,

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Janjikan Penyelesaian Kasus Dangku

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya berjanji akan menyelesaikan konflik masyarakat adat dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan terkait Suaka Margasatwa Dangku di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

“Ibu Siti  berjanji akan segera mencari penyelesaian terbaik terkait konflik tanah adat di Sumsel, seperti kasus di Dangku, serta konflik masyarakat adat yang masih banyak terjadi di daerah lainnya di Indonesia,” ujar Anwar Sadat kepada Mongabay Indonesia, Rabu (14/01/2015).

Selama proses penyelesaian konflik, Ibu Siti mengarahkan agar tidak ada tindakan di lapangan,” katanya.

Pernyataan Sadat tersebut diucapkan setelah dia bertemu Menteri LHK Siti Nurbaya di Palembang, Selasa (12/01/2015). Dalam pertemuan tersebut hadir pula para pegiat lingkungan hidup di Sumsel, seperti Hadi Jatmiko dari Walhi Sumsel, Rustandi Adriansyah dan Tommy Indriadi dari AMAN Sumsel, Wakil Bupati Musi Banyuasin Beni Hernendi, serta Nunu Anugrah dari BKSDA Sumsel.

Anwar Sadat yang kini memimpin Serikat Petani Sriwijaya (SPS) dan For Baru (Forum Masyarakat Pemantau Batubara), mengatakan dia melaporkan sejumlah kasus konflik lahan di Sumsel, terkhusus kasus di Dangku.

Sadat juga melaporkan kronologis kasus kriminalisasi terhadap Muhammad Nur bin Ja’far (76), tokoh adat marga Tungkalulu, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel bersama lima orang rekannya, yakni Zulkifli bin Dungcik, Samingan bin Jaeni, Dedi Suryanto bin Tugimin, Sutisna bin Kadis, dan Ahmad Burhanudin Anwar bin Imam Sutomo, terkait kasus Dangku.

Selain divonis penjara 2,6 tahun, M. Nur juga didenda Rp50 juta subsider 4 bulan kurungan. Sementara, Zulkifli bin Dungcik divonis penjara 1,8 tahun dan denda Rp25 juta subsider 3 bulan kurungan. Kemudian Samingan bin Jaeni, Dedi Suryanto bin Tugimin, Sutisna bin Kadis, dan Ahmad Burhanudin Anwar bin Imam Sutomo divonis penjara 1,6 tahun dan denda Rp20 juta subsider 2 bulan kurungan.

Mereka divonis bersalah majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai Albertina Ho di Pengadilan Negeri Palembang pada 21 Oktober 2014 lalu. Masyarakat adat dinyatakan telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“Keputusan ini sangat kita sayangkan. Kesannya hukum tidak berpihak pada masyarakat adat. Padahal sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara,” kata Sadat tegas.

Enam masyarakat adat yang divonis bersalah di Pengadilan Negeri Palembang. Muhammad Nur Djakfar (ke empat dari kiri) merupakan tokoh adat marga Tungkalulu. Foto: Muhammad Ikhsan

Dikatakan Sadat, paska keluarnya vonis ini, keberadaan masyarakat adat Dangku makin memprihatinkan. BKSDA Sumsel dengan dalih UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDA Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam semakin percaya diri untuk mengusir semua masyarakat yang bermukim, bercocok tanam, dan berkebun di tanah adat yang masuk dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Dangku di Muba, Sumsel.

“Seperti yang diberitakan Mongabay Desember 2014 lalu. Lebih dari seratus bangunan milik masyarakat dirobohkan oleh BKSDA Sumsel. Jika tidak segera dicarikan solusinya, kita tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya nasib masyarakat adat dan petani di daerah. Ini sangat memprihatinkan, tidak ada kepedulian sama sekali terhadap mereka,” kata Sadat.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,