,

Ketika Desa Lee di Morowali Minta Dikeluarkan dari HGU Perkebunan Sawit

M. Lawani, warga Desa Lee, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara di Sulawesi Tengah (Sulteng), geram. Ia memperhatikan arsip terbitnya Surat Keputusan (SK) Hak Guna Usaha (HGU) PT. Perkebunan Nusantara XIV tertanggal 27 Januari 2009 yang kini bernama PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN).

Menurutnya, tanah desa mereka, secara sepihak telah diklaim sebagai bagian HGU perusahaan milik negara tersebut. Selain Desa Lee, ada desa lain juga yang diklaim sebagai HGU: Kasingoli dan Gontara.

“Kami sudah mengirim surat protes kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) tertanggal 12 Desember 2014. Isinya, kami minta Desa Lee dikeluarkan dari kepungan HGU perkebunan sawit,” kata Lawani, pertengahan Januari 2015.

“Khusus Desa Lee, kami menduga ada kerja sama antara BPN dan pihak perusahaan dalam mengambil alih tanah warga.”

Menurut Lawani, awal 1999, BPN Poso datang ke Desa Lee untuk mengajak masyarakat menentukan batas wilayah desa dengan kawasan hutan. Warga diberi upah kerja Rp 2.460 per hari. Saat itu, Morowali berada di wilayah Kabupaten Poso. Namun, ketika peta HGU PTPN XIV keluar, ternyata luasnya 1.895 hektar yang mencaplok wilayah Desa Lee.

Almida Batulapa, Kepala Desa Lee, menegaskan bahwa di wilayah mereka, baik warga atau pemerintah desa belum pernah melakukan penyerahan tanah untuk proses penerbitan HGU hingga sekarang.

“Kami tidak pernah menyerahkan tanah kepada PTPN XIV atau PT. SPN. Lagi pula, pada berita acara inventarisasi, penyuluhan, dan penyelesaian masalah areal pengukuran tertanggal 2 oktober 1999 disinyalir ada penyimpangan. Karena, sosialisasi tersebut tidak pernah dilakukan di desa kami,” kata Almida.

Kepala desa perempuan itu mengungkapkan, pada risalah panitia pemeriksaan tanah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 09/PPT/-B/X/1999, terdapat ketimpangan. Risalah itu menyatakan; pertama, tanah yang dimohon untuk HGU adalah tanah negara. Kedua, tanah tersebut belum mempunyai status hak/sertifikat oleh pemohon yang bersangkutan dan tidak dalam keadaan bersengketa.

Ketiga, permohonan itu tidak ada keberatan dari pihak lain. Keempat, di atas tanah tersebut tidak terdapat tiang-tiang instalasi listrik. Kelima, di atas tanah tersebut tidak terdapat bangunan apapun. Keenam, di desa yang bersangkutan masih cukup persediaan tanah untuk bercocok tanam bagi penduduk setempat. Dan poin ketujuh, di atas tanah tersebut tidak terdapat kuburan umum.

“Setelah dilakukan penelusuran titik koordinat oleh BPN Kabupaten Morowali, pihak  PTPN XIV, pemerintah Desa Lee, dan seluruh masyarakat desa yang dilakukan pada 2 Desember 2014, kami menyanggah beberapa hasil risalah panitia pertanahan tersebut,” ujar Almida.

“Tanah yang dimohon untuk HGU PTPN XIV adalah tanah masyarakat Desa Lee yang terdiri dari perkampungan, persawahan, perkebunan, kandang desa, bekas kampung tua, dan sumber air minum. Tanah tersebut sudah berstatus kepemilikan masyarakat sejak lama. Bahkan, di atas tanah HGU PTPN XIV berdiri tiang instalasi listrik.”

Menurutnya, saat masyarakat memperjuangkan hak-haknya, pihak perusahaan justru melanggar hasil kesepakatan. “Ironis, perusahaan mendatangkan alat berat, oknum TNI, dan Brimob berseragam.”

Rabu, 7 Januari 2015, perusahaan melakukan penggusuran lokasi kandang dan pekuburan tua. Keesokan harinya mereka menebang kayu di lokasi sumber air bersih masyarakat.

Masyarakat Desa Lee sudah mengadukan keresahan mereka pada sejumlah institusi berwenang. Seperti Menteri Sekertariat Negara, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sulteng, Kepala BPN Sulteng,  DPRD Sulteng, Bupati Morowali, Bupati Morowali Utara, DPRD Morowali Utara, BPN Morowali, Kapolres Morowali, Ketua Tim Penyelesian Sengketa Tanah Kabupaten Morowali Utara, hingga Danramil di Kecamatan Mori Atas.

“Sayang, tanda-tanda keberpihakan pada hak masyarakat belum terlihat.”

Keberadaan perkebunan sawit selalu saja menyisakan cerita pahit bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Foto: Rhett Butler

Tanggapan pemerintah daerah

Guslan, Kepala Sub Bagian Pertanahan, sekaligus wakil sekertaris tim sengketa lahan Kabupaten Morowali Utara, ketika dimintai keterangan mengatakan, persoalan tersebut merupakan satu kesatuan di wilayah PTPN XIV.

“Semua desa di lingkar sawit perusahaan permasalahannya sama. Kami sebagai pemerintah daerah hanya berupaya memediasi berbagai kepentingan, baik masyarakat maupun perusahaan,” katanya.

Guslan menjelaskan, pada waktu pertemuan di kantor Kecamatan Mori Atas di Tomata, ia menyampaikan kepada masyarakat agar memahami secara benar tentang HGU. Sebab, sertifikat HGU merupakan legitimasi dari pemerintah terhadap wilayah yang dimohonkan pihak perusahaan.

“Pemerintah berpegang pada aturan. Kalau sekarang, mereka bisa tunjukkan bukti, silakan,” tandasnya.

Terkait pemberhentian warga terhadap aktivitas perusahaan di Desa Lee, menurutnya, lahan itu berada di wilayah areal penggunaan lain. Itu kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini BPN, karena sudah memiliki sertifikat HGU.

“Kami sudah menganjurkan perusahaan agar tidak melakukan aktivitas di kebun masyarakat, kandang, sawah, pekuburan dan lain-lain,” tutur Guslan.

Permyataan Guslan dibantah Almida Batulapa. Kepala desa yang getol memperjuangkan hak warganya ini mengatakan, keliru jika ada pernyataan kami tidak bisa menunjukkan di mana kebun kami. Kebun, kandang, dan sawah kami sangat jelas letaknya,” tegasnya.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,