zona penyangga,  dan zona pemanfaatan, dengan densitas saluran makin sedikit ke arah kubah. “Satuan hidrologis dengan pengelolaan berbeda dan tak ada ketergantungan dengan ekosistem akan jadi sumber bencana,” katanya kala berbicara dalam diskusi soal gambut, Rabu (14/1/15) di Jakarta.

Lalu, pilihan komoditas adaptif ke lingkungan alami untuk zona yang makin mendekati kubah. “Jika gambut ini dijadikan pada pohonan atau tanaman lahan kering, dengan memaksa gambut yang basah untuk kering. Ini bahaya….”

Jadi, katanya, air tanah harus tetap segar bergerak, tidak stagnan. Azwar mencontohkan, pada kubah tetap hutan alami , zona penyangga, HTI dengan tanaman adaptif rawa,  zona kanalisasi terbatas HTI, pada zona aerasi, perkebunan. Lalu pada zona tanggul alam dan pasang surut itu tanaman pangan atau tanaman semusim.

Microsoft Word - Document5

Kondisi di lapangan, banyak gambut tercabik-cabik kanal (drainase) termasuk pada kubah. Hal ini, katanya, akan menimbulkan dampak lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering tidak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau, polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan.

Berbicara gambut daratan dan kepulauan, kata Azwar, dalam pengelolaan harus dengan perlakuan berbeda. Pemanfaatan gambut kepulauan harus minimal gangguan.

Pengelolaan, katanya, berpedoman pada satuan hidrologis gambut dengan mengedepankan desain fungsional (zonasi konservasi, konversi). Juga hubungan serasi antara penguasaan lahan skala besar dan masyarakat dalam satuan hidrologis atau landscape yang saling terhubung. “Masalah selama ini, dalam satu kesatuan hidrologis banyak penguasaan dan satu sama lain berbeda-beda kepentingan.”

Selama ini,  praktik-praktik masyarakat, misal di Pulau Padang, terbukti lebih lestari dan tak merusak tatanan hidrologi. Warga menanam karet 7.931 hektar, sagu 8794 hektar, kelapa 1766 hektar, sampai perikanan.

Untuk itu, kata Azwar, perlu sinkronisasi peraturan perundangan biofisik terkait pemanfaatan dan konservasi.  Termasuk, pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.

Sebenarnya, mengelola gambut itu sulit mau dibilang  berkelanjutan. Azwar lebih senang menyebut dengan memperpanjang pengelolaan gambut. Untuk itu, katanya, hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain,  perhitungan neraca air/lengas tanah di zonasi peruntukan dalam satuan hidrologis, gambut tidak kering di permukaan, lembab dan mampu menyerap air, dan minimum usikan. Kemudian, tanaman menyesuaikan ekisistem gambut, bukan sebaliknya. “Jangan ekosistem gambut yang harus menyesuaikan diri dengan tanaman.”

Kanal-kanal ini menyodet gambut. Airpun keluar dan lepas hingga mendorong gambut kering dan memicu kebakaran. Foto: presentasiAzwar M'aas
Kanal-kanal ini menyodet gambut. Airpun keluar dan lepas hingga mendorong gambut kering dan memicu kebakaran. Foto: presentasiAzwar M’aas

Selain itu, gambut, jangan dibiarkan terbuka tanpa tumbuhan penutup, jangan diberi input berlebihan dan memperbaiki suasana untuk perombakan oleh mikrobia. Untuk tujuan penataan air, ucap Azwar, perhitungan neraca air, perlu peta lebih rinci, misal, peta skala 1:5.000. LiDAR dapat sebagai dasar peta skala 1 : 2.000.

Peta ini, katanya, sekaligus sangat berguna  bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, perancangan zona adapatasi. Peta juga bermanfaat buat menilai, dampak lingkungan versus ekonomi di lahan gambut, termasuk bahaya kebakaran lahan.

Dalam presentasi, Azwar menyebutkan beberapa hal penyebab gambut mudah terbakar seperti terjadi selama ini. Antara lain, aturan pengelolaan air berbasis neraca lengas tetapi tak memperhatikan satuan hidrologis,  hanya berdasar konsesi atau penguasaan lahan, dan tak ada sumber air di posisi lebih tinggi karena kubah rusak. Lalu, saluran dan bangunan pengontrol, drainasi berlebihan hingga menguras air ke posisi lebih rendah, kemarau, lama tidak hujan berurutan dan akumulasi penguapan. Penyebab lain, air tanah terlalu dalam hingga kemampuan aliran kapiler gambut rendah, kesadaran lingkungan rendah, dan cara termudah membuka lahan dengan membakar. Selain itu, terjadi konflik kepentingan, pengawasan lemah, permainan oknum. Kondisi tambah parah kala antarpemegang kendali kewenangan tidak sinergi.

