Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pangan berupa beras. Program ketahanan pangan pun masih bertumpu pada lahan sawah di Pulau Jawa, yang tiap tahun lahanya kian menyusut drastis. Oleh karena itu, perlu digalakkan pemanfaatan hutan negara untuk mendukung sistem pertanian terpadu dengan tetap mempertahankan kondisi hutan.
Oleh karena itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) merintis pengembangan sistem pertanian terpadu (integrated farming system) lewat pemanfaatan areal hutan di bawah tegakan hutan. Sistem ini didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pehutani karena membantu pembukaan lahan hutan untuk ketersediaan pangan. Apalagi tahun 2015, pemerintah mengalihkan dana subsidi BBM sebesar Rp15 triliun untuk rehabilitasi jaringan irigasi satu juta hektar, distribusi benih, pupuk dan alat mesih pertanian.
“Semangat kami mengimplementasikan seluruh hasil riset di bidang kehutanan, hutan tidak sekedar melindungi lingkungan, tapi sumber pangan, energi, dan sumber tekstil yang berasal dari serat rayon,” kata Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., saat membuka Rencana Aksi Pelaksanaan Integrated Farming System di Kawasan Hutan yang berlangsung di Ruang Multimedia UGM, pada Jumat (16/01/2014).
Selama dua dekade terakhir, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Moh Naiem mengatakan kebijakan pemerintah dalam mendorong kedaulatan pangan tidak dilakukan secara serius. Saat ini luas lahan produksi pangan di Indonesia berkisar 15,35 juta hektar padahal yang dibutuhkan mencapai 24,2 juta hektar.
Dari kajian tim ketahanan pangan UGM, impor beras saat ini mencapai 10 persen dari produksi dalam negeri, dengan cadangan beras untuk mencukupi kebutuhan sekitar tiga bulan ke depan. Sementara itu, pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertania baru sangat rendah, konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia laha pertanian.
Dengan 60 persen kawasan hutan dari total luas daratan, deforestasi akan tetap menjadi fenomena umum dan terkait dengan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu perlu kebijakan ramah lingkungan terhadap kedaulatan pangan melalui iptek tanpa mengorbankan kelestarian hutan. Deforestasi hutan tropis ke lahan pertanian ternyata didominasi oleh konversi hutan dalam pengembangan industri sawit yang sebagian besar dimiliki asing.
“Sektor pertanian masih menjadi primadona, lebih 40 persen penyerap total lapangan kerja yang saat ini didominasi oleh unskilled labour. Indonesia harus berani mengakui bahwa saat ini sektor pertanian masih merupakan tumpuan utama pendapatan rakyatnya, sehingga sektor pertanian harus tetap menjadi kunci keberhasilan pembangunan,” kata Naiem.
Permasalahan utama strategi pengembangan kedaulatan pangan di kawasan hutan yaitu akses lahan terbatas, akses modal, saprodi (sarana produksi) dan alsintan (alat dan mesin pertanian) terbatas. Tidak ada akses bibit dan benih, petani belum terlatih dan tidak teroganisir dan tata niaga buruk didominasi tengkulak.
“Permasalahan adanya ketidaktransparanan dalam akses sumber daya hutan yang didominasi para elit lokal, selain itu petani hutan selalu mendapatkan diskriminasi dalam hal bantuan saprodi dari pemerintah. Namun, dapat diatasi dengan penerapan sistem informasi,” tambahnya.
Dalam pengembangan sistem pertanian terpadu, Fakultas Kehutanan UGM telah mencoba menanam varietas padi.“Kita sudah mencobanya dengan menanam empat varietas padi di area kawasan perhutani di Jawa Timur dan Jawa Tengah lewat sistem tumpang sari dan gumpang gilir di sela tanaman jati dan pinus,” kata Naiem.
Di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ngawi, Fakultas Kehutanan UGM mengembangkan sepuluh varietas padi gogo, yang baru diintensifkan pada tiga varietas unggulan yaitu Situpatenggang, Inpago 4, dan Inpari.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof. Dr. San Afri Awang, mengatakan KLHK dan Kementerian Pertanian bersepakat menyiapkan lahan sebesar sejuta hektar untuk meningkatkan produksi pangan berada di Kalimantan dan Papua. “Dari satu juta lahan ini, 500 ribu untuk pangan dan sisanya untuk tanaman tebu,” terangnya.
Penyediaan lahan satu juta hektar untuk mendukung pembangunan lahan sawah baru melalui pelepasan kawasan hutan dan sistem pinjam pakai. Selain itu juga disediakan pemanfaatan areal lahan hutan di bawah tegakan hutan seluas 250 ribu hektar, serta kerja sama kemitraan dunia usaha dengan bantuan dana CSR produktif seluas 1,6 juta hektar. San Afri mengatakan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) produksi padi untuk kedaulatan pangan ditargetkan 82 juta ton.
