Lestarikan! Dua Jenis Badak Ini Sudah Diambang Kepunahan

Pemerintah (15/01/2015) kembali menetapkan komitmen terhadap 25 satwa prioritas terancam punah yang perlu ditingkatkan populasinya. Badak termasuk salah satu spesies prioritas yang masuk dalam daftar tersebut.

Upaya pemerintah ini sejalan dengan daftar spesies yang dibuat oleh IUCN yang menempatkan dua jenis badak yang ada di Indonesia sebagai satwa yang berstatus critically endangered species, atau jenis yang masuk daftar spesies paling terancam punah. Sebelumnya IUCN telah menetapkan Tahun Badak Internasional yang secara simbolis diresmikan oleh Presiden (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 Juni 2012.

Badak perlu dilestarikan, karena kedua jenis badak ini dikenal sebagai “jenis kunci” (key species) dalam konservasi keanekaragaman hayati. Perlindungan bagi kedua jenis badak ini akan sangat membantu upaya perlindungan hidupan liar lainnya, dan berbagai tipe habitat yang ada di Jawa dan Sumatera.  Khusus badak jawa yang hanya ada di Ujung Kulon, spesies ini sekaligus menjadi lambang kebanggaan (flagship species) dari Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) di Banten.

Kedua jenis badak di Indonesia ini sebenarnya bukan satwa endemik, namun merupakan satwa relich; dahulu penyebarannya sangat luas, namun sekarang selain populasinya yang terus menurun juga distribusinya semakin terbatas. Hal ini terjadi karena alih fungsi hutan habitat badak menjadi perkebunan, permukiman, dan pengusahaan ruang untuk berbagai macam keperluan. Perburuan juga memiliki sejarah panjang yang berkontribusi terhadap turunnya jumlah populasi kedua jenis badak ini. Hasilnya, populasi badak dalam 35 tahun terakhir terus jauh menurun.

Saat ini populasi badak jawa di Ujung Kulon diperkirakan hanya sekitar 58 individu (BTNUK, 2014). Populasi badak jawa TNUK saat ini dianggap satu-satunya populasi yang secara potensial masih memungkinkan untuk diselamatkan dari kepunahan.

Populasi badak sumatera sendiri tersebar di beberapa lokasi. Badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas diperkirakan ada sekitar 30 individu, di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperkirakan ada 40 individu (Rubianto, personal comm.-tidak dipublikasikan, 2014), sedangkan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) diperkirakan terakhir hanya ada kurang dari 50 individu; sementara di lokasi lainnya yang termasuk dalam KEL dari hasil “camera trap” hanya diperkirakan ada 27 individu (Tarmizi, personal comm-tidak dipublikasikan, 2014). Di Kutai Barat, Kalimantan Timur, menurut WWF (2014) diperkirakan tidak lebih dari 6 individu.

Disebabkan perburuan yang masih marak di Gunung Leuser, maka benteng terakhir badak sumatera diperkirakan hanya tinggal di Propinsi Lampung, yaitu di Taman nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman nasional Way Kambas.

Di beberapa tempat yang merupakan habitat alami, badak telah mengalami kepunahan. Badak jawa di Vietnam yang pada tahun 1994 dinyatakan masih ada sekitar 9-12 individu, pada 2007 menurun tinggal diperkirakan 3-7 individu. Pada tahun 2011 badak jawa di Vietnam oleh IUCN dinyatakan tidak ditemukan lagi keberadaannya. Badak sumatera di beberapa tempat seperti Endau Romphin, Semenanjung Malaysia, dan Kerinci Seblat di provinsi Bengkulu dan Jambi sejak 2005 sudah tidak ditemukan lagi keberadaannya. Di Sabah, Borneo Malaysia, pada tahun 2014 diperkirakan hanya tinggal 1 ekor tersisa di alam.

