,

Akademisi: Hati-hati! Tambang Galian C Palu dan Donggala Rawan Gempa

Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Amar Akbar Ali menilai, dilihat dari sisi tata ruang, pertambangan galian C yang membentang di pinggiran Kota Palu hingga Kabupaten Donggala sangat berbahaya. Sebab, sebagian wilayah yang disebut dengan Pegunungan Gawalise itu merupakan wilayah buffer zone atau kawasan penyangga.

“Sepanjang aktivitas tambang galian C tidak masuk dalam kawasan penyangga, tentu saja masih diperbolehkan. Hanya saja, kontrol terhadap pemanfaatan ruang di sana tidak ada. Kini mendekati kawasan penyangga. Hati-hati karena ini merupakan kawasan yang masuk pada patahan Palu Koro,“ kata Amar, Rabu (21/1/2015).

Pakar tata ruang ini mengatakan, jika melakukan aktivitas tambang yang berdekatan dengan patahan atau sesar Palu Koro, itu sangat berbahaya bagi para penambang. Masalahnya, daerah Palu merupakan kawasan seismik aktif di Indonesia.

Ia menjelaskan bahwa tingginya aktivitas kegempaan di kawasan ini tidak lepas dari lokasinya yang berada pada zona benturan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng ini bersifat konvergen dan ketiganya bertumbukan secara relatif mengakibatkan daerah Sulawesi Tengah dan sekitarnya menjadi salah satu daerah yang memiliki tingkat kegempaan yang cukup tinggi di Indonesia.

Beberapa segmentasi sesar yang sangat berpotensi membangkitkan gempa bumi kuat di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, adalah sesar Palu Koro yang memanjang dari Palu ke arah Selatan dan Tenggara melalui Sulawesi Selatan bagian Utara menuju ke selatan Bone sampai di Laut Banda. Sesar Saddang yang memanjang dari pesisir pantai Mamuju memotong diagonal melintasi daerah Sulawesi Selatan bagian tengah, Sulawesi Selatan bagian selatan, Bulukumba menuju Pulau Selayar bagian timur. Juga, sesar Parit di Laut Makassar Selatan dan Laut Bone, serta beberapa anak patahan baik yang berada di darat maupun di laut.

Amar mengungkapkan, yang menjadi kekhawatiran lainnya adalah kelandaian gunung yang ada di wilayah tersebut cukup curam. Sebaiknya, kata dia, kawasan tersebut dihindari dari kegiatan penambangan.

“Yang jadi pertanyaan lagi, apakah pemberian izin-izin penambangan yang ada itu sudah melalui studi atau tidak. Termasuk juga apakah ada studi awal yang diberikan kepada para penambang sehingga mendapati izin.”

Menurutnya, Pemerintah Daerah Kota Palu dalam memberikan izin tambang harus ada studi yang lebih mendalam dan juga lebih terkait. Karena dalam aspek ketata-ruangan wilayah tersebut masuk dalam salah satu kawasan yang dilewati sebagai patahan Palu Koro.

“Selain sebagai kawasan penyangga, barisan pegunungan Gawalise memiliki banyak aliran-aliran sungai.”

Selain itu katanya, arus transportasi yang melintasi kawasan dari Kota Palu menju ke arah Kabupaten Donggala cukup terganggu dengan keberadaan aktivitas penambangan. Material yang jatuh ke jalan saat diangkut oleh truk bisa membahayakan pengguna jalan yang melintasi kawasan itu.

“Saya menduga, mungkin saja tidak sinkron antara izin yang dikeluarkan terhadap pemanfaatan ruang di kawasan tersebut. Namun kalaupun kawasan itu dikatakan mempunyai potensi tambang yang cukup bagus, seharusnya ada revisi kembali terhadap tata ruang Kota Palu.”

“Selain itu, saya pernah konfirmasikan ke Ombudsman dan ternyata hampir semua reklamasi yang ada di wilayah tersebut untuk tempat bersandarnya kapal tongkang itu tidak memiliki izin,” kata Amar.

Aliansi Masyarakat Tolak Tambang Watusampu menghentikan aktivitas tambang galian C milik PT. Optima Tiga Biru Jaya. Mereka menuntut PT. Optima ditutup dan semua tambang yang ada di Watusampu dievaluasi. Foto: Syarifah Latowa

Ketua Ombusdman Perwakilan Sulawesi Tengah, Sofyan Farid Lembah ketika dihubungi membenarkan jika reklamasi yang dilakukan di bibir pantai di wilayah Watusampu diduga tak berizin.

“Ombudsman masih meminta data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) soal izin yang praktiknya, dalam izin galian dimasukkan pula izin reklamasi dan pembangunan dermaga. Besar kemungkinan adanya dugaan penyimpangan prosedur,” kata Sofyan.

Sebelumnya, konflik antara warga dan perusahaan tambang galian C di Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah, kerap terjadi. Maret 2014 lalu, fasilitas tambang galian C, seperti dump truck, mobil pick up, serta alat berat milik PT. Sinar Alam Gemilang dirusak warga. Warga marah, lantaran pihak perusahaan diduga melanggar perjanjian. Perusahaan dituding ingkar janji, karena melakukan eksploitasi sebelum sosialisasi. Soal tidak memprioritaskan tenaga kerja lokal juga menjadi alasan warga yang bermukim di wilayah Watusampu untuk protes.

Seperti diberitakan Mongabay sebelumnya, pada Agustus 2014 aksi unjuk rasa, juga dilakukan oleh ribuan mahasiswa Universitas Tadulako, terkait dampak lingkungan yang diakibatkan aktivitas tambang. Melalui “Aksi 1000 Masker” para mahasiswa itu membagi-bagikan masker kepada pengguna jalan yang melewati wilayah tambang galian C.

Desember 2014, puluhan warga Watusampu berdemo dengan mendatangi kantor DPRD Kota Palu, menuntut agar aktivitas tambang galian C di wilayah mereka dihentikan. Pegiat lingkungan dari Relawan untuk Orang dan Alam (ROA) sebagai penggagas “Masker untuk Watusampu” bahkan pernah mengajukan petisi kepada Walikota Palu. Petisi itu berisi untuk meninjau kembali izin tambang yang ada, mengalokasikan anggaran khusus untuk penanganan warga yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), serta mendesak perusahaan untuk bertanggung jawab atas kondisi warga dan lingkungan Watusampu.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,