Dia menjelaskan ada perbedaan antara sistem pertanian terpadu dan agro forestry. Jika hutan terus-terusan ditanami padi, maka akan muncul masalah lainnya. Oleh karena itu, hutan jangan hanya dibuka untuk pertanian padi. Karena satu miliar penduduk dunia, juga bergantung pada produk buah dan hutan alam.
Dia menyarankan pertanian terpadu harus diintegrasikan bersama kelompok petani di desa, sambil menerapkan undang-undang pengembangan desa.
San Afri menyebutkan sekitar 29 persen lahan hutan dikuasai korporasi, hanya 0,58 persen dipegang oleh rakyat. In sangat tidak adil dan menunjukkan kegagalan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petaninya.
Lahan menjadi faktor produksi penting kedaulatan pangan maka luas tanah juga penting. Setiap orang di Jawa hanya punya tanah 0,24 hektar dan hanya 0,36 hektar di Jateng, serta 2,4 juta hektar dikuasai perum Perhutani. Oleh karena itu pendampingan menjadi penting.
“Saya rasa, (lahan untuk) pengusaha sudah cukup. Kita coba naikkan 12,7 juta hektar lahan hutan untuk rakyat. Era Presiden Jokowi sangat serius melakukan ini,” katanya.
Ia menambahkan, penelitian selama 10 tahun di Madiun untuk pertanian tumpangssari untuk satu hektar lahan sekali tanam menghasilkan 4,2 ton padi, 1,4 ton jagung dan 18 ton ubi kayu. KLHK sendiri meminta Perhutani menyiapkan tanah seluas 30 ribu hektar di Jawa Tengah, di Jawa Timur 30 ribu hektar dan di Jawa Barat 20 ribu hektar.
“Minimal rakyat desa memanfaatkan lahan 2 hektar dengan sistem pertanian terpadu. Selama ini hanya 0.25 hektar hanya dapat 1,2 ton. Gunakan mekanisasi dan panca usaha tani yang benar. Perhutani tiap tahun tanam 54 ribu hektar tanaman hutan, hanya 12 ribu tumpangsari, sisanya cemplongan (tidak terpakai),” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Kementerian Pertanian Ir. Bambang Sad Juga, M.Sc mengatakan, sistem pertanian terpadu ini sejalan dengan nawacita Presiden Jokowi untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Adapun turunannya yakni peningkatan kedaulatan pangan yang dicerminkan pada kekuatan mengatur masalah pangan secara mandiri yakni ketahanan pangan terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri dan mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pengan terutama petani dan nelayan.
“Kondisi riil ketahanan pangan nasional saat ini bertumpu pada lahan sawah yang terpusat di Pulau Jawa yang luasnya semakin menyusut. Permintaan produk pangan berkualitas meningkat, produksi rendah, lahan usaha sempit dan tidak bisa diperluas serta kebutuhan hidup terus meningkat,” kata Bambang.
Ia menambahkan penghasil devisi utama ada pada sektor pertanian. Ekspor hasil perkebunan pada tahun 2013 sebesar 26,77 miliar US dolar yang mengakibatkan neraca perdagangan sektor pertanian surplus 15,843 US dolar.
Ujicoba di Jateng
Pemprov Jateng menandatangani nota kesepahaman dengan Perhutani dan UGM untuk mewujudkan sistem pertanian terpadu. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyebutkan ada 653 ribu kawasan hutan Perhutani di Jawa Tengah yang sejatinya potensial dimanfaatkan untuk lahan pertanian terpadu dan peberdayaan ekonomi masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
“Kawasan hutan perlu dipakai karena stok pangan kita makin berkurang,” katanya.
Ganjar menambahkan, problem lingkungan hidup dan kehutanan ke depan semakin berebut dan semakin keras. Saat ini ia dipermasalahkan di Rembang, memilih pabrik semen atau sumber air. Menyusul permasalahan di Pati, di Grobogan dan Gombong. Pemprov Jateng sebelumnya menggelontorkan dana sebesar Rp 750 juta untuk pengadaan bibit padi gogo untuk ditanam di kawasan KPH yang ada di Blora, Kendal, Banyumas, Grobogan, Boyolali dan Rembang.
Pemprov akan mengajak masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan hutan dengaan sistem pertanian terpadu, dibantu UGM dalam pendampingan, varietas dan lainnya.
“Jika ini bisa didorong maka akan membantu mempercepat kedaulatan pangan. Saat ini Jateng surplus pertanian padi 3 juta ton. Bicara kedaulatan pangan maka Jateng haram hukumnya impor beras,” kata Ganjar.
Terkait kondisi sumber air untuk irigasi pertanian, Pemprov Jawa Tengah akan ada proyek besar yakni pembangunan Waduk di Kudus dan Wonogiri. Sementara waduk Karanganyar dan Kota Semarang sudah jadi.
“Minimal ada lima waduk baru. Jika ini bisa dilaksanakan maka target pangan bisa terpenuhi, jika tidak bisa maka perlu Embung dan selebihnya pakai air tanah,” tutup Ganjar.