Badak jawa sedang bergenang di sungai Cigenter, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok BTNUK
Badak jawa sedang bergenang di sungai Cigenter, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok BTNUK

Asal Usul Jenis-Jenis Badak

Jenis badak pertama kali muncul pada zaman Oligocene (35-25 juta tahun yang lalu), bentuk badannya besar dan hidup sepenuhnya di atas tanah. Jenis ini berkembang pada zaman Miocene (25-10 juta tahun yang lalu) dan Pliocene (10 juta tahun yang lalu), seperti Aceratherium yang sekarang telah punah. Barulah pada zaman Pliocene dan Pleistocene jenis badak bervariasi. Genus Rhinoceros dan Dicerorhinus hidup di Asia; sedangkan Genus Diceros dan Ceratotherium hidup di Afrika; semuanya merupakan variasi dari perkembangan yang terjadi pada zaman tersebut (Anderson dan Jones, 1967).

Badak yang hidup pada zaman sekarang mempunyai beberapa persamaan antara lain: badan gemuk dan padat dan kulit hampir tidak berambut, hanya genus Dicerorhinus yang memiliki rambut jarang dan pendek. Masing-masing jenis badak menunjukan ciri morfologi yang khas sehingga dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Secara terus menerus tubuh badak memproduksi zat keratine yang berfungsi untuk pembentukan cula, baik badak yang bercula satu maupun yang bercula dua (Sudirjo, 1975; Sadjudin, 1982; Sadjudin, 1984).

Kedua jenis badak ini dahulu penyebarannya sangat luas di benua Asia. Mereka dapat ditemukan secara sympatric (dua jenis satwa yang ditemukan hidup bersama di habitat yang sama) di Bukit Siwalik di India, Bangladesh, Vietnam, Myanmar, Laos, Kamboja, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Sumatera. Hanya badak sumatera tidak pernah ditemukan sejarahnya ada di Pulau Jawa. Sedangkan, badak jawa penyebarannya di Jawa bagian tengah dan barat (Hoogerwerf, 1970; Strien, 1985; Sadjudin, 1984; Sadjudin, 1993).

Badak sumatera lebih menyukai daerah yang lebih tinggi atau perbukitan di pegunungan, sedangkan badak jawa lebih menyukai daerah dataran rendah (Borner, 1979; Strien, 1985; Sadjudin, 1982). Namun demikian, keduanya cenderung menempati daerah dataran rendah terutama hutan yang telah dibuka, disebabkan badak dapat menemukan jenis pakan yang disukainya. Hal ini menyebabkan badak jawa punah terlebih dahulu dari hutan di Sumatera, sedangkan sebagian populasi badak sumatera masih dapat bertahan hingga sekarang di hutan lembah Mamas di Taman Nasional Gunung Leuser di Provinsi Aceh, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas di Provinsi Lampung.

Rosa, badak sumatera betina di SRS-TNWK (Foto Haerudin R. Sadjudin-Dokumen YABI-TFCA-Sumatra)
Rosa, badak sumatera betina di penangkaran SRS-TNWK. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI-TFCA-Sumatra

Kehidupan dan Perilaku

Di Ujung Kulon badak jawa dijumpai tersebar di bagian tertentu, terutama di daerah dataran rendah, dimana badak lebih mudah bergerak untuk memperoleh pakan yang disukainya. Pakan badak utama adalah pucuk daun dari berbagai jenis tumbuhan. Umumnya tumbuhan yang dimakan berumur  3-7 tahun dan tingginya 3-10 meter (Schenkel dkk, 1978; Sadjudin, 1984). Kadang-kadang badak jawa juga memakan beberapa jenis liana dan tumbuhan semak sepanjang sungai dan pantai. Beberapa jenis tumbuhan sering kali masih dapat dikenali dari kotorannya yang pernah dijumpai. Sudah lebih dari 250 jenis tumbuhan yang dikenal sebagai pakan badak (Djaja dkk, 1982; Sadjudin, 1984; Sadjudin, 1987; Sadjudin, 1993).

