,

Indonesia Targetkan Peningkatan 10 Persen Populasi 25 Spesies Terancam Punah

Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan pihaknya menargetkan peningkatan populasi spesies hewan langka di Indonesia seperti  harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan jalak bali (Leucopsar rothchildi).

“Kita targetkan peningkatan jumlah 25 spesies terancam punah sebesar 10 persen hingga tahun 2019. Untuk memenuhi target tersebut selain melalui kegiatan yang selama ini dilaksanakan seperti penangkaran dan pelepasliaran satwa, kebun binatang juga wajib hukumnya membangun breeding,” kata Bambang pada Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas Sub Region Sumatera Bagian Selatan dengan tema Pengarusutamaan Nilai, Status, Monitoring Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Kegiatan yang digelar BIOCLIME-GIZ ini bekerja sama dengan BKSDA Sumsel dan Dinas Kehutanan Sumsel, Rabu-Kamis (14-15/01/2015) di Palembang.

Bambang dengan materi mengenai “Kebijakan Prioritas Konservasi Keanekaragaman Hayati di Sumsel,” mengatakan ancaman atas keanekaragaman hayati seperti punah dan berkurangnya populasi flora dan fauna di alam serta berkurangnya luasan wilayah hutan disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan perambahan, perburuan liar, pembalakan liar, dan pembakaran hutan.

“Perambahan kawasan konservasi di Sumsel masih banyak terjadi, misalnya pertambakan udang yang berada di kawasan Taman Nasional Sembilang dan pembalakan liar di kawasan Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan (Sumsel),” kata Bambang.

Menurut Bambang, untuk mengatasi kerusakan lebih dari 10 juta kawasan hutan di Indonesia, pihaknya melaksanakan restorasi dengan melakukan penanaman di area seluas 100.000 hektar per tahun. Namun demikan, ia mengakui hal ini jauh dari memadai untuk menutupi kawasan dan hutan konservasi yang terlanjur rusak. “Kalau perambahan dan pembalakan liar terus terjadi, restorasi semakin tak ada gunanya. Perlu pelibatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi serta pendekatan khusus kepada para perambah,” ujarnya.

25 spesies terancam punah yang diprioritaskan meningkat populasinya sebesar 10 persen tahun 2019 sesuai kondisi biologis dan ketersediaan habitat

1. Harimau sumatera
2. Gajah sumatera
3. Badak jawa
4. Owa (Owa jawa, Bilou)
5. Banteng
6. Elang (elang jawa dan elang flores)
7. Jalak bali
8. Kakatua (kakatua jambul kuning, kakatua jingga, kakatua alba)
9. Orangutan (orangutan kalimantan dan orangutan sumatera)
10. Komodo
11. Bekantan
12. Anoa
13. Babirusa
14. Maleo
15. Macan tutul
16. Cendrawasih
17. Rusa bawean
18. Tarsius
19. Surili
20. Macaca maura
21. Julang sumba
22. Nuri kepala hitam
23. Kangguru pohon
24. Penyu (penyu sisik dan penyu belimbing)
25. Celepuk rinjani

Sumber: presentasi Bambang Dahono Aji, Direktur KKH, PHKA, Kementerian LHK

Pada seminar tersebut turut hadir Maheswar Dhakal, Direktur Taman Nasional dan Konservasi Satwa Liar, Kementerian Kehutanan dan Konservasi Tanah, Nepal. Dhakal dihadirkan untuk berbagi pengalaman mengenai keberhasilan menjaga populasi harimau benggala (Panthera tigris tigris).

Menurut Dhakal, persoalan yang dihadapi oleh Nepal tak jauh berbeda dengan yang dihadapi Indonesia. Nepal juga menghadapi perburuan liar, pembalakan liar, hingga persoalan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal. Dhakal mengatakan, mereka berhasil menjaga hutan konservasi sebagai habitat utama harimau dengan memasang 500 camera trap di taman nasional dan melibatkan 250 ahli dalam kegiatan tersebut.

Sementara Zulfikar Ahmad, Sekretaris Dinas Kehutanan Propinsi Sumsel, mengatakan untuk mengatasi perambahan hutan dan perburuan satwa dilindungi di Sumsel perlu strategi dan pendekatan khusus dengan mencari akar persoalan dan menemukan solusi yang tepat.

“Kita tak bisa hanya mengatakan masyarakat telah merambah hutan produksi dan hutan. Kita tak bisa hanya mengatakan habitat harimau telah digusur oleh masyarakat. Perlu dicarikan solusi agar hal ini tak terjadi terus menerus,” ujarnya.

Menurut Zulfikar, tantangannya adalah bagaimana penataan dilakukan dan hal ini membutuhkan sinergi antara pengelola kawasan konservasi, pengelola kawasan hutan produksi, dan masyarakat sekitar kawasan.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,