Untuk itu, dia menawarkan beberapa upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut. Pertama, satu satuan hidrologis dengan satu pengelolaan, sama dengan pengelolaan sungai dan DAS-nya. “Siapa berbuat apa dan kompensasi perlindungan dari hulu sampai hilir.”

Kedua, menerapkan eko-hidro yang arif, bukan hanya menata air di saluran, tetapi lebih penting menjamin ada cukup air di posisi lebih tinggi. Hingga secara grafitasi mampu membasahi gambut di bagian bawah, dan kubah terlindungi.

Ketiga, penutupan kanal pembatas yang terlanjur dibuat di batas satuan penguasaan dalam satu kesatuan hidrolgis. Keempat, kejelasan status lahan, hindari kawasan abu-abu yang tidak ada penanggungjawab.

Kelima, penyatuan sistem peringatan dini potensi mudah terbakar, baik aspek hidrometeorologi, posisi gambut terhadap bentang lahan. Juga kondisi fisik gambut dan tumbuhan di atasnya, muka air tanah, keterlintasan, status penguasaan, kerawanan sosial, sampai kesiapan sarana pemadaman dini. Juga pengelolaan airpun mesti bersama-sama, baik, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kemendagri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Bappenas, UKP4, akademisi dan lain-lain.

Haris Gunawan, Pakar Gambut dari Universitas Riau juga memberikan pandangan tak jauh beda. Menurut dia, dalam mengelola, harus sesuai watak asli gambut  yang basah. “Jadi itu sebenarnya, pilihan. Pilihan tak mudah diambil. Jelas dalam konteks lebih besar harus akomodir semua kepentingan tetapi pelahan harus kembalikan pembangunan  sesuai karakter gambut.” Yang jelas, katanya, mengelola gambut tak bisa  menjeneralisir, misal HTI akasia dan sawit dipaksakan massif seperti saat ini, sekitar 2,7 juta hektar lebih lahan gambut dari total 7 juta. “Ini menurut saya sudah cukup apapun diskusi akademiknya. Gitu lo.”

Microsoft Word - Document5

Menurut Haris, Indonesia, sudah harus mengembangkan pendekatan baru dengan tetap mempertahankan watak alami atau watak asli ekosistem gambut. “Yang sudah ada itu pelahan terus tingkatkan value. Misal, HTI 3 juta hektar itu value jadi 7 juta hektar, tetapi lahan tetap 3 juta hektar. Jadi bukan lagi perluasan lahan bisnis. Itu filosofi yang harus diambil,” ujar dia.

Revisi

Mengenai PP Gambut, Haris melihat beberapa asosiasi dan akademisi getol ingin merevisi aturan, terutama terkait ketebalan dan batas muka air gambut budidaya. “Itu bagian proses. Yang penting, diketahui siapapun, pemerintah memberi ruang kepada siapapun berpendapat. Tapi jangan buru-buru revisi. Naskah akademik penting. Lalu bercermin juga dengan pengalaman kerusakan gambut 1 juta hektar.”

Bagaimana ke depan? Menurut dia, pemerintah harus lebih konsen mengimplementasikan dan membangun sistem pengawasan. Dari pengalaman, aturan ada tetapi tak jalan karena pengawasan lemah. Dia mencontohkan, aturan larang kelola lahan gambut tiga meter ke atas hanya jadi kebijakan di atas kertas. “Di berbagai daerah, banyak pengusahaan di lahan gambut tiga meter atau lebih.”

Untuk itu, katanya, bagaimanapun kembali ke muara. “Kalau mau revolusi mental ya orang-orangnya. Karena ada celah di sana. Aturan bagus, kalau orang-orangnya atau belum terbangun sistem akan sulit.”

Teguh Surya, dari Greenpeace mengatakan, jikapun PP Gambut nanti direvisi, menteri harus memastikan semua itu demi memperkuat komitmen presiden dalam melindungi gambut total. Mengenai revisi mungkin dilakukan atas landasan keilmuan, dia mengingatkan, agar berhati-hati.  “Karena kelompok ahli juga terbelah. Menteri harus jadikan realitas di lapangan sebagai pertimbangan.”

Menurut dia, pengelolaan HTI dan sawit di lahan gambut jelas tindakan bunuh diri ekosistem. Sebab, katanya, pengelolaan gambut mesti dengan tanaman beradaptasi dengan gambut hingga tak ada kanalisasi yang mengeringkan lahan.

Dia menilai, aturan peralihan dan penutupan dalam aturan itu, masih menjadi batu ganjalan dalam melindungi ekosistem gambut. “Menteri juga perlu segera merealisasikan janji presiden dengan mereview perizinan terutama di lahan gambut.” (habis)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,