Dalam hidupnya badak jawa mempunyai sifat senang menjelajah secara soliter. Selain itu badak juga memerlukan kubangan berlumpur, sungai dangkal dan tenang untuk bergenang, dan hutan yang teduh untuk bernaung dari teriknya matahari (Schenkel dan Schenkel, 1969; Hoogerwerf, 1970; Sadjudin, 1984; Sadjudin, 1993). Sampai saat ini perilaku badak jawa masih belum dapat diketahui banyak orang. Pengetahuan mengenai perilaku badak jawa kebanyakan hanya merupakan cerita para pemburu pada waktu yang lampau di daerah asal penyebarannya. Keadaan populasinya pada masa yang lampau juga tidak begitu banyak diketahui (Sadjudin, 1984; Sadjudin 1987).

Badak sumatera hidup di hutan-hutan tropis. Badak ini punya dua cula serta berambut lebat dan hidupnya soliter. Ditinjau dari sudut pandang evolusi badak sumatera tergolong jenis badak yang masih primitif (Anderson dan Jones, 1967; Sudirja, 1975).

Hingga sekarang badak sumatera hidup dalam hutan-hutan yang lebat dan tersembunyi. Perjuangan hidupnya dalam jangka waktu yang lama telah ditempuh dan dipertahankan oleh adanya daya lingkungan alami yang sesuai dengan perilaku hidupnya. Daya dukung alaminya jika tidak terpelihara akan mempercepat perjalanan evolusinya atau mempercepat kepunahannya (Strien, 1974).

Wajah badak jawa yang berkulit tebal (Foto Stephen Belcher-Dok BTNUK)
Badak jawa yang berkulit tebal. Foto: Stephen Belcher/BTNUK

Perlu Mendapatkan Perhatian

Dengan fakta diatas, dapat disimpulkan bahwa populasi maupun sebaran wilayah tempat hidup badak jawa dan badak sumatera saat ini sangat kecil dan terbatas. Kedua jenis badak di Indonesia ini sebagian besar terancam oleh perburuan liar dan kehilangan habitat sebagai tempat hidupnya di alam. Sungguh pun seandainya tidak terjadi kehilangan jumlah lebih lanjut, populasi yang sangat kecil ini akan sangat peka terhadap bencana alam, kelemahan genetik dan demografik.

Diperlukan upaya perlindungan baik secara in-situ (di lokasi habitat) maupun ex-situ (di luar lokasi habitat). Meskipun konservasi in-situ harus menjadi prioritas pertama, perlindungan terhadap kawasan konservasi saja tidak cukup untuk menjamin semua keanekaan hayati Indonesia untuk generasi mendatang. Upaya-upaya penyelamatan harus terus dikembangkan, termasuk upaya perlindungan populasi dan habitatnya, penelitian biologi (perilaku, ekologi, genetik dan fisiologi), dan monitoring populasi melalui teknik survei maupun metodologi pengumpulan data.

Demikian pula diperlukan upaya kerjasama multi pihak jangka waktu panjang untuk memastikan kelestarian badak. Upaya konservasi badak jangka panjang juga membutuhkan kemampuan pendanaan finansial, mengingat upaya penyelamatan kedua jenis badak tersebut memerlukan pendanaan yang tidak sedikit.

Semua tindakan itu perlu dilakukan dari sekarang, jika kita tidak bertindak maka keberadaan badak jawa dan badak sumatera di Indonesia hanya akan tinggal cerita dan kenangan seperti halnya yang sudah terjadi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Myanmar, Bangladesh, Laos, Kamboja, Thailand, dan Malaysia.

* Haerudin R. Sadjudin, penulis adalah Program Manajer Konsorsium Yayasan Badak Indonesia (YABI, WCS-IP & YAPEKA) Siklus III TFCA-Sumatra. Biasa dipanggil “Mang Eeng”, penulis lebih dari 40 tahun terlibat dalam program konservasi badak di Indonesia. 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,